Rana Allcia

13 4 0
                                    

Cewek itu menatap layar ponselnya dengan nanar. Badannya melemas. Matanya menatap tak percaya pada chat yang dikirimkan seseorang yang seakan membuat dunianya runtuk seketika. Pandangannya mengeblur saat air mata yang berusaha ia tahan mati-matian tiba-tiba saja lolos dari kandangnya.

Ia mengerjapkan matanya berkali-kali. Tidak percaya pada sebuah kalimat yang ditulis hingga dadanya terasa sesak.

Fathan sukarela
Jaga diri lo baik-baik ya Ran. Gue gak bisa selalu ada buat lo. Mungkin kemarin terakhir kalinya kita ketemu. Maaf, untuk besok dan selanjutnya gue nggak bisa ada disisi lo. Gue harus jalanin semua ini meski sulit. Gue dipindahin keluar negri sama bokap. Gue rasa ini emang udah jalannya kayak gini Ran. Gue gak kuat harus LDRan sama lo. Lebih baik kita jalanin hidup masing-masing dulu. Suatu saat gue akan balik lagi. Balik dengan perasaan yang sama. Maaf kalo selama ini gue selalu bikin lo repot. Lebih baik, kita putus.

Air mata Rana jatuh tak terbendung. Sudah dua tahun ia menjalin kasih dengan Fathan. Namun rasanya begitu tolol mengingat bahwa Fathan pernah berjanji padanya untuk tetap menjaga hati Rana sampai kapanpun hingga ia siap melamar Rana ketika sukses nanti.

Dengan air mata yang mengalir dan isakan-isakan kencang, Rana segera mengetik suatu balasan disana. Namun, semua akun sosialmedia Rana telah diblok dan berkali-kali Rana mencoba menelpon Fathan namun hasilnya nihil. Akun serta nomor telponnya telah diblokir tanpa menunggu jabawan atas pernyataan Fathan barusan.

Seperti bom waktu yang ditarik mundur, kenangan itu terputar. Kenangan yang sudah dihancurkan oleh janji dan harapan.

"Lo kenapa kayak gini sih Fath?" gumam Rana dengan tatapan kosong.

"Lo jahat"

"Gue benci"

Pada kenyataannya takdir telah berkehendak lain. Ia bingung. Ia tidak mengerti akan semua yang terjadi. Ia sangat mencintai Fathan. Disatu sisi ia merasa bahagia atas kemampuan Fathan yang hebat hingga berhasil pindah keluar negri. Tapi disisi lain, ia merasa sedih kehilangan sosok yang sangat ia cintai itu.

Cinta memang tidak terpisah dari yang namanya patah hati. Dan cinta juga mengajarkan bahwa ada saatnya kita merelakan apa yang sudah ia lakukan selama ini. Tapi, begitulah perempuan. sesakit apapun perasaannya, dia tidak pernah benar-benar mampu membenci sepenuh hati. Selalu ada rasa sayang dibalik kata-kata benci yang keluar dari bibirnya.

Rana segera beranjak dari posisinya lalu pergi menuju toilet. Sesampainya ditoilet, ia memandang dirinya dipantulan cermin. Ada yang membengkak dikelopak matanya karena terus-terusan menangis. Ia menuangkan sabun cair diatas bathup, berharap dengan sentuhan air dingin akan membuat tubuhnya rileks.

Dalam hati, ingin sekali Rana menyalah takdir. Namun apa guna? Hidup itu seperti ikan disungai. Kita hanya berenang mengikuti alur. Nggak pernah tau apa yang menunggu kita didepan. Entah sungainya mengering, airnya tersumbat atau terhalang sebongkah kayu yang besar. Ikan adalah ikan. Takdir kita seperti ikan. Harus mengikuti kodrat yang sudah ditetapkan. Kalau kita melompat dari sungai, sama saja kita menyalahkan takdir. Dan menyalahkan taldir itu tidak baik.

-----

AtRaFatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang