Chapter 14

419 39 0
                                    

[Bubble Tea]
==========

'Hani! Tepati janjimu!'

-Minho-

***

Author's POV
Pukul 12:00, Lorong tangga darurat.

Sesekali, air mata gadis yang tengah duduk di anak tangga gedung Hotel Grandwall menetes membasahi rok coklatnya untuk kesekian kali.

Seperti menyesali sesuatu, dia memandang kosong ke arah anak tangga lainnya. Lamunan gadis itu buyar saat terdengar suara sepatu tengah menuruni anak tangga lain, sedang mendekati dirinya. Segera dia menyeka air mata yang tak pernah henti keluar.

Hani, tadi gue niat mau nanya lo kenapa. Tapi berhubung tadi gue lihat si Chanyeol menatap layar IPadnya di ruang rapat, gue bisa nebak alasan kenapa lo nangis sekarang", Minho, seseorang yang coba mendekatinya beberapa detik yang lalu kini telah duduk di samping gadis tersebut.

Tanpa harus memalingkan wajahnya ke sumber suara, Hani tahu persis itu Minho.

"Gue gak nangis", Hani berbohong.

Minho hanya tersenyum simpul menanggapi omongan Hani. Dia dengan tatapannya yang tak pernah lepas dari sosok Hani sekarang, menopang dagu dengan tangannya yang bertenger di atas paha kiri.

"Terus tuh mata kenapa bengkak? Ngak usah bohong deh, sudah jelas kok. Seperti yang gue bilang, elo mesti sabar hanya untuk tiga bulan ini".

Hani masih diam menanggapi perkataan Minho. Sesekali dia mengerenyitkan alisnya, "Memangnya kenapa dengan tiga bulan?"

"Gue sudah kasih tahu elo tadi pagi kan. Gue butuh waktu tiga bulan baru bisa mindahin lo ke devisi produksi. Dengan kata lain sementara ini lo coba bertahan dengan si Chanyeol deh"

"Kenapa harus pindah divisi?"

"Emang lo mau punya atasan kayak si beruang kutub?"

"Gue profesional kalau kerja. Urusan beginian ngak ada hubungannya dengan kerjaan."

"Si raja profesional juga ngomong begitu ke gue. Tapi lo tahu, kemaren kalau gue tidak sadarkan dia, elo ngak bakalan bisa masuk ke perusahaan ini"

Hani yang mendengar perkataan Minho langsung mendadak menatap tajam ke arah pria yang duduk di sampingnya. Dia tidak percaya Minho yang dia pikir baik bisa bicara seakan-akan nasib karirnya ada di tangannya, "Jadi elo pikir ini semua berkat lo?"

Gantian Minho yang terdiam. Dia tahu apa yang Hani maksud. Bukan, bukan itu yang sebenarya yang Minho pikirkan tentangnya.

Minho memalingkan wajahnya dari Hani. Dia mendengus kesal namun tetap memilih diam daripada menjawab pertanyaan gadis galau di sampingnya.

"Sori", Hani perlahan menatap lembut wajah Minho, "Gue ngelampiaskan kekesalan gue ke elo, Min. Gue gak bermaksud ngomong begitu ke elo. Gue tahu kalo bukan karna lo, gue ngak bakalan bisa kerja disini", lanjutnya.

Akhirnya, Minho terkekeh mendengar permintaan maaf si Hani. Dia lalu beranjak dari posisi duduknya sambil mengulurkan tangan ke arah Hani, "Itu artinya usaha gue sudah abdol, kan? Kalau gitu, gue mau minta traktir minum bubble tea di cafe sebrang yaa, sayang".

"Buset. Ngelunjak dah nih bocah tengil. Kalau soal traktiran aja lo cepat", Hani memukul telapak tangan Minho yang terulur ke arahnya.

"Stop panggil gue sayang, sekalipun gue tau tuh artinya honey. Mual tahu ngak?".

_______

Minho's POV
At Sunny Caffe

Aku menatap lurus ke wajah seorang gadis yang tepat duduk di hadapanku. Teringat dua hari yang lalu saat kami duduk di cafe ini, di tempat duduk yang sama, sambil melepas lelah akibat dikejar sekelompok debt collectors. Aku terkekeh sendiri mengingatnya kembali.

"Kenapa lo, Ho?", Hani memandangiku aneh.

Tapi anehnya aku malah tidak bisa menahan tawa lebih lama lagi. Akhirnya tawa itu meledak di depannya. Butuh semenit, hingga aku benar-benar bisa menghentikan segala rasa aneh yang ada diperutku.

"Han, elo ingat ngak kejadian yang buat kita ada di cafe ini dua hari yang lalu?", aku coba mengingatkannya.

"Jelaslah. Itukan kejadian bodoh yang menghubungkan semua yang entah harus kusebut kesialan atau keberuntungan buat gue", Hani tersenyum dan aku yakin setidaknya ada kenangan manis antara aku dan dia terselip dari beberapa kenangan yang sedang berkelebat di pikirannya saat ini.

"Minho gue bingung deh, sampai sekarang gue masih gak ngerti kenapa elo setidaknya harus bertanggung jawab karena gue dikejar debt collectors sialan itu?"

"Maksudnya?"

"Elo bahkan ngasih gue pekerjaan karena gue pikir lo sedikit ngerasa bersalah ke gue. Bingung kan gue jadinya"

"Oh soal itu, gue ingat gue pernah ngomong begitu ke elo saat pertemuan pertama kita di sini. Jadi gini, elo ingat gak perusahaan tempat lo wawancara pertama kali? Itu perusahaan yang kehilangan semua sahamnya di meja judi sedangkan dia meninggalkan banyak utang di beberapa perusahaan sebagai relasinya. Dengan kata lain dia bangkrut dalam semalam"

Lucu sekali, Hani melotot dengan mulut menganga lebar. Dia terkesiap mendengar semua penjelasanku dan aku pikir dia baru menyadarinya sekarang.

"Itulah sebabnya dia dikejar-kejar sama debt collectors. Dan hubungannya sama gue tuh ada. Sekelompok debt collectors yang masuk ke ruang itu, adalah orang suruhan Chanyeol. Pak Hendra bangkrut artinya dia juga wajib mengganti kerugian yang kami alami karena dia juga relasi di perusahaan kami. Ngerti gak, lo?", kurasa, aku sudah cukup membuatnya bingung.

"Maksudnya, sekelompok debt collector mengerikan itu, orang-orangnya Chanyeol?", Hani menatapku dengan tatapan antara percaya dan tidak.

Dia meneguk abis segelas ice tea miliknya, "Gue pikir, demi keamanan hidup gue, kesalahan tadi pagi itu kesalahan fatal terakhir yang gue buat ke dia. Beruang kutub itu ternyata lebih menyeramkan dari perkiraan gue, Ho.", lanjut Hani meyakinkanku.

Entahlah, apa aku salah telah mencuci otaknya terkait kehidupan sisi gelap si Chanyeol tuh. Aku sedikit kaget melihat my Hani setakut itu menanggapinya. Tapi apapun itu, selagi dia merasa nyaman seperti itu, aku akan selalu mendukungnya.

Cinta ngak perlu maksa orang untuk menjauhi ini dan itu, alih-alih rasa possesif yang selalu menguasai ego. Cukup buat dia nyaman, secara tidak langsung dia akan lebih mawas diri untuk menjauhi hal yang dia benci.


***
-tbc-
c.u at 9:13

Goodbye OppaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang