BAB 10

20 0 0
                                    

    ROZA menjemput Kellyn tepat waktu. Satu jam kemudian mereka tiba di rumah sakit. Roza memarkir mobilnya dan bergegas menarik tangan Kellyn menuju kamar tempat Ziel dirawat.
"Pelan-pelan dong, Za," protes Kellyn.
Roza nggak peduli. Sebelah tangannya malah sibuk menekan-nekan tombol handphone-nya.
"Lo di mana?" tanya Roza lewat HP. "Gue sama Kellyn udah sampai." Roza mematikan handphone-nya dan memasukkannya ke saku celananya.
"Siapa?" tanya Kellyn.
"Audrey," jawab Roza singkat lalu menggiring Kellyn masuk ke lift.
Keluar dari lift mereka menyusuri koridor menuju kamar tempat Ziel dirawat. Koridor itu agak ramai. Sepertinya sedang jam besuk. Roza berhenti di depan kamar yang berada di ujung koridor.
"Ini kamarnya," Roza memberitahu Kellyn.
Kellyn cuma mengangguk.
Roza mengetuk pintu kamar itu dua kali, lalu membuka pintu dan masuk. Kellyn mengekor di belakang.
Di kamar itu cuma ada satu tempat tidur pasien. Perabotannya lengkap: ada TV, lemari pakaian, kulkas mini, dan sofa yang dijamin pasti empuk.
Ziel berbaring di tempat tidur pasien dengan alat bangu pernapasan menutupi hidungnya dan slang infus yang terpasang di tangannya. Matanya tertutup rapat.
Kellyn mengedarkan pandangan. Selain dia, di kamar ini ada Roza, Audrey, Shelly, dan Agung yang berdiri berjajar di samping tempat tidur.
Roza bergabung dengan teman-temannya dan berdiri di sisi tempat tidur. Kellyn berjalan mendekati Ziel yang tampaknya tertidur lelap.
"De, bener nggak sih, Ziel sakit flu burung?" tanya Kellyn.
"Betul, Lyn," jawab Audrey cepat. "Tapi masih belum positif sih."
"Lalu orangtuanya mana?" tanya Kellyn lagi.
"Mmm... tadi sih udah ke sini, tapi sekarang lagi pulang buat istirahat," kali ini gung yang menjawab.
"Lyn..., lo nggak kasihan sama Ziel?" tanya Shelly pelan. "Dia udah dirawat sejak dua hari yang lalu."
Kellyn nggak menjawab. Dia cuma menatap wajah Ziel.
"Lyn, gimana kalau Ziel nggak bisa diselamatkan?" ujar Audrey. "Apa lo nggak sedih kehilangan dia?"
Kellyn tetap bungkam.
"Ziel benar-benar suka sama lo," kata Agung. "Kalau memang dia nggak bisa diselamatkan, paling nggak, lo balas cintanya di sisa umurnya."
Kellyn mengunci bibirnya rapat-rapat.
"Lyn, kok lo diam aja sih?" protes Roza.
Kellyn mendongakkan kepalanya. Dia memandang teman-teman yang berdiri di hadapannya dengan diam.
"Gue nggak peduli," akhirnya Kellyn buka suara. "Gue nggak peduli dia sakit atau sekarat. Puas?"
Mata Roza, Shelly, Audrey, dan Agung melotot. Mereka kaget mendengar ucapan Kellyn.
"Lo kejam, Lyn!" kata Audrey.
"Ziel sayang banget sama lo, tapi lo malah jahat sama dia," sambung Shelly. "Lo keterlaluan."
"Ziel, dengar kata-kata gue dengan baik!" Kellyn nggak memedulikan ucapan teman-temannya, dia malah bicara dengan Ziel yang terbaring di tempat tidur. "Gue nggak suka cowok lemah!"
Setelah itu Bia beranjak meninggalkan tempatnya.
"Tunggu, Lyn!" suara seseorang menahan Kellyn.
Kellyn membalikkan badan. Dilihatnya Ziel duduk tegak dan melepas alat bantu pernapasan yang menutup hidungnya. Lalu dia mencabut jarum infus yang ternyata hanya menempel di tangannya.
"Kellyn... gue bukan cowok lemah!" ujarnya, lalu berdiri dan berjalan mendekati Kellyn.
"Syukur deh," kata Kellyn, lalu berbalik lagi untuk meninggalkan kamar itu.
Baru saja Ziel hendak menahan Kellyn, pintu kamar terbuka sehingga Kellyn berhenti melangkah.
Seorang laki-laki setengah baya berpakaian dokter muncul dari balik pintu dengan senyum ramah sambil bertanya, "Bagaimana latihan syutingnya?"
Kellyn merasa pernah melihat laki-laki itu. Ah, dia ingat. Laki-laki itu paman Roza yang waktu itu pernah mengobrol dengan papanya waktu papa Roza meninggal.
"Latihannya baik, Oom," jawab Kellyn.
Zielinski, Roza, Shelly, Audrey, dan Agung terpana mendengar jawaban Kellyn.
"Bagus kalau begitu," sahut paman Roza. "Tapi jangan lama-lama ya, takutnya nanti ada pasien yang mau masuk."
"Baik, Oom," Kellyn kembali menjawab. "Lagi pula latihannya udah selesai kok."
"Oh, begitu ya." Paman Roza tersenyum. "Kalau begitu, nanti kalian lapor pada suster jaga agar kamar ini bisa segera dirapikan."
"Baik, Om."
Paman Roza keluar dari kamar sambil tetap tersenyum.
"Jadi, lo udah tau kalau semua ini cuma pura-pura, Lyn?" tanya Roza beigtu pintu kamar tertutup kembali.
"Memangnya kalian pikir gue bego?" Kellyn balik bertanya.
"Lo jangan marah, Lyn," kata Ziel. "Mereka cuma bermaksud menolong gue agar bisa baikan sama lo. Mereka nggak salah."
"Gue nggak bilang mereka salah...," sahut Kellyn.
"Maaf, Lyn, ini semua ide gue," aku Shelly.
"Dan gue yang jadi sutradaranya," ujar Roza. "Dokter tadi oom gue. Dia punya kedudukan yang cukup tinggi di rumah sakit ini dan dia yang meminjamkan kamar ini dengan alasan gue mau latihan syuting buat pertunjukan saat kelulusan nanti," sambung Roza.
Audrey nggak mau ketinggalan. Dia ikut buka suara, "Gue penulis skenarionya, Lyn."
Kellyn diam saja. Ekspresinya datar.
"Lyn, kami tuh cuma mau ngebantuin Ziel buat baikan sama lo," kata Yuki. "Dia tulus sayang sama lo."
"Siapa yang punya ide tentang penyakit flu burung?" tanya Kellyn tanpa merespons kata-kata Shelly.
Audrey mengangkat tangan kanannya. "Gue."
"Sebenarnya, idenya maksa sih...," celetuk Agung.
Tiba-tiba Kellyn tertawa. "Kalian tuh tolol banget sih! Cari penyakit kok yang aneh gitu. Mana mungkin gue percaya."
"Jadi lo curiga?" tanya Roza.
"Jelaslah!" jawab Kellyn. "Flu burung kan bukan penyakit sembarangan. Orang yang diduga terjangkit virus flu burung bakal diisolasi. Jadi mana mungkin kalian diizinin ngumpul di sini bareng Ziel yang katanya kena flu burung. Udah gitu, masa anak sakit parah orangtuanya nggak nemenin. Satu lagi yang perlu kalian tau, biasanya pasien yang dicurigai kena flu burung itu bakal dirujuk ke RSUD Ernaldi Bahar. Masa kalian nggak pernah dengar sih?"
"Tuh kan, gue bilang juga apa!" ujar Roza. "Jangan bilang kena flu burung. Demam berdarah aja. Lebih masuk akal."
"Tapi kan flu burung lagi ngetren, Za," Audrey ngotot.
"Tapi buktinya, rencana kita gagal gara-gara ide lo itu," balas Roza.
Audrey cuma manyun.
"Apa kalian pikir semua yang udah kalian rancang ini bisa membuat gue baikan sama Ziel?" tanya Kellyn.
"Itu harapan kami, Lyn," jawab Shelly. "Paling nggak, kami udah usaha."
Suasana mendadak jadi hening. Mata Kellyn beradu pandang dengan Ziel yang berdiri di hadapannya.
Lalu Kellyn berkata pelan, "Apa buktinya kalau lo sayang sama gue dan nggak akan pernah membuat gue kecewa?"
"Gue nggak bisa menunjukkan buktinya ke lo, karena bukti itu ada di dalam hati gue dan hanya bisa gue perlihatkan seiring berjalannya waktu...," jawab Ziel sungguh-sungguh.
"Berarti, gue harus percaya sama ucapan lo begitu aja?"
Ziel mengangguk. Bola matanya menatap Kellyn dengan lembut, membuat jantung Kellyn berdebar nggak keruan. Kellyn menunduk agar ZIel nggak bisa melihat wajahnya yang mulai terasa memerah dan panas.
"Kalau ternyata lo ngecewain gue?" tanya Kellyn dengan kepala masih tertunduk, "gue jamin lo nggak bakal bisa tersenyum lagi."
Ziel terkesima mendengar kata-kata kellyn. Begitu pula Shelly, Roza, Audrey, dan Audrey yang menonton dari belakang.
"Apa ini berarti lo nerima cinta gue, Lyn?" Zielinski mencoba menerka.
Wajah Kellyn makin memerah. Dia menyahut sambil pura-pura membuang muka, "Nggak tau ah!"
Senyum Ziel merekah. Dia melompat dan berteriak kencang, "YES!"
Kellyn nggak tahu harus bersikap bagaimana. Dia jadi salah tingkah. Apalagi ketika Ziel tiba-tiba menarik tubuhnya dan memeluknya erat.
"Gila, apa-apaan sih lo!" protes Kellyn sambil meronta.
Tapi Ziel nggak mau melepasnya. "Makasih, Lyn. Sekarang lo resmi jadi pacar gue..."
"Heh, siapa yang bilang gue mau pacaran sama lo?" Bia berusaha melepaskan diri dari pelukan Ziel.
"Kali ini lo nggak akan gue lepasin," bisik Ziel lembut di dekat telinga Kellyn. "Kata-kata lo tadi udah gue terjemahkan sebagai pernyataan bahwa lo bersedia jadi pacar gue. Dan lo nggak bisa menariknya lagi."
Kellyn berhenti meronta. Tubuhnya terasa lemas saat merasakan desah napas Ziel di telinganya. kellyn menyerah. Dia nggak lagi melawan. Dia membiarkan cinta merasuki dirinya.
"Gue sayang lo, Lyn...," bisik Ziel lagi.
Kellyn nggak menjawab, tapi tangannya perlahan bergerak dan membalas pelukan Ziel dengan sepenuh hati. Direbahkannya kepalanya di pundak Ziel, dibiarkannya
sensasi yang belum pernah dia rasakan menjalar lembut ke seluruh pembuluh darahnya.
Gue juga sayang eo, Ziel, kata Kellyn tanpa suara. Senyumnya merekah dalam pelukan hangat Zielinski.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 08, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

FANA MERAH JAMBUWhere stories live. Discover now