Akhir dan Awal

83 9 13
                                    

"Putusin gue."

Angin bergulir ringan membawa kenikmatan yang sama sekali tidak cocok dengan sikon di sana. Lelaki itu sedikit terperangah meski ia tak menampakkannya. Mimik dustanya pintar menyembunyikan kelut pikiran yang mendadak rancu.

"Kenapa?"

Pertanyaan klasik, tanggapan gadis di depan menurutnya sangat tidak memuaskan: terkekeh singkat nampak meremehkan.

"Apa yang kenapa? Tentu saja karena gue uda muak sama lo," jawab si gadis enteng.

"Kamu bercanda?"

"Selama ini, selama empat tahun ini, apa lo pernah dengar gue bercanda?"

Pemuda itu tercekat, seakan tak dapat lagi menyangkal. Dia memang mengenal Aarona Chaewon adalah sosok yang serius dan tak main-main di setiap katanya.

"Tapi, kenapa?" ulang Felix dengan masih menyimpan ketidayakinan akan pernyataan sepihak dari pacar-nya.

"Sudah gue bilang, kan? Gue udah muak sama lo."

"Lalu kenapa harus aku yang mutusin kamu?"

"Gak apa, kan? Biar antimainstream," Chaewon tersenyum miring.

"Gue gak bisa mutusin lu dengan alasan lu muak sama gue. Gue bisa bikin lu nyaman lagi sama gue," tegas Felix yang juga mulai menyamai logatnya.

"Lo tuh egois. Lo cuma natap seorang doang dari sekian banyak gadis yang bisa lo dapetin dengan segampangnya. Jangan munafik. Kehidupan lo bukan cuma dihiasi oleh hitam-putih, melihat kegelapan dan kehampaan. Dunia ini luas dan penuh warna," Chaewon menggantungkan kalimatnya, mengambil tas punggung yang tergeletak di atas meja.

"Lu mau kemana?"

"Sebelum lo mau janji mewarnai hidup orang lain, lebih baik lo pulas dulu dunia lo yang monokrom," ucap si gadis sebelum ia kembali melanjutkan. "Kemana gue, itu bukan urusan lo lagi. Lo bukan anjing gue yang tiap saat harus gue geret kemana-mana."

Kalau ada lomba debat sarkastik, mungkin Felix yakin Chaewon adalah pemenangnya. Lelaki itu mencengkram erat celana kain yang ia kenakan. Pandangan tak suka tertuju pada punggung kurus yang telah hilang dari sisi pintu kafe.

Felix mengehela napas berat. Ia ambil kasar gelas kopi yang telah disuguhkan, kemudian meminumnya terburu. Kulit pucat itu sedikit berwarna kemerahan, menahan amarah yang sudah di puncaknya. Empat tahun telah kandas untuk suatu hal yang menurutnya sama sekali tidak masuk akal.

Beberapa saat kemudian, ponsel keluaran apple di meja bergetar menandakan sebuah panggilan datang untuk Felix. Ia ambil benda persegi itu dan mengangkatnya hingga sejajar telinga kanan.

"Halo?" sapanya parau dan lemah.

"Woy, gua mau nobar nih, ikut kaga lu? Sekalian, ajak cewek lu juga bro," ajak orang di sebrang.

Ia sangat kenal dengan suara itu, Hyunjin, sahabatnya yang punya banyak sekali kenalan gadis. Ia yakin yang dimaksud 'nobar' adalah nonton bareng cewek.

"Kaga dah, lu aja uda sama cewek-cewek lu."

"Ya elah, kok gitu sih lu! Biasanya mau juga, eh suara lu napa tuh kayak orang lagi putus cinta hahaha," ledek sekaligus tebak-tebak tepat seorang Hyunjin.

"Bacot lu."

"Weh, jadi bener nih lu lagi putus cinta? Lu putus sama Chaewon, njir?"

"Hm,"

"Eh, buset! Sumpah? Yodah, kaga usah galau-galau dah. Ude ye gini aja, gua bakal cariin lu cewek yang lebih cantik, sexy—"

"Bosen gue dengar lu bahas cewek, cewek, cewek mulu! Lu kaga perlu ikut campur masalah gue, gue mau sama siapa itu bukan urusan lu," keluarlah kalimat yang selama ini terpendam di benak Felix. Kalau boleh jujur, dia memang sudah waleh disuguhi kalimat berunsur wanita dari temannya yang satu ini.

Look at Me, Please! [Felix] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang