Sejak

23 6 13
                                    

Sejak saling mengetahui bahwa Felix dan Kana nyatanya satu sekolah, dunia jadi terasa lebih sempit. Buktinya setiap hari penghuni SMA akan melihat keduanya saling berhadapan hanya sekadar untuk mempertengkarkan hal kecil.

Hari ini—untuk kelima, keenam atau ketujuh kalinya—terdengar kembali cek-cok antara Felix dan Kana.

"Lo yang numpahin catnya ke gue!"

"Mata lu! Gue uda pelan-pelan bawanya, lu aja yang nyelonong nyerempet gue!"

"Dih lo kira gue sengaja?"

"Gue kaga mau tahu, lu harus ganti rugi! Mahal ini woy!"

"Kalo gitu lo harus ganti baju gue juga!"

"Lu mau ganti baju? Yauda ayo!"

"Babiiiii!"

Setiap hari begitu, dan yang lain juga sama. Paling-paling setelah ini akan ada guru yang menemui mereka, kemudian berakhir di kantin menjadi buruh tak berbayar.

"Udalah! Kita uda sama-sama dewasa. Gue capek harus deket-deket lu lagi sambil bersihin piring," final Felix menyudahi pertikaian. "Mending lu urus baju lu sendiri, dan gue urus cat gue sendiri. Meskipun gak rela, tapi gue coba ikhlas."

Kana sedikit berpikir, ada sedikit rasa yang kurang di hatinya. Mungkin karena sudah terbiasa perang lidah selama lebih dari satu jam bersama Felix. Dan untuk waktu yang singkat ini... dia merasa kurang puas.

"Hm, ya udah."

Keduanya saling meninggalkan, sepakat tak mempermasalahkan hal tersebut kembali. Kana sedikit cemberut, entah ada apa dengan dirinya. Tapi dia merasa kurang enak saja kalau belum bacotin Felix panjang lebar. Mungkin nanti, kalau ada masalah lagi.

"Kata orang, kalau gadis sedang cemberut tandanya sedang jatuh cinta, hehehe."

Sebuah suara mengintrupsi segala pemikiran Kana yang sempat kosong. Gadis itu menengok ke samping dan mendapati sosok pemuda tengah menyamai jalannya.

"Aaah, Changbin! Selalu misterius aja kalau datang!" Kana memukul pelan lengan kawannya itu.
"Lagian kalimat darimana itu kok gak pernah denger?"

"Haha dari gua lah. Kenapa hm? Ada apa dengan Alkana Elleesa siang ini yang tiba-tiba membawa mendung di hari yang terik?"

"Gak apa-apa, dih."

Changbin Keano, sosok tegap dan berfisik atlet ini adalah sahabatnya. Dia cukup terkenal, bukan karena prestasi namun karena kebebalannya. Ibarat kampung, dia adalah ketua preman yang cuma manut sama seorang Kana aja. Iya, Kana aja, yang lain mah butiran debu menurut Changbin. Katanya sih, dia adalah orang yang di mimpi dan jawaban valid dari doa yang dikirim ke Tuhan untuk Kana sebagai pemberi kebahagiaan.

"Lu kayaknya makin sering ketemu sama si buluk itu, ya?" tanya Changbin yang mulai keluar dari topik.

"Buluk? O-ohh, Felix maksudnya? Dih, siapa juga mau ketemu dia. Ketemuan pun cuma karena gak sengaja, lagian kalau tahu bakal ketemu juga lebih baik gue puter arah aja deh!"

"Hm gitu, semoga aja sih. Denger dan inget baik-baik ya. Selama lu belum punya pacar, lu adalah tanggungjawab gua. Gua gak mau sohib gua terluka bahkan kalau itu di jari doang."

Kana tersenyum mendengarnya. Inilah Changbin, bukan hanya sosok sahabat tetapi juga merangkap sebagai kakak terbaik untuknya. Gadis ini hanya dapat terus merapal doa, agar pemain basket muda ini tak pernah berniat untuk hengkang jadi temannya.

"Terus kalau gue uda ada pacar gimana?"

"Maka itu sudah bukan jadi urusan gua. Berarti gua uda selesai, dan waktunya lelaki lu buat ambil wewenang itu."

"Ck, kenapa lo malah cosplay jadi bokap gue sih? Hahaha, dasar!" gadis itu tertawa sambil menepuk bahu Changbin dengan pelan.

Changbin meneguk air mineral yang diam-diam ia bawa di kantungnya, namun samar-samar pula ia suguhkan seringai kecil di bibirnya.

"Uda makan?" tanya Changbin kembali yang langsung disambut dengan gelengan kepala dari gadis di sampingnya.

"Skuy makan, temen gue lagi ultah gue mau palakin dia buat traktir kita," ucap Changbin semangat sambil menarik Kana menuju kelasnya.

"E-Eh Bin, ihh malu-maluin jangaaaan!"

"Udah diem aja. Lu mah tinggal makan aja, Bocah!" Changbin terus menggeret Kana dengan semangatnya sambil terus terbahak melihat sahabatnya itu yang sudah merah menahan malu di wajahnya.



Felix tengah mengutak-atik ponselnya membuka menu line kemudian menutupnya kembali setelah duduk ditemani Hyunjin selama 15 menit. Begitu terus-menerus hingga sebuah suara mengambil alih atensinya.

"Mau sampai kapan sih lu gak nerima kenyataan dan terus terpuruk di jurang yang sama?" Hyunjin menenggak kaleng sodanya sambil mengarahkan pandangan ke lapangan sepak bola.

"Gue bukan gak nerima—"

"Jawaban lu sama aja, Lix, kayak yang kemarin-kemarin. Tapi reaksi lu apa? Lu tuh mudah banget ditebak, jadi jangan coba-coba naif depan gua."

Suasana hening, Felix menyisir rambut dengan kelima jarinya yang justru semakin mengeluarkan kharisma yang ia miliki. Keringat yang menyisa di dahinya terasa sejuk tatkala angin menerpa dengan lembut. Main satu putaran sepakbola bersama timnya ternyata lumayan melelahkan juga kalau dilakukan di siang hari begini.

"Si Alkana Alkuna Alkena ah pokoknya si kimia itu, kenapa gak lu coba aja sih?"

Dilontari pertanyaan ambigu seperti itu, membuat Felix kebingungan dan hanya menjawab "Ha?" saja.

"Iya, coba. Coba aja, mungkin cocok dan pas buat lu."

"Hahaha, emang untungnya apaan?"

"Ah, orang pinter mah selalu yang dilihat untungnya dulu. Yang jelas kalau pas nih, dia bisa bikin lu move on. Terus dia juga cakep, kan lumayan buat hiburan."

Felix bergeleng-geleng sambil tertawa mengejek, "Cewek kayak dia, gak bakal cocok sama gue."

"Kalau gak cocok tinggal buang. Yang penting kan dicobain dulu," muncullah seringai nakal Hyunjin. Dia memang begitu, menganggap setiap perempuan hanya untuk digoda.

"Lu gila, Jin. Tapi anehnya gue gak pernah mau tau soal itu."

Hyunjin tertawa keras mendengar penuturan dari sobatnya itu. Sengaja atau tidak, Felix sudah menyatakan bahwa dirinya memang tak memandang Hyunjin sebagai orang yang buruk namun murni sebagai sosok teman sejati.

"Emang pantes Chaewon bilang lu monokrom, pada dasarnya lu emang polos kek pantat bayi."

"Ck, kaga usah bahas doi lagi!"

"But actually you still wanna hear about her."

---TBC---

Look at Me, Please! [Felix] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang