DUA PULUH TIGA

1.3K 167 6
                                    

Happy reading

***

Pintu berwarna putih di hadapannya tidak kunjung dibuka, ini sudah yang ke sekian kalinya Sehun mendapati Jennie kembali masuk rumah sakit.

Sehun sebenarnya tidak tega membiarkan Lalisa sendirian di apartemen, tapi kondisi Jennie sekarang membuat Sehun harus mendatanginya.

Setelah berdiam diri beberapa saat, Sehun akhirnya memutar knop pintu di hadapannya. Masuk dengan langkah pelan.

Terlihat Jennie sedang berbaring dengan mata yang tertutup, terdapat selang infus pada tangan bagian kanannya.

Sehun duduk pada kursi di samping ranjang Jennie, mengelus puncak kepalanya lembut.

"Sebenarnya kau sakit apa?" lirih Sehun.

Bersamaan dengan itu, Jennie membuka kelopak matanya perlahan. Bibirnya menyunggingkan senyuman yang tipis.

"Aku tertidur saat menunggumu," ucapnya.

"Maaf. Tadi aku terkena macet saat menuju ke sini," sahut Sehun.

"Kau kenapa? Kenapa kembali masuk rumah sakit?" lanjutnya bertanya.

Jennie mengerjakan matanya beberapa kali. "Memangnya kenapa? Aku suka berada di sini."

"Don't say that, aku tahu kau menyembunyikan sesuatu dariku," tukas Sehun.

"Jangan karena aku tidak membalas perasaanmu, kau menjadi tertutup. Aku masih teman baikmu, Jennie."

Jennie menghela napasnya berat, kedua bola matanya berkaca-kaca. Bukan karena Sehun yang memilih untuk menjaga jarak darinya, tapi karena kenyataan yang ia terima membuat Jennie takut untuk memberitahu Sehun yang sebenarnya.

Ia takut Sehun semakin menjauh.

"Aku tidak berpikir seperti itu," sahut Jennie parau.

"Lalu?"

"Aku takut kau menjauh."

Dahi Sehun mengernyit, tidak mengerti.

"Kanker rahim."

"Aku mengidap kanker rahim, stadium empat," lanjutnya.

Sehun terdiam, kalimat yang dilontarkan Jennie barusan membuatnya tercekat. Sebuah kenyataan yang baru saja Sehun ketahui membuatnya tidak bisa berkata apapun.

Sehun merasa dirinya tidak berguna, apalagi dengan semua yang telah ia lakukan pada Jennie. Selama ini ia selalu membuat Jennie bergantung tanpa kepastian, selama ini Jennie mungkin sangat begitu membutuhkan seseorang, Jennie melawan penyakitnya sendirian tanpa ada seorang pun yang memberikannya dukungan moral. Selama ini Jenie menyembunyikan semuanya dari Sehun.

"Kenapa kau baru mengatakannya sekarang, Jennie? Kenapa baru sekarang?!" desak Sehun. Napasnya memburu, namun kedua tangannya mencoba meraih kedua jemari Jennie yang terkulai lemas.

"S-sudah kubilang, aku terlalu takut, Sehun."

Sehun tidak bisa membayangkan betapa tersiksanya Jennie menghadapi ini semua sendirian.

"Takut? Apa alasanmu takut untuk memberitahukanku soal hal yang sebesar ini?"

Jennie terdiam, ia mengalihkan pandangannya ke arah lain, asalkan tidak menatap Sehun.

"Aku sudah bilang, aku takut kau menjauh jika mengetahui tentang penyakitku. Maka dari itu aku tidak pernah memberitahukan kondisiku padamu. Apalagi dengan keadaanku sebagai pekerja di ... Di tempat dimana semua orang selalu menganggapku rendah. Kau pasti berpikir, aku itu seorang wanita yang menjijikkan. Ya, aku memang menjijikkan, ditambah lagi dengan keadaanku sekarang," tutur Jennie, air mata yang sedari tadi ditahannya turun membasahi pipi.

Sehun menggeleng tidak percaya.

"Kenapa kau selalu berpikir seperti itu? Kau selalu merendahkan dirimu sendiri, setiap orang mempunyai jalan hidupnya masing-masing Jennie, dan itu mungkin memang jalan hidupmu sekarang. Aku tidak pernah menganggapmu rendah dengan pekerjaanmu," sangkal Sehun.

Jennie mengusap pipinya yang berurai air mata, kembali menatap Sehun di sampingnya.

"Tapi sekarang kau sudah mengetahui semuanya, aku tidak peduli lagi dengan keadaanku sekarang, Kai melarangku kembali ke tempat itu lagi. Aku tidak bisa berbuat apapun, hanya tinggal menunggu waktuku habis."

Jennie meringis, merasakan sakit yang kembali menyerang pada bagian bawah perutnya.

"Jangan berpikiran seperti itu, Jennie! Kau pasti bisa sembuh bagaimana pun caranya. Aku akan selalu bersamamu, jangan khawatir."

Sehun mengelus pipi Jennie lembut, Jennie memejamkan kedua matanya, menikmati sentuhan jemari Sehun yang selalu membuatnya merasa nyaman.

"Aku tidak akan melakukan pengobatan, aku sudah lama melakukan itu dan tetap tidak berpengaruh pada kesehatanku.

"Aku tidak melakukan tindakan operasi karena aku takut. Entah kenapa, aku hanya takut saja ... Jika kau juga memintaku untuk melakukannya, percuma. Penyakitku sudah memasuki stadium empat, sudah tidak ada harapan lagi untukku sembuh."

Sehun menghela napas, menetralkan perasaan sesak yang membuncah memenuhi dadanya kala mengetahui wanita yang selama ini ia sayangi layaknya adiknya sendiri mengalami hal yang begitu berat.

Wajah Jennie yang pucat, dan tubuhnya yang apabila diteliti lebih jauh terlihat lebih kurus dibandingkan beberapa waktu yang lalu. Sesekali ia memejam, meringis menahan sakit yang berada pada bagian bawah perutnya.

Sehun mendekatkan jemari Jennie pada wajahnya, lalu mengecupnya pelan.

"Aku memang tidak setuju dengan keputusanmu yang tidak mau melakukan tindakan pengobatan lebih lanjut, tapi aku akan selalu menemanimu agar kau segera sembuh."

Jennie tersenyum kecil, terdengar miris saat ia mendengar kata 'sembuh'. Sungguh suatu yang sangat mustahil melihat bagaimana kondisinya sekarang.

Jennie membalas genggaman tangan Sehun dengan erat. "Temani aku," lirihnya.

Sehun mengangguk. "Aku akan menemanimu. Tidurlah," titahnya.

Jennie menggeleng. "Temani aku. Aku ingin kau menemaniku saat ini, yang mungkin merupakan saat-saat terakhirku."

Decakan keluar dari mulut Sehun. "Jangan berkata seperti itu, aku tidak suka," tegasnya. "Kau pasti bisa sembuh bagaimanapun caranya."

"Aku akan menemanimu. Jangan khawatir, Jennie."

"Sekarang tidurlah, istirahat," ucap Sehun pelan. Lalu menyelimuti Jennie hingga batas dagunya agar ia tidak kedinginan.

Jennie menatap Sehun dengan mata yang sayu dan terlihat lelah, bibirnya menyunggingkan senyuman kecil. Sehun mengusap puncak kepala Jennie, dengan ragu ia mendekatkan wajahnya kemudian mengecup kening Jennie pelan.

Mata Jennie terpejam merasakan kecupan yang Sehun berikan.

"Terima kasih, Sehunie," bisiknya, kemudian Jennie benar-benar memejamkan matanya, beristirahat.

Sehun tersenyum simpul, lalu berjalan ke arah sofa yang berada di dalam kamar rawat Jennie. Merebahkan dirinya di atas sofa tersebut, dia ingin beristirahat sebentar sebelum kembali ke apartemen.

***

Embusan napas kasar terdengar ketika Kai menyaksikan Sehun berada di dalam kamar rawat Jennie. Pintu kamar yang memiliki kaca transparan dan sedikit buram tersebut memudahkan siapa saja untuk melihat ke dalam. Begitupun dengan Kai, saat ia akan melihat kembali keadaan Jennie setelah pergi dari kantin rumah sakit, dia melihat Sehun sudah berada di dalam dan terlihat berbicara serius dengan Jennie.

Kai tidak mau merusak suasana jika ia masuk ke dalam, dia lebih memilih untuk duduk pada kursi yang berada di luar kamar rawat Jennie. Menunggu Sehun keluar dari sana setelah urusannya dengan Jennie selesai.

***

SeLisa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang