"Jika kamu tidak bisa kembali, maka akan kupaksa takdir membawaku pergi."
Gadis kecil itu berlari menantang derasnya hujan. Sesekali ia menyeka air mata di pipinya yang sudah tersamar oleh air hujan di wajahnya. Ia menyebrangi jalan dengan asal, tanpa peduli dengan kendaraan yang menglakson bahkan nyaris menabraknya. Nyeri di dada bagian kirinya tidak lagi ia risaukan. Ia hanya ingin segera sampai disebuah cafe di sudut kota tempat ia dan teman-temannya bisa menghabiskan waktu sepulang sekolah.
Setelah sampai, ia langsung menerobos pintu masuk, bahkan nyaris mendobraknya. Seluruh pasang mata penghuni cafe tertuju padanya, namun ia acuh. Pandangannya hanya tertuju pada satu meja di pojok kiri dekat dengan jendela. Ia berjalan kearahnya, lalu berdiri di depan orang-orang di meja itu.
"Gue putus sama Langit."
Sontak Angkasa, Jingga, Keana, Lucas, dan Vanessa hening ditempatnya. Pertanyaan yang mungkin saja ingin dilontarkan mereka saat melihat penampilan Semesta hilang entah kemana. Semenit kemudian, gadis itu ambruk ditempatnya.
"Semesta, lo dengar gue? Bangun!"
***
"Ruangan atas nama Semesta Danendra terletak di lantai lima kamar VVIP-4, Pak."
Danendra berterima kasih kepada perawat yang bertugas di tempat registrasi, kemudian kembali menjemput istrinya yang masih terpaku di mobil.
"Tak apa, Liana. Bahkan kamu tau Semesta adalah anak yang kuat." ujar Danendra seraya mengusap punggung Liana lembut.
Liana menatap Danendra sendu, lalu menggenggam tangan Danendra. Danendra menuntun Liana keluar dari mobil dan berjalan masuk ke dalam rumah sakit.
Liana berusaha tegar bahkan sampai saat ini, saat ia berada di depan ruangan tempat putrinya dirawat. Perlahan Danendra memutar gagang pintu, dan membukanya. Terlihat Angkasa, Jingga, dan Keana yang terduduk lemas dengan gimik yang sulit diartikan.
Melihat Liana, Keana langsung menghambur ke pelukan Liana seraya menangis terisak. Jingga masih dengan posisi yang sama, terduduk lemah seraya memegangi tangan Semesta yang masih belum sadar. Angkasa hanya terpaku di sofa dekat jendela.
Keana menuntun Liana duduk di sofa tak jauh dari sofa Angkasa yang sudah lebih dulu di tempati Danendra.
"Key, bagaimana keadaan Semesta? Kenapa bisa jadi begini? Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Liana mendesak.
Keana menahan isakannya. Setelah dirasa cukup reda, Keana mulai bercerita.
"Kita gak paham apa yang terjadi sama kondisi Semesta, tante. Tapi Keana akui, beberapa hari ini, Semesta beda. Dia udah kayak orang linglung. Dia lebih suka sendirian. Vanessa sempat mendesak Angkasa untuk tanya ke Semesta. Tapi Keana ngelarang. Karena menurut Keana, Semesta juga berhak menyimpan semua isi hati dia sendirian. Dia butuh ruang, butuh waktu. Kita gak bisa mendesak dia untuk cerita."
Liana tampak mendengarkan, begitu juga dengan Danendra, Jingga, dan Angkasa. Keana melanjutkan ceritanya.
"Sampai pada hari ini. Tadi pagi Keana udah suruh Vanessa ngajakin Semesta nongkrong di cafe. Karena biasanya kita memang menghabiskan weekend bareng-bareng dan om sama tante pasti tau. Tapi kali ini Semesta nolak. Dia bilang dia lagi pengen di rumah. Yaudah kita gak maksa. Tadi siang sekitaran pukul satu, dia datang dalam kondisi yang basah. Keana pikir, Semesta jalan kaki dari rumahnya ke cafe dan itu gak bisa di bilang dekat. Dia bilang dia putus sama Langit. Keana mau tanya alasannya, dia langsung ambruk di lantai. Di situ kita kalang kabut. Kita gak tau harus gimana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Tentang Kita
Storie breviJika ini tentang kita, percayalah. aku pasti baik-baik saja. Namun, bagaimana jika ini bukan tentang kita? 88#harapan 12#cintatakterbalas 47#putus 6#berakhir