Mova mengangkat kaki kanannya ke atas dashboard mobil Clyde hanya untuk mengikat tali sepatunya. Pintu mobil itu terbuka dan semua orang yang melewati mobil itu menatapnya, tapi ia tak peduli. Ia adalah Mova. Ia bisa melakukan dan mendapatkan apapun yang ia mau—termasuk membuat alumni paling ganteng sekolahnya tergila-gila padanya dan mencampakkan pacarnya untuk Mova.
"Kau sudah siap?" Clyde bertanya sambil menyentuh rambut Mova dengan lembut.
"Memangnya aku pernah nggak siap?" Mova menarik sebelah sudut bibirnya, meledek turnamen itu.
Clyde tertawa, lalu menggeleng sambil membuka kacamata hitamnya. "Kau ini sombong luar biasa tapi aku malah menyukaimu. Orang-orang pasti menganggapku gila." Kemudian cowok itu kembali meletakkan jemarinya di rambut Mova.
Mova menepis tangan Clyde agar ia bisa menyisir rambutnya ke belakang. "Memang iya," ledek Mova.
"Kau benar. Aku gila karena kecanduan dirimu," bisik Clyde sambil menarik wajah Mova untuk mencium bibirnya.
Tuh kan.
Mova tahu benar cowok itu tidak akan bertahan lama tanpanya. Mova sendiri tak mengerti apa yang cowok itu inginkan dari dirinya. Tapi sudahlah. Kenapa pusing memikirkannya?
Ia adalah Mova.
Ia bisa mendapatkan cowok manapun yang ia mau di sekolahnya, tapi ia memilih untuk memacari cowok yang beberapa tahun lebih tua darinya—ups, 'merebut' mungkin kata yang lebih tepat.
Ia bisa membuat cewek-cewek di sekolahnya girang hanya karena ia hafal nama mereka.
Ia bisa meminta seorang guru diganti dari kelasnya hanya dengan satu curhatan.
Ia adalah Mova—kesayangan SMP Foxville.
Ia sekaligus musuh bagi mereka yang hidupnya pernah (sengaja atau tak sengaja) dibuatnya menderita. Tapi peduli amat! Ia punya cukup kekuatan untuk membuat orang-orang itu diam.
Semuanya hanya karena satu hal sederhana: taruhan. Mr. Gibson, kepala sekolah SMP Foxville tahun lalu, adalah pria bermulut besar. Ia tampak sangat putus asa memimpin sekolah yang katanya tak akan mencetak anak-anak berprestasi. Oh ya, dia mengucapkannya di hadapan seluruh murid baru saat upacara penerimaan. Membuat guru-guru serta siswa kelas dua dan tiga gusar bukan main. Seseorang melempar sepatu pada pria itu, tapi dia malah terkekeh dan bertanya balik, memangnya sekolah ini pernah menghasilkan apa?
Ketua student council mereka akhirnya membuat sebuah taruhan—sadar akan kegemaran pria itu akan judi—apabila sekolah itu berhasil mencetak juara nasional di tahun itu, dia harus mengundurkan diri. Tak sampai tiga bulan, Mova yang notabene masih kelas tujuh kembali ke sekolah dengan membawa piala IYTC (Inter-region Youth Tennis Championship). Hari itu adalah hari kemerdekaan semua siswa dan guru SMP Foxville. Mova masih ingat bagaimana mereka semua mengeluarkan barang-barang Mr. Gibson dari kantornya dan mendudukkan Mova—yang notabene baru kelas tujuh—di kursi kepala sekolah untuk meledeknya.
Walaupun Mr. Gibson melempar tatapan benci pada Mova, tapi Mova sangat menikmati meledek pria itu tepat di depan mukanya. Mova juga muak sekali dengannya karena tiap kali ia melewati lapangan tenis saat klub tenis latihan, ia selalu bilang kalau nenek-nenek di panti jompo bisa main tenis lebih baik dari mereka.
Sejak saat itulah Mova sadar kekuatan yang dimilikinya di sekolah itu. Tentu saja dia tak akan menyia-nyiakannya.
"Ayo, sayang," Clyde mengecup pipi Mova dan mengajaknya keluar dari mobil itu.
"Bukannya kau sudah kuperingatkan? Jangan memanggilku sayang. Aku punya nama," desis Mova sambil merampas kacamata Clyde dan memakainya.
Clyde terkekeh. "Kau peringati sampai ratusan kalipun aku tak akan peduli."
Mova berjalan santai di sisi Clyde. Tak perlu menembus kerumunan karena orang-orang dengan otomatis membukakan jalan untuk mereka. Mova tertawa dalam hati melihat berbagai macam tatapan yang ia terima. Beberapa orang tersenyum puas memandang Mova dan Clyde. Mereka pastilah yang menganut paham 'alpha male dan alpha female memang seharusnya bersama'. Beberapa lagi menatap mereka dengan terkejut. Mereka pastilah orang-orang yang tak mau percaya kalau dongeng itu berakhir.
Dongeng Clyde dan Cayla.
Cayla adalah teman masa kecil Clyde, tapi hidup mereka berdua bagai langit dan bumi. Clyde hidup dalam gemerlap kemewahan, sedangkan Cayla adalah gadis yang hidup dalam kesederhanaan. Bersatunya Clyde dan Cayla membuat banyak orang percaya kalau dongeng itu bisa menjadi kenyataan. Tentu saja semuanya sebelum Mova hadir dan menampar orang-orang itu agar kembali ke realita yang sesungguhnya.
"Kau gugup?" tanya Clyde saat mereka mulai mendekati arena pertandingan.
Mova tertawa. Tawanya sedikit menghina pertanyaan Clyde. "Kau bercanda?"
Tak ada yang lebih sempurna dari hari ini. Tribun penonton sebagian besar dipenuhi oleh pendukungnya. Ada cewek-cewek cheerleader SMP Foxville yang jago mengumpat untuk menjatuhkan mental suporter lawannya. Ada juga cowok-cowok tim sepak bola dan rugby yang siap cari masalah apabila Mova kalah nanti. Ditambah lagi dengan polling di media sosial yang mengatakan lebih dari 70 persen responden mengatakan Mova akan memenangan IYTC tingkat SMP lagi tahun ini. Itu saja sudah cukup untuk menggertak lawannya.
Mova juga sangat mengetahui kemampuan Savana, lawannya hari ini. Mova menonton setiap pertandingannya dengan seksama. Oh, Mova puas sekali melihat tatapan gentar dari mata Savana siang ini. Seperti cenayang yang bisa membaca ajalnya yang sudah dekat, cewek itu juga bisa mencium kekalahannya yang sudah pasti.
Mova sedang membalurkan krim sunblock ke seluruh tubuhnya yang terpapar sinar matahari saat Clyde menghampirinya. "Sedang apa kau di sini? Sana duduk di bangku penonton," ujar Mova yang kesal karena Clyde ada di sana. Ia perlu pikirannya benar-benar fokus pada pertandingan ini dan keberadaan Clyde bisa membuyarkan segalanya.
"Ponselmu berdering terus."
"Abaikan saja," Mova mendecak kesal sambil melempar botol sunblock-nya ke dalam tas.
"Sepertinya penting. Aunt Sandy mencoba menghubungi berkali-kali."
Mova menyambar ponsel yang kembali berdering di tangan Clyde itu lalu mengangkatnya. "Bibi, aku sedang—"
"Kenapa kau baru mengangkat panggilanku?! Besok pemakamannya jam berapa?"
Pemakaman?
"Bibi, sepertinya kau salah sambung. Ini aku Mova."
"Kau ini jangan bercanda! Aku tahu kau Mova, makanya aku ingin bertanya pemakamannya besok jam berapa?"
Mova mulai merasa ada yang tidak beres.
"Pemakaman siapa?"
"Ibumu, bodoh! Memangnya siapa lagi?!"
Langit di atas kepala Mova serasa runtuh dan menimpa Mova. Ponsel yang ada di tangannya merosot dan menghantam lantai beton itu dengan kerasnya hingga layarnya retak parah. Tak hanya ponselnya yang merosot, tubuh Mova juga merosot. Ia berjongkok dan memandang dinding lapangan dengan tatapan kosong selama beberapa saat. Otaknya membeku, sampai-sampai bahkan tak mampu memberi perintah pada matanya untuk menangis.
Kalau diingat-ingat selama dua minggu belakangan ini Mova memang berlatih gila-gilaan—pagi dan malam. Selama saat itu, dunianya serasa hanya terdiri dari dia dan tenis. Ia tak sempat bicara pada siapapun, bahkan ayah dan ibunya. Sebelum ayah dan ibunya bangun, ia sudah berangkat untuk latihan. Begitu juga malam hari, seusai latihan ia langsung terkapar di tempat tidur saking lelahnya.
Ia tak percaya, sampai tak tahu kalau ibunya sempat masuk rumah sakit. Tak tahu atau tak mau tahu?
"Mova? Ada apa?"
Mova tak punya waktu untuk menjawab pertanyaan Clyde. Masih dengan tatapan kosong, Mova menyambar semua barang-barangnya. Kemudian ia mendorong Clyde menyingkir untuk berlari meninggalkan lapangan—meninggalkan kemenangan yang tinggal sejengkal lagi darinya.
Apa gunanya menang kalau ia kehilangan sosok paling penting dalam hidupnya?
* * *
Halooo! Jumpa lagi! Buat yang suka teenlit yang temanya sport, bisa baca bukuku yang En Garde dan Rebound juga ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Deuce
Teen Fiction[TAMAT] Mova, ex-queen bee dan ratu lapangan tenis, kehilangan segala yang ia miliki dalam satu waktu: popularitas, kedudukan, hingga 2 orang yang paling ia sayangi, yaitu ibu dan pacarnya. Satu hari, sebuah undangan misterius tiba di kotak suratnya...