Part 1 Sepatu

47 1 0
                                    

*Author's POV

Bunyi alarm hp yang sudah berkali-kali dimatikan membuyarkan mimpi Fadia. Sudah jam 05.30 WIB. Dia harus segera ke kantor Wali Kota. Ini hari pertama dia bekerja di desk yang baru. Desk metropolitan.

Katanya sih ini desk yang menguji banget. Hampir semua isu terkait masalah perkotaan akan diberitakan. Mulai dari lampu jalan yang mati, jalan berlubang yang membahayakan orang, kasus kriminal, kebijakan wali kota, banjir, kebakaran, dan sebagainya. Pokoknya lengkap.

Fadia deg-degan. Dia paling tidak suka berita kriminal. Tapi mau bagaimana lagi? Sebagai jurnalis berita online dia memang harus siap dengan desk apapun.

Dengan malas Fadia mematikan alarm itu (lagi). Dia berjalan ke kamar mandi dengan rambut yang masih acak-acakan. Dia harus tiba di balai wartawan yang letaknya di Kantor Wali Kota sebelum jam 07.00 WIB.

*Fadia's POV

Aku meremas-remas rambutku hingga berbuih. Air mengucur deras hingga semua busa itu luruh. Setelah yakin semua bagian tubuhku bersih, aku keluar dari kamar mandi dan beranjak ke kamar.

Fadia Nur Saliha namaku. Aku baru saja lulus dari sekolah pendidikan ternama di Yogyakarta. Tak berselang lama setelah sidang pendadaran, aku mendapat panggilan kerja di Jakarta.

Sebagai jurnalis. Iya, jurnalis. Aku diterima di News Corp sebagai calon reporter. Nama News Corp sudah terkenal di seantero negeri sebagai korporasi media besar. Jumlah reporternya saja ribuan dan tersebar di berbagai daerah.

Aku diterima di media online Newscorp.com. Sebenarnya, News Corp juga punya platform lain seperti koran harian, majalah mingguan, majalah bulanan, radio, dan televisi.

Orang-orang bertanya, kenapa tidak jadi guru saja? Termasuk orang tuaku. "Sekolah pendidikan kok jadi jurnalis."

Ah, orang-orang itu hanya berpikir tentang kuliahku yang pendidikan, lalu pekerjaanku jurnalis. Hanya itu. Makanya mereka heran. Aku seakan banting stir.

Padahal itu proses panjang. Aku sudah aktif di dunia tulis menulis sejak SMA. Aku juga aktif di kegiatan pers mahasiswa semasa kuliah. Jadi tidak ada yang aneh dengan pekerjaan jurnalis. Aku kini menjalani pekerjaan ini dan bahagia.

Cukup sudah aku bernostalgia. Masih dengan handuk melilit di dada, aku menuju deretan baju di almari.

"Kita adalah sepasang sepatu
Selalu bersama tak bisa bersatu
Kita mati bagai tak berjiwa
Bergerak karena kaki manusia
Aku sang sepatu kanan
Kamu sang sepatu kiri

Ku senang bila diajak berlari kencang
Tapi aku takut kamu kelelahan
Ku tak masalah bila terkena hujan
Tapi aku takut kamu kedinginan

Kita sadar ingin bersama
Tapi tak bisa apa-apa
Terasa lengkap bila kita berdua
Terasa sedih bila kita di rak berbeda
Di dekatmu kotak bagai nirwana
Tapi saling sentuh pun kita tak berdaya"

Sembari mendengarkan lagu Sepatu-nya Tulus, aku memilih kaos dan celana jeans untuk kupakai pergi liputan. Itulah kostum harianku. Aku harus siap pergi ke pasar, ke jalanan, ke ruas-ruas jalan, ke kantor polisi... Dalam sehari aku bisa berpindah tempat berkali-kali. Jadi aku harus siap dengan kostum apapun. Baju seperti ini sudah paling pas untuk desk metropolitan. 

Suaranya Tulus enak, musiknya nikmat. Rasanya lagu ini mengajak orang untuk berbahagia meski liriknya menceritakan kisah cinta yang berduka.

Aku dengan cepat memasang kacamata. Lalu aku mengambil tas berisi alat rekaman, buku catatan kecil, pulpen, handphone, powerbank, an charger.  Semua adalah persenjataan wajib untukku setiap hari.

Tak lupa aku memakai bedak ber-SPF, lipstik tipis, dan lotion yang juga ber-SPF tinggi. Aku perlu semua itu karena aku akan hidup di jalanan seharian.

Tapi hari ini aku akan mengawalinya dengan santai dulu. Aku akan pergi ke kantor Wali Kota, berkenalan dengan humas dan wartawan di sana.

Well sebenarnya awalnya kemarin nggak begini. Tapi ada beberapa perubahan. Maklum ini (calon) novel pertama. Selamat membaca ya. Ditunggu responnya. 😊

Kisah Sepasang SepatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang