Part 3 Banjir Rob

15 0 0
                                    

Fadia's POV

Hari-hari berikutnya, aku dan Daniel, menjadi rekan untuk bertugas bersama. Menurutku dia lebih taktis. Lebih cepat beradaptasi dan lebih mudah akrab dengan orang-orang.

Tak kurang dua pekan aku selalu bersama dia. Tak setiap waktu tentunya, tapi banyak masa yang aku habiskan dengan bekerja bersama.

Hari ini kami menuju ke lokasi banjir rob di Jakarta Utara. Daniel bilang ada banjir rob di sana.
"Tapi aku nggak tahu banjirnya separah apa."
"Kita datangi aja gimana?"

Daniel tak punya motor. Setiap hari dia pulang-pergi Bogor-Jakarta naik kereta dan angkot.  Tapi dia tahu jalan. Aku tak tahu jalan, tapi punya motor. Motorku Yamaha Vega tua.

Dua kelebihan dan kekurangan ini tampak sangat pas. Akhirnya kami menuju ke lokasi itu bersama. Daniel membawa motorku, aku membonceng dia.

Aku masih ingat, tarikannya ketika membawa motorku begitu kasar. Lalu beberapa kali kubilang, motorku yang sudah itu terbiasa dibawa dengan kelembutan. Tapi itu tak mengubah apa-apa. Memang motorku sudah tua dan memang Daniel tak bisa memperlakukannya seperti aku.

Akhirnya, setelah perjalanan satu setengah jam, kami sampai di lokasi yang katanya banjir itu. Di sana, ada sebuah jalan raya. Kawasan itu memang terletak di dekat pesisir.

Jalan aspal yang ada di depan kami terputus, sebab air menggenang melewati tengah jalan itu. "Sial. Ini bukan banjir. Cuma genangan," kata Daniel mengeluh.

"Tapi ini mengganggu sih. Orang-orang jadi tidak bisa melintas. Apalagi airnya bau," kataku mencoba mengurangi kekesalannya.

Kami memutuskan untuk mencari informasi ke Pak Camat. Daniel tahu tempatnya. Tapi untuk mencapai lokasi kantor kecamatan, kami harus melalui genangan air itu.

Kami terdiam beberapa saat seperti tanpa harapan. Matahari semakin tinggi, sementara kami sudah menghabiskan sebagian besar waktu di jalan. Tak mungkin tak ada berita hari ini. Dan tak mungkin kami menyia-nyiakan perjalanan panjang yang cukup melelahkan itu.

Sesaat kemudian, sebuah truk melaju melewati genangan. Lalu sebuah mobil menyusul. Sayangnya, mobil itu sempat terhenti, lalu kemudian berjalan lagi. Sebuah motor memaksa lewat, namun ia berhasil sampai ke seberang, tempat kami berdiri sekarang.

"Sepertinya nggak papa kita menyeberang," kata Daniel.

"Kamu yakin? Motorku sudah tua. Kalau kemasukan air macet," kataku.

Dia sempat ragu. Tapi tak lama kemudian, ia meyakinkan aku untuk berjalan. Akhirnya, seperti posisi awal, Daniel di depan, aku membonceng di belakang.

Lancar. Motor kami melaju. Daniel dengan percaya diri menaikkan kakinya ke atas sehingga sepatunya tetap kering. Aku pun melakukan hal yang sama. Sembari memegang pundaknya, aku tak tahan untuk tak berteriak setiap saat motor sedikit limbung ke kanan dan ke kiri.

Kami tertawa menertawakan betapa sebegitunya kami harus menjalani profesi ini. Tapi tawa itu masih wajar hingga perlahan motor yang kami tumpangi menunjukkan tanda-tanda tertentu. "Ia" seakan tak tahan dengan bau air yang menghitam. Lama-lama ia batuk pelan, lalu ngambek, mogok tak mau jalan.

"Wadaaaw," teriak Daniel yang mulai ragu menyeimbangkan motor.

Mau tak mau kakinya menyebur juga. Sepatunya basah, celananya basah hingga ke paha.

"Iyuhhh...," kataku sambil tak mampu menahan tawa.
Pipiku kaku rasanya. Bukan tak kasihan. Aku menertawakan kekonyolan kami berdua. Aku bahkan tak peduli bagaimana nasib motorku. Aku juga tak menyalahkan dia yang tak menuruti kata-kataku.

Aku terus tertawa hingga pipiku kaku. Ia mengkhawatirkan bagaimana motorku. Bagaimana kami pulang, sebab tak ada bengkel motor di sekitar. Orang pun jarang berlalu lalang.

"Tenang dulu. Nanti coba nyalakan dulu kalau sudah sampai depan. Tapi maaf ya, aku nggak tahan untuk tak tertawa hahahahhahaa," kataku masih terpingkal-pingkal.

Sepertinya ia begitu menyesal. Namun ia juga tak bisa menahan tawanya menghadapi hal konyol barusan. Ia yang seperti biasa, rapih dengan celana kain, ikat pinggang, kemeja, dan sepatu kets, tercebur di kubangan berwarna hitam berbau menjijikkan.

Puas tertawa, aku turun dari motor ketika genangan itu sudah berlalu. Ia lalu men-starter motorku. Awalnya tak biasa. Ia semakin panik. Lalu ia coba dan coba lagi.

Voila! Motor tuaku menyala. Aku meminta dia memanaskan mesinnya. Suara motor itu menderu-deru mengeluarkan asap hitam. Tak henti-henti kami bersyukur lalu tertawa.

Kami pun tiba di Kantor Kecamatan. Tak punya kontak, langsung datang untung-untungan. Rupanya Pak Camat sedang ada acara. Kami pun menunggu cukup lama.

Rasanya hari itu zonk sekali. Perjalanan yang melelahkan, motor macet terendam air yang bau, lalu menunggu camat selama berjam-jam.

Pak Camat pun datang. Ia menyapa kami, mengajak kami ke ruangannya. Pak Camat menceritakan bagaimana "banjir rob" itu bisa terjadi. Rupanya, terjadi kesalahan perencanaan dalam membuat jalan. Jalan itu melengkung, menjadi cekung. Dulunya hal ini tak terlalu jadi masalah, sebab jarak antara permukaan sungai dan permukaan jalan masih jauh.

Lambat laun permukaan air laut mulai meninggi. Entah karena efek pemanasan global atau karena permukaan tanah di Jakarta yang semakin rendah akibat tingginya penggunaan air tanah. Intinya, permukaan sungai semakin dekat dengan permukaan jalan raya.

Ditambah lagi jarang dilakukan pengerukan sungai di lokasi itu. Akhirnya terjadi sedimentasi di dasar sungai. Ketika hujan tiba, permukaan air sungai semakin tinggi dan air meluap hingga di atas permukaan jalan raya yang cekung.

Kami mengobrol cukup lama. Pak Camat terheran-heran karena aku yang jurusan pendidikan dan Daniel yang anak kelautan memutuskan untuk jadi wartawan.

Tapi, tak lama kemudian ia menceritakan dirinya yang dulu kuliah jurusan keperawatan dan kini menjadi Camat. Kami mengurusi hal yang sama. Jalan cekung dan banjir rob.

Aku dan Daniel akhirnya memutuskan pulang setelah bahan yang dibutuhkan dirasa cukup. Kami sudah naik di atas motor ketika tiba-tiba Pak Camat berlari tergopoh-gopoh ke arah kami.

"Ini sedikit dari saya. Terimakasih sudah jauh-jauh datang kemari." kata Pak Camat memberikan selembar uang berwarna merah kepadaku.
"Nggak usah Pak, terimakasih. Terimakasih sudah menyambut kami dengan baik." kataku.
"Jangan ditolak. Saya kan ngasihnya nggak banyak. Ini buat pengganti transport saja. Kalian sudah jauh-jauh datang kemari," kata dia.

Aku tahu Daniel sudah kelelahan dan tak sabar ingin pulang. Lagipula kami harus segera mengetik berita. Masalah uang jale (jalan-jalan bawa lele) dan uang transport ini akan jadi cukup panjang jika diperdebatkan. Aku akhirnya menerima uang itu.

"Kenapa Pak Camat tadi?" tanya Daniel yang sedari tadi tak menyadari apa yang terjadi antara aku dan Pak Camat.
"Biasa. Dia ngasih uang buat transport kita."

Aku menjelaskan kenapa tak menolaknya. Rupanya, kantor kami memiliki kebijakan berbeda. Kantor Daniel memperbolehkan wartawannya menerima pemberian dari narasumber selama ia tidak meminta. Kantorku menolak sama sekali pemberian uang, membatasi pemberian barang. Tapi dalam kondisi kami tidak bisa menolak, uang itu boleh kami terima dan setorkan ke kantor untuk disalurkan ke lembaga atau yayasan sosial.

Karena kantornya membolehkan, kuminta Daniel menerima saja uang itu. Ia bertanya bagaimana denganku? Aku bilang aku tidak mau mengambil. Lalu dia pun menolaknya. Perbincangan itu terjadi di atas motor.

"Ya sudah aku masukkan ke tasmu ya. Terserah mau kamu pakai atau kamu serahkan ke mana," kataku.

"Ya sudah. Nanti aku serahkan ke Baznas DKI saja ya."

Lalu kami kembali ke Kantor Wali Kota, tenggelam dalam layar gawai masing-masing hingga petang.

Maaf bagian ini belum sepenuhnya diedit. Dari part 3-4 masih akan direvisi. Mohob sabar ya. Jangan lupa tinggalin pesan kalau mau cerita ini dilanjutkan ya

Kisah Sepasang SepatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang