Part 4 Degup Jantung

3 0 0
                                    

Sebuah pesan masuk ke gawai selularku. Daniel mengirimkan sebuah tautan. Kebakaran terjadi di sebuah pasar tradisional di Jakarta Barat.

Kebakaran pasar tradisional selalu menarik diberitakan, apalagi di kota metropolitan seperti di Jakarta. Pasar tradisional adalah jantung perekonomian bagi masyarakat kelas bawah. Masyarakat yang sesungguhnya. Kalau kataku, masyarakat yang seharusnya paling tersentuh oleh program-program pemerintah.

Di pasar, para ibu tangguh bersabar menunggu dagangan demi membiayai anaknya yang meniti pendidikan di kampus ternama. Kuli-kuli panggul menahan beban menghidupi keluarga yang butuh makan. Di sana pula, kalangan elit rela berpakaian rakyat jela demi menyandang gelar politikus pro rakyat.

Yang lebih menarik lagi, isu pembakaran berkembang di berbagai pasar tradisional. Umumnya, pasar-pasar itu hendak direvitalisasi, namun mendapat pertentangan dari para pedagang. Sebagai jalan pintas, pasar itu konon sengaja dibakar untuk memaksa para pedagang pindah ke lokasi sementara.

Memang terkesan kejam. Apalagi hal ini tak pernah dapat dibuktikan. Pihak kepolisian umumnya mengatakan kebakaran terjadi akibat gangguan arus pendek atau korsleting, kompor meledak, dan sebagainya.

Aku menghela napas panjang. Ini masih jam 05.00 WIB. Aku bahkan baru membuka mataku dan hendak bermalas-malasan sebentar.

"Ayo. Aku sudah on the way," kata Daniel.

Sembari mengalahkan lengket di mataku, aku menuju kamar mandi. Mandiku tak perlu lama, apalagi di saat genting seperti ini. Memakai lotion yang mengandung SPF tinggi sudah jadi kewajiban, sebab aku akan hidup liar di jalan seharian.

Aku segera turun, menyalakan motor, lalu menembus Jakarta tanpa tahu arah. Puluhan orang aku tanyai. Aku tak takut preman, tak juga takut disesatkan. Percayalah, orang Jakarta itu baik.

"Pak, jalan ke Pasar Tanjung Duren ke mana?"
"Pak yang ada kebakaran di mana?"

Di suatu selokan, aku mulai melihat selang besar dari tangki pemadam kebakaran. Motorku tak bisa terlalu mendekat ke lokasi. Aku harus berjalan beberapa ratus meter menyusuri selang dan tanah aspal yang basah.

"Aku sudah sampai," kataku kepada Daniel.
"Lhoh, kok kamu duluan? Shareloc," balas dia.

Aku datang ketika sudah proses pendinginan. Rupanya yang terbakar bukan pasar, tapi kos-kosan di dekat pasar. Seperti lokasi kebakaran umumnya, kawasan padat penduduk dengan dominasi rumah semi permanen. Api menjalar hingga ke beberapa rumah. Seorang warga dikabarkan belum berhasil ditemukan.

Daniel datang. Seperti aku, ia mengecek bangunan-bangunan. Belum ada pernyataan lain dari kepala suku dinas pemadam kebakaran. Aku dan beberapa wartawan lain berdiri di dekat pagar rumah warga. Kami sempat berbincang dengan petugas pemadam kebakaran.

Tak lama kemudian, petugas itu mendekati salah seorang fotografer dan berkata pelan. "Di sini saja ya," kata dia.

Fotografer itu mengangguk, lalu sang petugas beranjak pergi. "Daniel, baiknya kau ke sini. Sepertinya akan ada konferensi pers," kataku.

Daniel datang tak lama kemudian. Belum sempat berkata-kata, petugas yang tadi pergi datang lagi sambil membawa sebuah keranda.

Sial. Oh my God. Keranda itu lewat di depanku. Hari itu tiba juga. Iya, hari dimana aku harus menghadapi mayat yang mati tak wajar.

Badanku gemetar, aku deg-degan. Petugas mengangkat penutup keranda dan benar saja, sebuah kantong mayat berwarna kuning tampak di dalamnya.

"Oh shit!" Aku mulai mengumpat.

Para fotografer segera mendekat, mengambil gambar dari dekat.

"What the hell.. Apa itu?" aku tak bisa menahan mulutku untuk terus berkata kasar.

Aku melihat selintas isi kantong mayat itu. Seakan tak percaya, aku menatap Daniel hingga ia sedikit heran.

"Kenapa?"
"Apa itu?"
"Mayat lah."
"Sure?"
"Kayaknya iya."

Mau tak mau aku melihat lagi ke arah kantong mayat terbuka itu. Hanya ada seonggok barang hitam yang besarnya tak lebih dari gumpalan dua hingga tiga baju yang dibakar. Bau rambut, atau lebih mirip bulu ayam, terbakar begitu menyengat. Baunya seperti tiga kali lipat lebih menyengat daripada bulu ayam yang dibakar di peternakan dekat rumah.

Aku mengambil gawaiku, mengarahkan lensa kamera ke arah onggokan "mayat" itu. Mataku melihat ke arah lain, namun tanganku lurus ke arah dia yang telah tak bernyawa.

"Shit..oh my God. Maafkan aku, maafkan aku, ya Allah ampuni aku," aku mengambil beberapa foto tanpa tahu hasilnya, lalu segera mundur ke arah Daniel yang tertawa-tawa.

"Oh my God, kenapa aku harus melakukan ini ya? Kenapa aku harus melihat ini? Kenapa aku harus motret? Oh my God, tanganku masih gemetar," mulutku seakan tak bisa berhenti bicara.

Jantungku serasa mau copot. Bau bulu ayam terbakar itu begitu menyengat dan bayangan seonggok "tubuh" yang lebih mirip kumpulan kain terbakar itu masih melekat di kepalaku.

Daniel melihat gambar yang aku ambil. Dia meyakinkanku bahwa onggokan itu benar-benar mayat. Lalu kabar tentang pemilik tubuh itupun mulai terdengar.

Namanya Yanti. Perempuan itu ditaksir berusia sekitar 30 tahun. Sehari-hari ia bekerja di Pasar Tanjung Duren.

Yanti berasal dari Tangerang. Kabarnya, ia sudah menikah dan memiliki seorang anak. Tak seorang pun yang bercerita memiliki kontak keluarganya.

Kabarnya lagi, Yanti tak mau kembali ke rumah. Ia memilih bekerja di pasar dan tinggal di rumah semi permanen itu karena memiliki masalah dengan suaminya.

Yanti meninggalkan suami dan anaknya, lalu menghidupi dirinya sendiri. Setelah kelelahan bekerja hingga larut malam, ia tertidur lelap.

Pagi itu, api menyala-nyala dari lantai atas, tak jauh dari kamarnya. Teman-temannya berlarian dengan panik. Seorang kawan yang kamarnya dekat mencoba membangunkan Yanti. Ia menggedor-gedor kamarnya, namun tak ada jawaban.

Api terus melalap bilahan papan kayu yang mereka tinggali. Melihat jago merah sudah semakin mendekat, kawan Yanti segera berlari ke bawah meninggalkan perempuan itu sendirian.

Dian, teman Yanti itu, mengatakan padaku sempat melihat Yanti keluar dari kamar. Namun, ketika hendak berlari, ia menginjak papan yang sebagian telah terbakar. Kakinya terjeblos dan ia terjebak di lantai kayu, sementara api terus melahap bagian bangunan demi bangunan.

Api semakin besar, hingga tak ada yang tahu apa yang terjadi pada Yanti selanjutnya. Ia sempat dinyatakan hilang, hingga potongan tubuhnya yang terbakar ditemukan di salah satu sudut lantai bawah.

Kepala suku dinas pemadam kebakaran setempat mengatakan api berasal dari ledakan kompor di dapur. Itu ditandai dengan bau gas yang menyengat di lokasi yang disebut bekas dapur.

"Makanya saya selalu mengingatkan, jangan buat dapur di lantai atas. Apalagi bangunan semi permanen," kata dia.

Walau sempat mendekat, Daniel rupanya tak ikut mengambil gambar. Buat apa? Media tempat ia bekerja tak terlalu menuntut gambar. Dan lagi gambar mayat itu tidak akan bisa ditampilkan di media.

"Tapi nggak papa. Simpan saja buat kenang-kenangan," kata dia.

Sepanjang jalan pulang, ia tak berhenti menertawakan aksiku yang sok pemberani namun menunjukkan dengan jelas bahwa aku penakut sekali. Ia menakutiku, mengatakan agar aku waspada bila perempuan korban kebakaran itu mengikutiku sampai ke rumah.

"Kamu nggak minta izin kan motret dia?"
"You shut up! Aku udah minta maaf tau."

Tak berhenti sampai di situ, esok paginya ia menanyakan bagaimana kondisiku setelah melewati malam Jumat sembari menyimpan foto mayat. Bau bulu ayam terbakar itu terbayang-bayang hingga tiga hari di seluruh bagian kamar.

Kisah Sepasang SepatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang