12. Tips Menghadapi Kripik Pedas

1.3K 103 0
                                    

#AWIlmu
"Afin Yulia"
(Admin Rabu)
27/12/17

Halo, apa kabar? Lagi pada liburan atau malah sibuk dengan banyak kegiatan? Apa pun itu, lakukan dengan senang dan jangan lupa catat ide-ide yang didapat dari sana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Halo, apa kabar? Lagi pada liburan atau malah sibuk dengan banyak kegiatan? Apa pun itu, lakukan dengan senang dan jangan lupa catat ide-ide yang didapat dari sana. Karena ini bisa jadi amunisi untuk menulis nantinya. Tapi, gimana, ya, kalau setelah itu dapat kritikan? Berikut ini tips menghadapinya:

👉TIPS MENGHADAPI "KRIPIK PEDAS"👈

Pernah nggak ngalami, sudah nulis banyak-banyak ... eh, yang mampir malah kripik pedas Mak Icih level 10 (baca : kritik). Tidak tanggung-tanggung, semua tulisan salah! Alhasil kita jadi menggerutu. Merasa si pemberi kritik sok tahu dan tidak mengerti cara menghargai.

Sama, saya juga. Rasanya jengkel  kalau tulisan kita diberi komentar kurang mengenakkan. Meskipun komentar itu kalau ditelaah ada benarnya.

Kenapa coba?

Karena sebagai penulis kita merasa karya itu adalah anak kita. Buah dari kerja keras kita. Jadi begitu dicela rasanya ingin nendang balik yang mencela.

Gejala penyakit ini bisa dibilang mirip sama emak-emak saat anaknya yang kece badai dicibir orang. Fyuuuh, jangan sampai diteruskan kalau tidak mau uleg-uleg melayang!

Tahu sendiri kekuatan emak-emak, sein ke kiri tapi belok kanan saja merasa benar, apalagi soal krusial macam itu. Huuh, bisa-bisa kelar hidupmu!

Pertanyaannya sekarang:
"Bagaimana caranya mengatasi jengkel karena kritikan?"

Sebelum menjawab itu, saya mau cerita sedikit bagaimana "kesombongan" saya. Jadi setelah berulang kali kalah, saya mulai merasakan kemenangan. Sudah itu karyanya dibukukan pula. Ih, gaya dong! Iyalah. Dari situ saya merasa kalau saya sudah bisa nulis. Catat ya, merasa bisa!

Suatu hari saya dapat bonus kelas nulis gratisan karena membeli sebuah buku dari seorang penulis kawakan. Penulis keren ini dikenal dengan gaya mengajarnya yang cukup keras, tidak tedeng aling-aling. Salah ya salah. Tidak peduli kamu siapa. Mirip-mirip komandan sewaktu memimpin anak buahnya. Pernah dengar ada yang mengeluh dengan metode mengajarnya.

Ini bikin saya gentar juga. Bagaimana saya nanti, ya? Namun, saya memberanikan diri. Hasilnya dari awal saya mendapat  banyak kritikan. Kurang ini, kurang itu, kurang anu. Pokoknya kurang bumbu. Kesannya saya ini seperti orang yang nggak bisa nulis saja. Meski begitu saya tidak langsung menumpahkan kekesalan. Sambil menggerutu karena tertekan (habis salah melulu), saya ikuti saja apa katanya. Saya tidak protes. Salah, bikin lagi. Salah lagi, bikin lagi. Begitu terus.
Begitu kelas selesai, saya baru sadar metode beliau mengubah saya. Saya jadi tahu kekurangan saya. Sekaligus bikin saya sadar selama ini saya mulai agak jumawa dengan kemampuan yang sedikit itu.

Nah, kalau diringkas-ringkas, apa yang saya lakukan saat menghadapi kritik itu ada 4:

1. Menahan diri

Meski kesal, tahanlah diri. Jangan keburu kesal. Siapa tahu memang kita yang salah. Memang sebagai penulis, biasanya kita memiliki kecenderungan enggan mendapat kritikan. Seperti yang sudah saya singgung diatas. Alhasil meski salahnya banyak, tetap saja merasa benar.

2. Cek and Ricek

Ini penting sekali. Benarkah karya kita seperti apa yang orang katakan? Karya kita memiliki banyak kekurangan?

Lakukan cek dan ricek, jadi kita bisa dapat data yang benar. Malu dong sudah keburu ngamuk ternyata kita yang salah.

3. Terima masukan itu

Penerimaan ini penting karena bisa jadi masukannya mempengaruhi karya kita ke depan.  Kalaupun terkesan buruk dan tidak menyenangkan, jangan keburu dibuang. Siapa tahu mereka benar.

4. Berpikir positif

Melakukan ketiga hal di atas itu susah, apalagi yang ini. Iuuuh, beratnya seperti dibebani batu berton-ton. Tetapi, berpikir positif itu justru mendorong kita untuk tetap fokus pada tujuan (dalam hal ini nulis). Berbeda dengan marah. Marah justru mengaburkan tujuan kita dan mendorong tindakan ekstrem yang akan kita sesali. Misalnya berkata-kata kasar yang bikin orang semakin tidak simpati.

Bisa jadi setelah membaca tulisan di atas akan ada yang berkata ,"Tapi, yang kamu hadapi itu mentor. Wajarlah kalau kamu berlaku begitu. Gimana kalau pembaca kurang ajar? Masa iya kita harus diam?"

Sama saja. Kritik itu siapa pun penyampainya hasilnya sama, tidak enak. Kebetulan yang saya contohkan adalah seorang guru atau mentor. Kenapa dia yang saya pilih? Karena dia mewakili tiga sudut pandang—guru, pembaca, dan editor.

Kalau boleh jujur sih, saya tidak mau ada kritikan. Tetapi, tanpa kritikan saya cenderung menggampangkan. Tanpa kritikan saya tidak belajar menahan diri. Padahal dalam dunia menulis itu keras sekali. Saat karya dilempar keluar, di media apapun (wattpad, blog, atau facebook note), kita tidak bisa mengontrol orang mau bicara apa.

Jika kita tidak belajar mengontrol emosi sejak dini, blunder pun terjadi. Bukannya dikenal sebagai penulis jawara, tetapi penulis kurang attitude, sok gaya, dan jumawa.

Bagus jika keburukan semacam itu tidak disebar di media (blog misalnya). Kalau iya bagaimana? Belum mulai, tamat karier kita!

Salam 😙

~Good Luck~

AWILMU: ILMU KEPENULISANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang