8

40 2 0
                                    

       Catatan fisika terpampang nyata di papan tulis putih kelas XI IPA-4. Semua siswa tampak asik menyatat materi fisika yang diberikan Bu Ajeng. Kelas tampak kondusif walaupun Bu Ajeng tidak masuk karena anaknya sakit.
      Terdapat satu kursi kosong di belakang. Kursi yang sering di tempati Fikri. Berbeda dengan sahabatnya yang kini sibuk mencatat materi pelajaran fisika yaitu Reno. Reno dan Fikri sama-sama tergabung dalam geng Ravlyn, namun sifat keduanya berbeda. Jika Reno memilih memikirkan semua masalahnya dahulu sebelum bertindak, maka Fikri akan langsung bertindak jika terdapat masalah. Jika Reno lebih cuek dalam masalah percintaan, maka Fikri sudah berkali-kali ganti pasangan. Jika Fikri memilih angkat tangan dalam pelajaran, maka Reno tidak.
      Rania kini diam sambil memahami kembali materi yang dicatatnya. Rambutnya yang kini tergerai, menjadi bahan mainan bagi dirinya di saat ia mencoba memahami pelajaran itu. Tiba-tiba Rania merasa kebelet, ia melihat ke samping, melihat Nadia yang sedang serius mencatat. Ia juga melihat ke belakang, terlihat Ema juga sedang sibuk menulis.
      Ia kemudian memutuskan untuk ke kamar mandi sendiri. Gadis itu mengambil jedainya yang berwarna maroon dan menjepitkan rambutnya. Ia kemudian berdiri.
     “ Lo mau kemana?” tanya Nadia yang spontan melihat ke arah Rania yang kini berdiri.
     “ Kamar kecil.”
    Nadia mengangguk pelan.
     Rania langsung bergegas menuju kamar kecil terdekat. Setelah ia keluar dari salah satu bilik kamar kecil, ia langsung menuju depan wastafel yang terdapat cerminnya.
    Pantulan dirinya kini berada di dalam cermin, ia kemudian membenarkan rambutnya yang terjepit di jedai miliknya. Setelah ia rasa dirinya lebih rapi, ia langsung kembali ke kelas.
     Lorong sekolah terasa sepi karena semua siswa kini sibuk dengan proses KBM.
      “ Rania,” suara seorang lelaki memanggilnya dari arah belakang.
     Rania menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya. Ia melihat sosok laki-laki yang sudah tidak asing baginya. Fikri Adi Saputra. Kini cowok itu berdiri di depannya sambil membawa sebuah plastik di tangan kanannya.
      “ Apa?”
      Fikri menyodorkan plastik yang ia bawa tadi ke Rania. Gadis itu menatap plastik itu lalu menatap Fikri.
     “ Ini baju bokap lo kemaren.”
      Rania mengangguk mengerti dan kemudian langsung mengambil plastik itu. “ Makasih ya,”
     “ Lo nggak usah khawatir. Baju bokap lo udah dicuci sama Bu Gendis, udah disetrika juga.”
     Bu Gendis adalah orang yang mempunyai warung tempat anak-anak Ravlyn sering berkumpul. Anaknya Bu Gendis membuka laundry di samping warung Bu Gendis.
     Lagi-lagi Rania hanya mengangguk. Ia kemudian langsung berbalik dan berniat langsung menuju kelas.
      “ Lo mau ke kelas?”
     Lagi-lagi dan lagi, Rania menolehkan kepalanya dan mengangguk.
     “ Suara lo habis ya?”
     Rania menggeleng.
     “ Dari tadi lo cuma ngangguk doang. Suara lo nggak ada baru tau rasa,” sembur Fikri.
     Rania memincingkan matanya, tanda sudah mulai ada sinyal ajakan perang untuk cowok di belakangnya itu. Cowok itu tanpa basa-basi langsung pergi meninggalkan Rania. Rania yang sudah mengetahui Fikri pergi begitu saja, langsung kembali melangkahkan kakinya menuju ke kelasnya.

***

       Ketika Rania berhasil memecahkan soal terakhir, tepat bel pulang sekolah berbunyi. Senang, bahagia, puas seketika menyelimuti hati Rania. Rekornya kembali terukir untuk menyelesaikan 30 soal matematika peminatan tanpa ada yang tidak ia kerjakan. Padahal satu kelas tidak ada yang mampu menyelesaikan soal itu. Gadis ajaib dengan berbagai macam rumus dan materi yang berada di otaknya.
     Rania kemudian langsung mengumpulkan bukunya di meja guru.
     “ Kamu sudah menyelesaikan semua soalnya?” tanya Bu Diah, guru matematika peminatan Rania.
     Rania menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.
     Bu Diah tersenyum melihat murid emas sekolah ini dapat menyelesaikan soal dengan tipe rumit. Padahal teman-temannya yang lain tidak bisa menyelesaikan soal itu sampai selesai dengan waktu 2 jam pelajaran.
     “ Lo dimakanin apa sama orang tua lo? Buku rumus? Apa kalkulator?” celetuk salah satu murid yang terlihat frustasi dengan soal-soal itu.
     “ Setiap pagi minum belenderan buku.” jawab Rania asal.
     Satu per satu murid mengumpulkan buku mereka dengan kerjaan seadanya. Soal sesusah itu mengalahkan susahnya soal fisika tadi. Mereka sudah tidak sanggup jika harus melihat soal itu lama-lama, jadi mereka harus cepat-cepat mengumpulkan buku matematika peminatan. Termasuk Nadia dan Ema yang ekspresinya sangat suram.
      Setelah semua murid mengumpulkan buku matematika peminatan mereka, Bu Diah langsung meninggalkan kelas.
     Semua siswa terlihat shock dengan soal tadi, terkecuali Fikri. Cowok itu bisa santai-santai saja dengan soal yang sesusah itu, padahal Reno saja bisa shock dengan soal itu.
     “ Ayo ke warungnya Bu Gendis!” ajak Fikri kepada Reno.
     Reno hanya mengangguk kecil diiringi tangannya yang memasukkan buku-buku miliknya satu per satu. Fikri bisa melihat raut wajah Reno yang sangat frustasi mengerjakan soal-soal tadi.
      “ Lo kenapa? Frustasi gara-gara soal?”
    Reno menganggukkan kepalanya. Mulutnya kini tidak kuat untuk membuka suara.
     “ Payah lo. Sama anak-anak Rovalto aja lo berani, giliran sama soal aja lo takut. Buruan, yang lain udah pada nungguin kita.”
    Reno langsung beranjak dan langsung bergegas menuju parkiran bersama Fikri untuk mengambil motor mereka.
     “ Ayo ke kantin dulu, gue laper.” Ajak Nadia.
     “ Ayo!” ucap Ema dan Rania berbarengan.
     Mereka bertiga langsung beranjak menuju kantin.
      Kantin pada jam pulang sekolah memang sepi. Tapi, hal ini sangat menguntungkan bagi mereka bertiga. Mereka bertiga bisa leluasa bercerita bahkan memilih makanan.
    Setelah setengah jam mereka menghabiskan waktu di kantin, Ema dan Nadia pamit pulang terlebih dahulu, karena mereka ada acara.
     Rania yang tinggal sendirian memutuskan untuk memesan ojek online. Sambil membuka aplikasi ojek online, Rania menunggu di halte depan sekolah.
     “ Ran,” panggil seseorang dari samping.
     Suara itu berhasil membuat Rania menghentikan kegiatannya untuk memesan ojek online dan malah menyimpan kembali hpnya di saku.
     Rania menoleh dan mendapati Alex berdiri di sampingnya.
     “ Ng-ngapain Kak Alex di sini?” tanya Rania dengan sinis.
    “ Kamu belum dijemput kan? Gimana kalau pulang bareng aku aja?” tawar Alex.
     Rania menggelengkan kepalanya. “ Ngapain Kakak di sini? Kampus Kakak kan jauh dari sini, lagian rumah kita juga nggak searah. Kalau Kakak kebetulan lewat sini nggak mungkin, karena kampus Kakak sama rumah Kakak nggak lewat sini.” Rania langsung to the point, karena ia tahu bahwa Kak Alex akan mencari alasan dengan mengatakan bahwa ia kebetulan lewat sini.
     “ Aku memang sengaja mau jemput kamu, sekalian ngajak kamu makan.”
     “ Aku udah makan, barusan sama teman-teman. Mending Kak Alex pulang deh, aku juga udah mesen ojek online.” Rania berusaha mengusir Alex dari sini.
     “ Tapi, Ran. Kapan kamu mau terima ajakan aku sekali aja? Kalau kamu udah makan, kamu temenin aku makan juga nggak apa-apa. Setelah itu aku antar kamu pulang.”
     Alex menggenggam tangan Rania tiba-tiba. Rania yang terkejut sontak langsung berdiri dan mencoba melepaskan genggaman tangan Alex. Namun, kekuatannya tentu kalah dengan kekuatan Alex.
     “ Lepasin.” Rania mencoba memberontak.
     Tidak ada yang melihat kejadian itu, karena keadaan sekolah sudah sepi.
      “ Aku nggak mau lepasin, sebelum kamu terima ajakan aku.” Alex masih kekeh dengan permintaannya.
     “ Aku bakalan teriak kalau Kakak nggak mau lepasin.” ancam Rania.
      Alex semakin kuat menggenggam tangan Rania, sehingga Rania susah untuk lepas dari genggaman lelaki ini.
     “ Aku bakalan bawa kamu langsung ke dalam mobil, kalau kamu nggak mau teriak.”
     “ Lepasin!” kini Rania terlihat lebih memberontak dan marah dengan kelakuan Alex.
     Sebuah tangan yang kokoh langsung menarik Rania untuk menjauh dari jangkauan Alex. Fikri langsung menarik Rania untuk berada di belakangnya sekarang.
     “ Lo mau bawa dia langsung ke dalam mobil lo? Lo kira dia cewek murahan?”
     “ Lo siapa?” tanya Alex nyolot.
     “ Lo juga siapanya Rania? Pacar? Bukan kan.”
    “ Ran, kamu kenal dia?”  tanya Alex.
     Rania hanya diam menatap Alex yang bertanya padanya. Amarahnya kini ia rendam sambil memegang tangannya yang memerah akibat digenggam sangat kuat oleh Alex. Ini adalah hal gila yang Alex lakukan padanya.
     “ Gue tunangannya dia. Apa lo ada masalah sama dia?” Fikri membuat Rania mengerjapkan matanya.
     “ Tunangannya Rania? O, jadi lo yang dijodohin sama Rania?” Alex melihat-lihat penampilan Fikri dari ujung kaki sampai ujung rambut, “ tapi, lo kaya nggak pantas buat dia. Dari penampilan lo, lo kayanya bukan anak yang teladan apalagi berprestasi, tapi penampilan lo lebih ke badboy.”
     Fikri tersenyum licik pada Alex. “ Jadi, ini yang sering ngejar lo, Ran?” tanya Fikri pada Rania, “ nggak pantes buat dapetin lo. Orang sombong sama songong kaya dia pantesnya bergabung sama orang yang sejenis kaya dia. Lo ngerasa udah baik dari gue? Tapi, kenapa lo cuma lihat gue dari cover? Seharusnya, orang yang lebih tua itu bisa kasih contoh baik, bukan buruk kaya gini.” Perkataan Fikri berhasil menghantam Alex tanpa rasa sakit di badannya, namun rasa malu yang kini ia rasakan, “ lo yakin mau sama dia, Ran? Bahkan dia lebih ngeliat orang dari cover, daripada sifat sama hatinya. Kayanya dia suka sama lo juga karena lo cantik, bukan dari hati lo, bukan ketulusan itu namanya.” ucapan Fikri berhasil membuat Alex merasa malu kesekian kalinya.
     Alex merasa sangat marah pada Fikri. Ia sudah berkali-kali dibuat malu karena perkataan cowok satu itu. Santai, namun tepat sasaran.
     “ Lo maunya apa?” tanya Alex pada Fikri.
    Fikri mengalihkan tatapan dari Alex, seakan-akan tidak ada rasa hormat pada lelaki yang lebih tua darinya itu.
     “ Gue? Gue sih, maunya lo jauh-jauh dari Rania. Mulai dari sekarang sampai kapan pun.” jawab Fikri dengan tegas.
      Rania membuka kecil mulutnya. Ia sangat terkejut dengan ucapan Fikri. Bagaimana bisa cowok yang sangat mengabaikannya itu sekarang sangat membantunya? Bahkan mencoba membuat Alex tidak mengganggu kehidupannya lagi.
     “ Apa?” Alex sangat terkejut dengan jawaban Fikri, “ lo bilang, lo mau gue jauhin Rania?”
    “ Yap!” jawab Fikri sambil mengangkat telunjuknya dan memutar-mutarnya.
     “ Nggak. Kalau gue nggak mau gimana?”
     Fikri mendengus kesal. Ia sekarang merasakan bagaimana keras kepalanya laki-laki yang terus mengejar Rania. Pantas saja jika Rania terus melarikan diri dari Alex, jika sekali berurusan dengannya saja hal kecil bisa rumit.
     “ Lex, gue nggak mau basa-basi, gue nggak anggap lo senior gue, ataupun orang yang gue hormati. Jadi, kalau gue nggak sopan sama lo, itu masih sah-sah aja. Jangan pernah nyesel sama hal yang akan gue perbuat sama lo. Lo terserah mau ngadu sama bokap atau nyokap lo, tapi Om Fajar sama Tante Tiara bakal ngaduin apa yang lo perbuat sama Rania ke bokap, nyokap lo.” Ancam Fikri, “ gue punya geng. Dan gengnya gue itu cukup kuat. Gue bisa aja nyuruh geng gue buat ngawasin lo, dan bertindak kalau lo ganggu Rania lagi.”
      Ada sedikit ketakutan di hati Alex, namun laki-laki menipisnya. Menurutnya, takut di depan cowok brandalan ini akan membuatnya tambah dipermalukan di depan Rania.
      “ O, jadi lo punya geng?” tanya Alex, menurutnya ini bisa menjadi boomerang bagi Fikri, “ Ran, kamu nggak takut sama dia? Dari penampilannya aja, dia udah kaya anak brandalan, apalagi dia punya geng. Tante Tiara sama Om Fajar nggak salah milih tunangan buat anaknya? Bisa-bisa anaknya ikut-ikutan brandalan sama kaya tunangannya.”
      Rania juga berpikir apakah ia juga bisa berperilaku seperti Fikri, jika ia terlalu sering bertemu dengan Fikri.
      Sebenarnya Rania merasa takut dengan Fikri. Wanita mana di sekolahnya yang tidak takut dengan cowok seperti Fikri. Apalagi dia anggota dari geng Ravlyn, dan digadang-gadang akan menggantikan Devan menjadi ketua Ravlyn. Bahkan beberapa menit selesai acara itu selesai, Rania terus berpikir apakah hidupnya akan tenang?
     Namun, daripada Fikri, ia lebih takut dengan Alex. Menurutnya, Alex adalah laki-laki yang sangat nekat dan keras kepala. Sejauh apa pun Rania berlari, Alex akan terus mengejarnya. Mungkin, dengan Fikri mengancam Alex seperti ini, Alex akan takut dan berhenti mengejarnya. Rania tahu jika Alex adalah laki-laki yang sangat-sangat sayang dengan dirinya sendiri sehingga ia sangat egois.
      “ Rania ya Rania. Geng gue ya geng gue. Rania itu tunangan gue, geng gue ya temen gue. Gue udah besar, gue bisa tau mana yang teman, mana yang tunangan.” jawab Fikri dengan sangat jelas dan tepat, “ mending sekarang lo pergi. Atau ini bakal jadi peringatan yang terakhir buat lo.” wajah Fikri sekarang berubah menjadi sangat menyeramkan.
     Alex tidak dapat berbuat apa-apa sekarang. Posisinya sangat terpojok. Cara apa pun yang ia lakukan untuk membujuk Rania sekarang hanya akan percuma dan malah menjadi ancaman buatnya.
     Dengan terpaksa, Alex langsung pergi dan memasuki mobilnya. Ia melajukan mobilnya dan akhirnya tidak terlihat lagi oleh pandangan mereka berdua.
     Fikri membalikkan badannya. Ia melihat Rania yang masih menatap kepergian mobil Alex. Tampak raut wajah takut dan khawatir terlukis jelas di wajahnya. Ternyata benar apa yang Dewi katakana padanya, bahwa Alex bisa berbahaya untuk Rania.
      Mungkin, kali ini Alex akan menyerah, namun ia yakin pasti Alex akan mengganggu Rania kembali.
      “ Lo takut sama dia?” tanya Fikri kepada Rania.
      Rania perlahan menoleh kepada Fikri. Ia mengangguk pelan sambil menatap ke bawah.
      Bagaimana juga Rania sangat takut dengan paksaan Alex tadi. Baru kali ini Alex memaksanya sampai segitu. Gadis itu yakin, bahwa Alex akan kembali lagi.
      “ Lo nggak usah takut sama dia. Dia cuma cowok egois yang yang keras kepala dan masih kekanak-kanakan. Kalau dia ganggu lo lagi, telpon gue.”
     Rania mengangguk.
     “ Ternyata dia bener-bener nekat.” Gumam Fikri.
      Rania mendengar apa yang Fikri katakan.
     “ Kamu tahu dari mana kalau Kak Alex egois sama keras kepala?” tanya Rania dengan hati-hati.
     “ Dari Kak Farel. Dia bilang kalau Alex itu orang yang egoisnya tinggi. Gue juga udah beberapa kali ketemu sama Alex.” Fikri mencari alasan agar Rania tidak mengetahui bahwa Dewi sudah memberitahu bagaimana sikap Alex pada Rania.
     Rania mengangguk paham. Setidaknya kali ini ada orang yang menyelamatkannya dari Alex. Walaupun Fikri adalah cowok yang juga sering ia hindari, tapi jika harus memilih antara Alex dan Fikri, Rania lebih baik memilih Fikri.
     “ Lo sering diganggu sama dia?”
     “ Lumayan.” Jawab Rania singkat.
     “ Seberapa sering?”
     “ Setiap dua minggu pasti dia sering datang ke rumah, ya minimal sekali, maksimal tiga kali. Setiap hari chat aku.”
      “ Sesering itu? Dari kapan?” Fikri masih terus bertanya tentang Alex.
      “ Dari kita pertama kali masuk SMA. Padahal, dia udah kenal aku dari pertama kali SMP, tapi nggak tahu kenapa, dia mulai sering kaya gitu dari aku SMA. Sampai-sampai, aku hafal dia datang ke rumah setiap hari apa, dan setiap hari itu aku pergi sama Nadia sama Ema. Pernah juga, keluarganya main lama banget di rumah, dari pagi akhirnya aku nginap di tempatnya Nadia. Untungnya itu waktu liburan, gimana coba kalau pas sekolah, kan ngerepotin banget.” Rania menjawab Kiki dan malah seperti ia curhat kepada Fikri.
      Fikri sudah menebak hal itu. Cewek sepenakut Rania dan tidak suka dengan hal-hal seperti itu mana mungkin tahan. Fikri juga sudah menebak, satu-satunya cara Rania adalah melarikan diri, terlihat dari reaksi gadis itu ketika mereka berdua bertunangan.
      Mama benar. Alex itu nekat. Bisa jadi dia bakal  lebih nekat dari tadi. Gue yakin, bahkan sebelum Om Fajar sama Tante Tiara bersikap tegas sama dia, Alex nggak bakal berhenti. Gue harus ngambil tindakan buat dia. Gue yakin dia bakal kembali lagi. Kalau itu cowok nggak diawasi, mungkin dia bakal mengambil tindakan lebih buat dapatin Rania. Kekuatan utama dia nyokapnya. Nyokapnya adalah orang yang paling berpengaruh buat si Alex.
      “ Mulai sekarang. Kalau lo dengar dia mau main ke rumah tapi sendiri, bilang aja kalau lo ada janji sama gue. Bilang ke Tante Tiara juga, biar nyokap lo bisa bantuin lo jauh dari Alex. Blokir aja nomor dia, kalau perlu lo ganti nomor sekarang. Gue tahu, dia bakal lebih nekat dari ini,” Fikri memberi jalan keluar dari permasalahan Rania.
     Rania mengerjapkan matanya. Ia susah untuk menelan salivanya. Hal tadi sudah hal yang sangat nekat, yang pernah Alex lakukan. Bagaimana jika lebih nekat? Dan bagaimana jika ia juga tidak bisa meminta bantuan kepada orang lain saat itu?
     “ Gi-gimana kalau dia nekat sama aku, terus aku nggak bisa minta tolong?”
     Fikri melempar tatapannya dengan malas. Bagaimana cewek di depannya ini bisa selemah ini? Jika dibiarkan, ketakutannya ini malah bisa menjadi senjata untuk Alex. Fikri paham, jika orang seperti Alex akan memainkan perasaan dan ketakutan Rania untuk mendapatkannya.
     “ Lo penakut banget sih? Kalau cowok kaya Alex lo diemin, lo bisa terus-terusan dikejar dia. Ran, kalau lo takut sama gue terserah. Tapi, lo nggak boleh takut sama Alex. Alex bisa aja macam-macam sama lo. Lo liat sendiri kan dia tadi gimana?” nada Fikri terlihat kesal dengan Rania.
     Rania menundukkan kepalanya.
     “ Lo mending sekarang pulang sama gue. Gue nggak bisa mastiin dia udah jauh dari sini atau belum. Bisa jadi dia nunggu entah dimana dan ngikutin lo nanti. Kalau lo pulang sama gue, dia nggak berani ngikutin kita.”
      Rania mengangguk pasrah. Saat ini ia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengikuti saran Fikri. Walaupun ia sama sekali tidakingin mengikuti apa yang Fikri katakana, untuk saat ini pilihan terbaik hanyalah itu.
     Fikri langsung mendekati motornya dan naik ke atas motornya. Ia memberikan helm untuk Rania kenakan dan setelah itu ia mengenakan helmnya. Rania kemudian naik ke motornya. Tidak berapa lama, Fikri melajukan motornya dan membelah kota metropolitan ini.

BersembunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang