Prolog

1.8K 151 12
                                    

Hari itu awan – awan kelabu menggantung mengisi ruang kosong di langit sejak pagi. Benda selembut kapas itu menampung hujan rintik – rintik terbang ke arah selatan, dialuni lagu sayatan tangis seorang ibu dan anaknya yang terdengar pilu. Sang ibu tak henti – henti menghujam pukulan tak berguna kepada ubin – ubin tempat ia bersimpuh. Bibirnya yang pucat meracau memanggil putri kesayangannya yang kini hanya menyunggingkan senyum terbaiknya dibalik kaca tipis dilingkupi sebuah pigura.

Keadaan saudaranya yang telah membuka pintu usia remaja tidak kalah mengenaskan. Manik matanya dilingkari kegelapan tak pernah surut menjatuhkan cucuran air mata. Terlebih saat ini beberapa orang – orang berpakaian hitam tengah berusaha keras menenangkannya karena histeris mencoba menyakiti dirinya sendiri hingga terluka.

Teriakan – teriakan putus asa terus saling terpantul di dinding, menciptakan gema yang terdengar menyakitkan hingga menyebabkan hati para pelayat tak mampu menahan isakan mereka. Semua dikarenakan melihat betapa menyedihkan keadaan kedua keluarga si mati yang telah tenang di keabadian. Mereka menyimpannya dalam hati, sebagai perbincangan diri sendiri rasa simpati atas kematian seorang gadis muda dan calon anaknya yang dilakukan secara sengaja.

Gadis mana yang tidak malu mengandung bayi tanpa izin Tuhan dalam ikatan janji suci pernikahan, apalagi setelah sang kekasih tertangkap basah memiliki wanita lain dan memutuskannya hubungan yang sudah terlampau jauh secara sepihak. Hatinya yang begitu teriris, memori bersama sang kekasih bagai belati yang menyayat semangatnya. Hingga kematian yang kian menghantuinya disetiap hembusan nafas ia pilih sebagai akhir paling bahagia untuknya.

"Kakak."

Manusia mana yang di dunia ini yang tidak terpukul setelah melihat sendiri saudari yang paling ia sayangi kehilangan hidupnya dengan cara yang tragis. Terlebih sang kakak sangat cerdik menyembunyikan calon anaknya yang sudah menginjak usia 3 bulan. Perih hati sang adik mengakui kenyataan ini. Ia tidak percaya kakaknya yang adalah gadis berhati selembut salju, tutur kata sehalus sutra, pribadi sebaik malaikat, berakhir mengenaskan karena pria brengsek yang merebut kesuciannya dan menjadikan benih itu tertanam di rahim kakaknya.

Rayuan apa yang ia baitkan untuk saudaranya yang polos hingga tergiur untuk melakukan perbuatan dosa berkedok kenikamatan. Jatuh pada pelukan iblis berwajah pangeran yang hanya menggunakan tubuh sang kakak sebagai pemuas nafsu dan bahkan jauh lebih buruk dari bekas minuman botol plastik berceceran di tempat sampah.

Ia kini tampak kacau berlutut dihadapan sang kakak seorang diri, ditemani cahaya bulan yang merangsek paksa masuk melewati jendela kecil disisi kanannya. Ia raih wajah sang kakak, syaraf jarinya hanya merasakan lapisan kaca yang dingin, membutakan fantasinya jika gadis itu masih mewarnani harinya esok pagi. Sunggingan bibir tipis itu ia tatap lamat. Sebutir kebahagaian semu yang ia dapat kini menjadi segunung kesakitan mencuil hati dan menyedot darahnya hingga menyadarkan ia jika pembalasan setimpal harus diterima seseorang.

"Kakak tidak boleh menderita sendirian."

Aliran darahnya menderu keras sampai ke otaknya, menarik salah satu sudut bibirnya hingga mencetak sebuah sunggingan menakutkan. Entah bisikan dari mana, keberanian itu kini ia hirup menjadi oksigen untuk paru – parunya, sebagai alasan untuk ia hidup dan alasan untuk kakaknya mati.

-satan's slave-

[97 Line] SATAN'S SLAVEWhere stories live. Discover now