[4] Crazy

240 54 43
                                    

DYLAN’S POV

“Dylan, bertahanlah!” Abraham sudah menyaut kalimat ini kesekian kalinya dalam kurun waktu 1 jam. Apa hanya itu yang bisa dia lakukan, berteriak seperti itu sepanjang waktu? Aku tidak habis pikir.

1 Jam! 1 Jam! 1 Jam lebih aku terkurung dalam keadaan mengenaskan seperti ini. Kalian pikir aku diam saja, begitu? Aku masih berusaha merangkak keluar dan menarik-narik kaos yang aku gunakan dan tak lupa berdoa agar tak robek.

Tapi tetap saja, hasilnya nihil.

“Abraham, coba kita cari di luar!”

Kali ini, terdengar suara pintu terbuka dan derap langkah dari lantai atas. Aku kembali menundukkan kepalaku, dahiku langsung terasa dingin karena bersentuhan dengan lantai kamarku yang mulai mendingin karena udara AC.

Kriukkk... Kriukk....

Ya tuhan, aku sudah tidak tahan lagi! Perutku rasanya di putar-putar seperti menaiki rollecoster yang pernah kunaiki dulu bersama Dad. Dan perlu kalian tahu lagi, aku bersumpah tidak akan menaiki permainan gila itu ke dua kalinya.

Lagi-lagi aku trauma berat akan hal itu.

“Dad, aku cari di kamar!”

“Ok, Dad cari di kamar tamu!”

Kalau begini ceritanya kapan selesainya? Bisa tidak kalian berdua –Dad dan Abraham— memanggil polisi untuk membantu mendobrak pintu kamarku? Aku lelah jika harus terkurung dalam keadaan yang sangat-sangat tidak mengenakkan seperti ini.

“Daddy, Abraa!” teriakku dengan frustasi. Aku memang frustasi, bodoh.

Tuhan, aku berjanji tidak akan melakukan hal bodoh ini lagi, aku berjanji! Tolong bantu kedua orang yang sedang sibuk di atas itu, tuhan.

“Dad! Bagaimana ciri kunci itu?” Aku yakin ini suara Abraham –mengingat suaranya yang cempreng dan tinggi. Rasanya aku mau memukul kepalaku dengan pan berukuran paling di dapur yang aku punya. Kenapa dia sangat bodoh?! Terus untuk apa sedari tadi dia mencari kunci kalau tidak tahu bentuknya seperti apa!?

God, mengapa kamu takdirkan Abraham itu bodoh, kelewat bodoh bahkan!

“Iya juga, ya, ciri-cirinya bagaimana, Abra?” celetuk Dad yang membuatku semakin lemas seakan semua otot di tubuhku ini tidak bekerja lagi dan memilih untuk ber-hibernasi di kutub utara sana. Ternyata mereka kembar dan memilik kesamaan yang sama, sama-sama bodoh.

Dylan! Itu Dad mu, itu Dad mu kenapa kamu bilang dia bodoh!, batinku berteriak mengingatkan. Aku membalasnya dengan cengiran lebar seperti orang bodoh di dimensi lain.

Sudah, aku tidak mau membahasnya!

“Dylan sayang! Bagaimana ciri-ciri kunci cadangan itu?” teriak Dad.

Fix, batinku sekarang menjerit kencang dengan frustasi. Jika di izinkan oleh tuhan, rasanya aku ingin menelan Dad dan Abraham hidup-hidup.

[]

HARRY’S POV

“Gemmaa!” teriakku sambil menghampiri perempuan yang duduk di salah satu kursi kayu tua itu. Kutegaskan, tidak tua tapi terlihat tua, jika tua kayu itu akan lapuk tapi kursi yang di duduki Gemma tidak memperlihatkan tanda-tanda penuaan.

Oke, penyakitku kambuh. Kenapa kambuh di saat yang tidak tepat!

Back to topic.

Jika di perhatikan, salah satu tangan Gemma bertopang pada meja kaca, aku tidak bisa mendeskripsikan bagaimana bentuknya, intinya bentuknya seperti balok besar es— karena ini transparan dan es itu transparan bukan? yang tingginya aku perkirakan setinggi dada Gemma. Cukup tinggi, ya, sampai-sampai aku tidak yakin kalau itu meja.

Enchanted ⇨ stylesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang