Laki-Laki di Halte 04

22 3 1
                                    

Hari mulai gelap, tapi aku masih berkutat pada pekerjaan sekolahku. Teman-teman yang lain sudah menyelesaikannya dan bergegas pulang. Tinggallah aku seorang diri di ruang OSIS ini.

Menyedihkan memang, ketika seorang ketua OSIS dipasrahkan begitu banyak tugas, sedangkan bawahannya tak seorangpun memiliki sedikit prihatin dan keinginan membantu.

Ya, pada dasarnya sejak aku terpilih menjadi ketua OSIS tak ada anggota yang setuju atau mendukung. Mereka memiliki jagoan unggul yang tak tertandingi kepopulerannya.

Tapi apa boleh buat, palu sudah diketok. Keputusan kepala sekolah adalah mutlak. Tak ada yang boleh menyanggah atau beragumentasi yang lain. Tugas mereka semua adalah mempengaruhi pendapat Kepsek mengenai calon ketua OSIS. Dan jika pada akhirnya, rayuan itu tidak mampu mengalihkan pandangan mata Kepsek terhadap jagoan mereka, mereka tidak bisa berbuat apa-apa.

Dan nasib sial bagiku karena dilirik oleh Kepsek. Sial bagiku ketika pengadilan (sebutan untuk pelantikan ketua OSIS di sekolahku) dimulai dan namaku-lah yang digemakan oleh Pak Tua itu. Benar-benar hari sial bagiku. Sial. Dan sial.

Hari-hariku yang sudah buruk menjadi tambah buruk dengan pengadilan itu. Aku yang hanya memiliki sedikit teman menjadi tidak punya teman sama sekali. Semua orang jadi takut berteman denganku karena diancam oleh anggota OSIS yang  jabatannya tercuri olehku. Ah!

Sungguh, kalau aku boleh memberikan jabatan ini pada yang menginginkannya, aku pasti akan memberikannnya dengan sukarela. Sungguh! Aku tidak menginginkan jabatan apapun. Lebih baik bagiku bila aku menjadi seorang yang tak dipandang daripada menjadi seteru semua orang.

Jam 7 malam.  Aku baru selesai mengetik proposal kegiatan festival untuk dua minggu depan. Bergegas aku bereskan barang-barangku. Bila aku pulang sekarang, masih ada waktu 30 menit sebelum bis terakhir menuju rumahku berangkat.

Jadilah aku berlari menuju Halte 04 yang jaraknya 10 menit berjalan kaki dari sekolahku. Aku harus berhati-hati melangkah. Salah langkah sedikit, laptop sekolah ini akan mencium tanah yang basah sehabis diguyur hujan.

Akhirnya sampai. Tepat ketika aku baru melangkahkan kaki ku di halte, hujan turun dengan sangat deras. Untung saja!

Kulirik sekitarku. Semua tempat duduk sudah penuh. Tampaknya mereka sedang menunggu bis yang akan datang lima menit lagi. Ya, aku bisa menunggu selama itu. Kakiku ini sudah terlatih untuk berdiri berjam-jam. Jadi, tidak masalah bagiku bila berdiri beberapa menit saja.

Aku sedang asyik memandangi sekitarku ketika mataku menangkap sosok laki-laki yang mengenakan rompi bertudung abu-abu yang berdiri dipojok halte sambil menyandarkan punggungnya.

Laki-laki itu. Sudah hampir seminggu sejak aku selalu pulang terlambat, aku  selalu melihat laki-laki itu disitu. Di tempat yang sama. Dengan posisi berdiri yang sama. Bahkan dengan rompi bertudung yang sama pula.

Laki-laki itu sepertinya berada di tempat itu dengan alasan tertentu. Pasalnya, aku tidak pernah melihatnya menaiki bis di halte ini. Bis menuju rumahku adalah bis terakhir yang transit di halte ini. Dan, selama seminggu terakhir aku menunggu bis di halte ini, ketika semua orang sudah menaiki bis dia masih berada di tempatnya. Bergeming sambil memandangi bis yang melaju.

Bis yang ditunggu penumpang lain sudah tiba. Mereka semua bergegas menaiki bis. Setelah itu, bis pun kembali melaju. Akhirnya, aku bisa duduk juga.

Tapi, kenapa rasanya ada yang aneh, ya? Aku-pun melirik sekeliling. Ternyata tinggal aku dan laki-laki ber-rompi itu yang berada di halte ini.

Suasana jadi terasa canggung. Masih ada tersisa lima belas menit lagi sebelum bis tujuanku datang. Dan rasanya akan aneh bila tidak melakukan apapun selama menunggu.

Ketika Rasa BerkisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang