Chapter 7

113 19 6
                                    

Siang ini tak seperti biasanya, dosen menyuruh agar Vika membeli beberapa buku yang ada ditoko buku terdekat untuk sang dosen. Vika yang sebenarnya sangat lelah hari itu karena masih banyak tugas yang belum ia kerjakan dengan berat hati menerima tawaran sang dosen. Dengan 2 lembar uang seratus ribu dan selembar kertas tulisan dokter dosennya, ia melangkah ke toko buku yang berada dekat dengan pasar, karena kebetulan took buku itu lagi mengadakan promosi, maka dari itu Vika lebih memilih kesana meskipun jaraknya terpaut jauh antara kampus dan took tersebut.

Ia pun mulai mencari dari rak satu ke rak yang lainnya, dirasa sudah memenuhi permintaan yang ada, ia pun segera menuju tempat kasir dan membayarnya. Setelah itu ia keluar. Baru saja ia ingin melangkahkan kakinya ke tanah, ia melihat wajah yang selama beberapa minggu ini tidak ia lihat.

Alfa.

"H... Hai ka?" Sapa Alfa pelan, nampaknya ia canggung bertemu denga Vika.

"Oh hai juga." Balas Vika sama kagetnya melihat Alfa ada dihadapannya.

"Gue boleh ngomong bentar sama lo?"

"Boleh kok. Ngomong apa ya?" Tanya Vika.

"Ikut gue aja dulu." Ucap Alfa.

***

Mereka berdua pun sampai di café seberang kampus. Setelah mengatar pesanan buku yang disuruh oleh dosennya, ia langsung mengikuti Alfa ke café ini.

"Udah 3 minggu ya gak ketemu." Vika canggung, membuka topik.

"Iya ka, sorry. Gue sibuk belakangan ini, ngerjain tugas buat skripsi soalnya." Balas Alfa.

"Gitu ya..." Vika mengangguk paham.

"Eh tadi lo mau ngomong apa?" Vika baru ingat bahwa tujuan mereka ke café karena ajakan Alfa.

"Gak papa nih gue ngomong?" Tanya Alfa hati-hati, takut menyakiti perasaan Vika.

"Iya yaudah si ngomong aja." Vika tertawa seraya memegang tangan Alfa.

Alfa yang dipegang tangannya pun terdiam, melihat Vika tertawa lepas. Serasa ia tak ingin mengatakan ini, jika ia mengatakannya maka ia harus mengakhiri kebahagian ini. Tapi ia harus mengatakannya.

"Maaf ka sebelumnya. Kayanya gue gak bisa jadi sahabat lo lagi."

Kali ini Vika yang terdiam, ia melepaskan tangannya yang tadi menggenggam tangan Alfa.

"Ke... Kenapa?" Suara Vika pun mulai bergetar.

"Bukannya apa-apa. Gue cuman ya..."

Vika menunggu kelanjutanya.

"Gue gak nyaman dengan cerita lo kemarin."

"Kenapa gak nyaman? Kan lo sendiri yang minta gue buat terbuka sama lo."

"Gue rasa lo belum move on dari mantan lo itu. Mungkin dengan lo dekat sama gue bisa jadi perantara lo rindu karena mantan lo. Jujur gue gak bisa kalo lo nganggap gue sebagai mantan lo, yang ada lo bakalan teringat dengan luka masalalu lo, lo nganggap gue brengsek sama kayak dia atau apapun itu, padahal gue bukan dia. Dia ya dia, gue ya gue."

Mata Vika berair.

"Please ka jangan nangis. Gue gak tahan liat lo gini." Suara Alfa ikut bergetar.

"Terus mau lo apa hah! Bukannya lo sendiri tau konsekuensi dari ucapan lo tadi itu bikin gue nangis!" Vika membentak ALlfa. Seluruh pengunjung café menatap mereka heran. Air mata Vika pun keluar dari kedua belah matanya.

"Tapi gak seberlebihan gini juga ka." Alfa menahan emosinya.

"Berlebihan kata lo? Oh ... berarti lo senang dong kalo lo gak gue jadiin prioritas?"

Alfa diam.

"Berarti lo mau dong gue dua-duain gitu?"

"Berarti kalo misalkan hari ini gue pulang kampus bareng lo, besoknya sama si A, besoknya lagi sama si B, besok besoknya lagi sama si C. Dan minggu depannya gue ditidurin sama banyak cowok. Lo mau gitu?" Vika mulai berapi-api.

"Gak gitu juga ka." Alfa mencoba menenangkan.

"Oh terus, berarti lo maunya gu..."

"Cukup, ka!" Bentak Alfa.

Vika pun terdiam.

"Gue gak mau jadi beban bagi lo. Jadi lebih baik persahabatan kita cukup sampai disini."

"Oke kalau itu mau lo. Gue penuhi permintaan lo." Vika menghapus air matanya kasar dan meninggalkan café.








Padahal, andai lo tau isi hati gue, pasti kita gak kaya gini

-Vika

Sahabat? Apasih ka. Lo gak sadar apa kalau selama ini gue sayang sama lo?

-Alfa

She Is Gone✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang