Chapter 3

412 60 22
                                    

"Sial, sial!! Kenapa tidak ada yang mengingatkanku??!! Menyebalkan!! Sial!"

Kau melangkahkan kakimu, menghentakkannya ke tanah. Kerikil kecil yang kau lewati menjadi korban dari tendangan kaki jenjangmu. Kau kesal, ya, kesal pada dirimu sendiri, merutuki dirimu yang —entah bodoh atau pikun.

Bagaimana bisa kau melupakan hari ini adalah hari minggu? Jadwal  pembelajaran di sekolahmu berlangsung dari hari senin sampai sabtu, tapi hari ini kau cukup sial. Ya, sial sekali. Seharusnya kau tidak bangun dari dunia mimpi di pagi tadi.

Kau mengacuhkan tatapan orang yang  kau lewati mengarah padamu, tatapan aneh yang kau bisa tebak apa yang mereka pikirkan tentangmu. Ya, kau hanya bisa membutakan mata dan menulikan telinga, menganggap mereka hanya sekumpulan semut kecil yang bisa diabaikan.

Pikiranmu kemudian tertuju ke kamarmu. Tidak, kau tidak memikirkan untuk melanjutkan tidur, tapi kau memikirkan dua pria itu, pria yang ada di kamarmu saat kau bangun pagi tadi.
Apa mereka masih ada di rumahmu? Dengusan kemudian meluncur dari hidungmu. Menganggap yang kau lihat dan alami tadi pagi hanyalah sebuah mimpi belaka, semacam fatamorgana?

"Ya, benar. Kepalaku pasti terbentur saat di mimpi, membuat otakku cedera karena mimpi jatuh dari planet Merkurius" ujarmu asal. Melangkahkan kaki sedikit cepat saat jarak rumahmu sudah dekat beberapa meter lagi. Perutmu sudah berbunyi minta diisi, kau ingat tadi saat berangkat belum makan sama sekali.

Kau berdiri di depan pintu rumahmu sambil merogoh kunci di saku rokmu,  memasukkan kunci tersebut ke dalam lubangnya. Kau memutar kunci tersebut ke dalam lubang namun  Pintu tersebut masih terkunci saat kau   membukanya. Padahal setiap pergi ke sekolah, kau yakin selalu mengunci pintu rumahmu. Menjaga keamanan, tentu saja.

Keningmu mengernyit, kau kembali memutar kunci tersebut sampai akhirnya pintu rumahmu terbuka. Apa tadi pagi aku lupa mengunci pintu?  Pikirmu dalam hati. Kakimu melangkah ke dalam, memasuki rumahmu yang terasa sejuk dan sangat bersih. Kau mengerjap beberapa kali. Apa ayahmu sudah pulang? Bergegas, kau pergi ke ruang tamu. Tidak ada orang. Ayah yang kau pikirkan tidak ada di sana.  Kau kemudian berjalan menuju dapur. Sama. Disana juga tidak ada seorang pria tua yang kau harapkan ada berdiri di sana. Namun, matamu sedikit memicing melihat beberapa makanan sudah tersaji di atas meja.

Kau mendekati meja makan tersebut. Memperhatikan asap yang mengepul dari makanan itu. Baunya terasa sangat harum , membuat lidahmu tak sabar untuk mengecapnya, perutmu semakin tergoda untuk dikenyangkan oleh makanan itu.

Siapa? Ayah?  Tapi ini bukan waktunya ayah untuk pulang, kan?  Apa sepupu bodoh itu?

"Sudah ku duga kau pulang. Dasar bocah, makanya pikun itu jangan dipelihara, tch"

Tubuhmu menegang mendengar suara berat itu, dengan sedikit gerakan kaku, kau membalikkan badan untuk melihat si pemilik suara.

"Jangan seperti itu, Levi. [ Name]-san  hanya lupa saja hari ini hari minggu" sahut Akashi tersenyum tipis menatapmu. Kau mengerjapkan mata beberapa kali. Sekarang kau sadar, ternyata dua pria yang tadi pagi kau lihat di kamarmu ini —nyata.

"Tch, kau hanya memperhalus bahasanya saja, Akashi.  Intinya dia pikun" Levi mendengus. Ia menatapmu datar.  "... Kami sudah membuatkanmu makanan. Cepat habiskan sebelum ku buang makanan itu ke tempat kumpulan kucing liar!"

Levi seperti mengancam tapi percayalah di dalam katanya tersebesit  arti kekhawatiran? Ya, bisa dibilang seperti itu.

Kau menatap Levi dan Akashi dengan senyuman kaku.  "Lalu kalian?"

"Kami sudah makan tadi" jawab Akashi. Ia berjalan ke arahmu dan menuntunmu untuk duduk di kursi. Kau sedikit mengernyit, drama mainstream yang memperlakukan seorang perempuan seperti putri? Hah, jujur saja. Kau tidak suka hal yang seperti itu.

Melihat kau yang masih berdiri, membuat Levi mendecih. Ia berjalan mendekatimu  kemudian menekan pundakmu untuk duduk di kursi yang disiapkan Akashi. Dengan terpaksa kau menurut saja.

"Setelah kau makan, kita keluar mencari makanan. Tidak ada bahan makanan yang tersisa di dapurmu"

Kau hanya ternganga. Entah siapa yang punya rumah, entah siapa yang memerintah seperti ini. Sebenarnya kau malas untuk memikirkannya dan lebih memilih mulai memakan makanan yang ada di depanmu yang sudah dari tadi minta dihabiskan.

Tatapan Akashi dan Levi membuatmu sedikit gugup saat mereka selalu menatapmu saat makan. Kau bukan tersipu, hanya saja tatapan mereka membuatmu merasa seakan-akan ditelan hidup-hidup.  Dengan cepat, kau menyambar segelas air putih, meneguknya dengan cepat.

"Levi-san, Akashi-san.. bisakah kalian... tidak menatapku seperti itu? Aku tau aku cantik tapi tolong jangan bunuh aku dengan tatapan kalian saat aku makan,"  ujarmu bermaksud bercanda mencairkan suasana. Akashi tersenyum tipis padamu sedangkan Levi mendengus menatapmu datar.

"Bocah, percaya diri sekali kau, tch"

"Percaya diri itu sangat diperlukan, Levi-san. Tidak percaya diri, tidak hidup." Kau tersenyum setelah berkata demikian. Membuat Levi semakin mendengus memandang ke arah lain. Levi hanya malas berdebat denganmu, itu saja. Tapi, matamu sepertinya mulai minus karena melihat ada beberapa garis rona merah di pipi Levi.  Kau sampai memicingkan matamu untuk melihatnya, kepalamu mengangguk. Sudah ku duga mataku mulai minus.

Akashi yang dari tadi memperhatikanmu mengepalkan tangannya sendiri. Tatapannya seketika berubah datar.

To Be Continued

Must ChooseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang