Laki-laki tersebut sudah tiada rasa rupanya, ia termenung dalam kabut sejarah yang pahit memenuhi ruang pikirnya, sebentar-sebentar ia melihat orang berjalan, namun dari balik jendela rumahnya saja. Orangtuanya pun sudah memahami perihal masalah anak muda sedang dalam masa-masa puncak eksploitasinya, sudah berapa kali dukun mendatangi rumah tersebut, alhasil tak ada perubahan apapun. Ditelisik dalam tidurnya ia sering menyebut nama Laila, berulang kali, hingga orangpun bertanya-tanya ada apa sebenarnya dengan wanita bernama Laila, siapakah dia, dari manakah asalnya, apakah dia itu masa lalunya atau perihal apa sebab ia terus menyebut namanya.“Ma, Pa, izinkanlah Radit menemui rindu Radit, ia terkatung-katung diluar sana, ia dingin dalam lingkungan sepi,” kata Radit pada kedua orangtuanya, kedua orangtua Radit tampak heran dengan perkataan anaknya, sebenarnya apa yang ia katakan barusan sungguh sulit dicerna oleh kedua orangtua ini, “Sebenarnya apa yang kau maksudkan itu anakku, jika ada perihal yang kau mau, maka katakanlah agar orang tuamu ini mengerti maksud anak muda kini,” jelas kedua orangtuanya pada Radit, dengan tarikan nafas kesal Radit menjelaskan, “Papa yang aku cintai dan aku hormati, maksud Radit itu hanya Radit ingin menemukan dia, itu saja kok,” kata Radit dengan menaikkan volume bicaranya, “Dit, kami inikan orangtuamu, mana ada orangtua yang akan membiarkan anaknya dalam kemalangan seperti ini, maka kau sopanlah sedikit dengan suara gaharmu itu,” terang Mama lembut menyentuh relung Radit dalam sanubarinya, Papa hanya bisa mengelus-elus dada, dalam usianya yang semakin tua, ia hanya ingin Radit sembuh seperti sedia kala, tepatnya kala itu Laila masih dengannya, menjadi pendamping disetiap langkahnya, dan menjadi peran penting dalam hidup Radit, namun entah kenapa Laila lebih suka dengan dingin dalam sepi, ia sendiri penuh rahasia, hingga buat Radit seakan seperti sekarang ini jadinya.
Dalam perjalanan Radit, disepanjang kota akhirnya ia sedikit membasahi rindunya pada sepanjang jalan Malioboro, ia ingat betul dimana letak ia berucap dan memutuskan hal ajaib yang datang dari mulutnya, ia pun merangkak disepanjang jalanan Malioboro, menciumi bau-bau tempat bersejarah baginya, tak jarang ia berbicara dengan keriting-keriting jalanan, ia menanyakan perihal jodohnya, mereka beri isyarat pada Radit bahwa jodohnya memang sedang tersesat, Radit pun yakin dengan penuh dugaan ia kumpulkan untuk membendung rindunya.
“Laila, apakah itu kamu Laila, kamu kemana saja, aku sungguh rindu, rindu dimana kita menginjakkan kaki kita ditanah istimewa ini, masihkah kau ingat dalam ingatanmu pernah ada hal ajaib yang terjadi dengan kita pada suatu hari yang lalu, entah itu datang dari mana asalnya, namun aku sungguh tak mengelakkannya, Laila, mau kemana kau,,,?”. Terik siang membuka paksa kedua katup mata Radit agar ia terbangun dalam kefanaan yang tiada henti menjumpainya, ia terkantuk dalam jalanan yang tak mengurus tubuh ringkihnya tersebut. Kemudian ia pun menyiangi perjalanan dalam menuju pantai, ia rasa akan ada rindu yang mungkin masih saja tertinggal dalam hamparan pasir atau saja dalam perihnya cadas laut. Hampir semua orang yang berpapasan dengannya memutar balikkan pikirannya, mereka seakan merasakan sakit yang diderita Radit, “Bu, anak muda itu kenapa ya, kenapa dia seperti itu, bukankah ada pemuda lain yang nasibnya lebih buruk darinya, seperti halnya Kak Laila,” kata anak kecil pada Ibunya ketika sempat melihat kondisi Radit yang ala kadarnya seperti itu, “Sudahlah jangan bawa nama Kakak mu itu, Ibu rasa sudah tidak kuat lagi menampung kesedihan Kakakmu Laila itu,” jawab Ibu untuk anaknya, seiring dengan berlalunya Ibu dengan anaknya tersebut , ternyata merekalah sumber yang akan membawa Radit bertemu dengan rindunya, namun hal yang tak waras menjadikan Radit buta akan kepekaan disekililingnya, biarpun angin akan membawanya menelusuri perihal rindu.
Sudah berapa puluh kali Radit dengan kakinya menelusuri perihal rindu yang tiada muara, ia ingin segera menemukan ujung dari pengembaraan ini, tentunya semua dengan akhir yang bahagia, namun tak akan lebih bagus jika dalam mencapainya dibumbui dengan berbagai rasa. “Mau ke tujuan mana mas?” tanya kenek trans jogja, kenek itu cantik, “Mas,” tanya ia lagi pada Radit dalam menungnya, Radit terkaget dengan tanya kenek tersebut, “Eh iya mbak, maaf saya kurang perhatian, iya saya mau turun di halte depan saja,” balas Radit dengan cepat, kenek itu tertawa sedikit dalam ujung bibirnya, “Oh ya sudah mas hehe,” tambah kenek tersebut, halte berikutnya sudah terlihat oleh mata, Radit dengan beberapa penumpang pun bersiap untuk turun pada halte berikutnya, satu persatu penumpang turun menuruni tangga penurunan, “Mas-mas tasnya tertinggal, “ teriak kenek tadi pada Radit, namun jarak radit yang telah jauh menjadikan ia tidak mendengar teriakan kenek itu, semakin jauh Radit melangkah semakin ingat lah dia bahwa tasnya tiada pada lengannya sekarang, ia pun mencari pada setiap langkah sebelum ia sesudah ia lalui tadi, ia bertanya pada setiap orang dihalte tersebut dengan pertanyaan yang sama, namun semunya menjawab dengan jawaban yang sama bahwa tidak ada seorang pun yang melihat tas miliknya. Didalam tasnya juga terdapat barang berharga miliknya, selain itu ia tak bisa makan lagi, karena uang terakhir disitu pula, dan sekarang hanyalah ada ia dengan pakaian yang ia kenakan, berhari-hari ia tinggal berpindah-pindah berpetakan arah angina yang membawanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
kunamai kau rindu
Short Storysemuanya perihal rindu yang tak akan ada muaranya, penulis mencoba mengembangkan kepekaannya dalam hidup berlingkungan tak biasa, terima kasih. selamat membaca 😇