3

1K 43 7
                                    

Mataku mengerjap-erjap kemudian serta merta terbuka. Tepat setelah itu terdengar satu teriakan.

"Bos, dia sudah bangun!"

Sebuah robot berbentuk kapsul melayang-layang berwarna putih mengilat dengan mata biru yang menyala berteriak heboh. Aku terlalu terkejut sampai aku melemparinya dengan bantal, tapi tubuhku masih lemah sehingga lemparanku tak tepat sasaran.

"Aw, kau hampir melukaiku!" ujarnya dengan suara khas robotnya.

"Di mana aku? Siapa kau?" selidikku dengan ketus sembari berusaha turun dari ranjang yang terus-terusan berderit setiap kali aku bergerak. Sebelum robot itu sempat menjawab, pintu ruangan yang kutempati terbuka. Seseorang bertubuh gemuk berambut pendek awut-awutan merangsek masuk dengan terburu-buru. Dia adalah seorang wanita yang kutaksir usianya sekitar 25 tahun, tingginya hanya sepundakku, tubuhnya gempal dan ia memakai pakaian ketat.

"Siapa kau? Kau yang mengintaiku tadi kan?" teriakku. "Berani-beraninya menculikku? Apa maumu? Apa kau ingin mengambil alih bumi dan menyingkirkan umat manusia, hah?" tanyaku sembari berusaha turun dari ranjang. "Atau aku sudah mati?"

Dia nampak terkejut dengan kata-kataku tapi dia hanya diam, lantas bertanya sambil memegang jemariku, "Apa Nenek baik-baik saja?" sorot matanya yang indah memberikan tatapan khawatir.

"Aa.. apa kau bilang? Nenek?" aku tergagap. Dia ini siapa berani-beraninya memanggilku seperti itu. Hei, aku tak setua itu!

"Ya, Nenek Sandra!" dia tesenyum lalu memelukku, begitu juga dengan si robot kapsul. Aku masih tidak mengerti dengan ucapannya, aku terlalu syok jadi aku mendorong tubuhnya menjauh.

"Dengar, aku tidak tahu apa yang kau bicarakan. Aku dimana? Siapa kau?" aku mengamati interior ruangan sekitar. Ruangan ini hanya berisi satu ranjang dan satu karpet kumal. Dindingnya retak-retak, catnya mengelupas, sirkulasi udara di sini begitu buruk hingga membuatku terus-terusan batuk.

"Ini rumah masa kecil Nenek yang aku tinggali sekarang. Aku Alexandra Stella Andhini, cucu nenek!"

Aku tak tau harus berbuat apa lagi jadi aku mendengarkan cerita orang itu.

Alexandra, yeah, cucuku, anak putriku, mengatakan kalau kedua orangtuanya sudah meninggal akibat kanker yang sudah menjangkit banyak warga belakangan ini. Alexandra hanya tinggal sebatang kara bersama robot pintar ciptaan ayahnya yang merupakan seorang ilmuwan. Dia membawaku ke masa dia berada melalui portal waktu buatan ayahnya dengan tujuan tertentu dan ia masih belum memberitahukan tujuannya itu padaku. Itu memang terdengar tidak logis tapi saat melihat mimik wajah Alexandra ketika bercerita aku mulai berpikir bahwa ucapannya memang benar. Atau aku mungkin mulai tidak waras.

"Emm..sebetulnya aku penasaran sekali kenapa kepalamu terlihat agak besar dan kenapa pergelangan tanganmu kecil?" yah terkadang aku suka salah fokus.

"Entahlah, Nek, karena evolusi mungkin, manusia di masa depan terlalu banyak berpikir dan terlalu bergantung dengan teknologi sehingga jadi malas bergerak, ngg aku tidak tahu pastinya karena aku hanya menduga-duga saja!"

Aku hanya manggut-manggut "Omong-omong berapa usiamu?" tanyaku lagi.

"15 tahun." Jawabnya pelan lalu menunduk.

Aku hampir terlonjak saking kagetnya. Itu tak mungkin, wajahnya terlihat seperti wanita 25 tahunan. Seakan tahu apa yang sedang aku pikirkan dia lantas berujar, "Lingkungan yang menyebabkanku seperti ini."

See The RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang