Shinta Was Her Name

42 12 12
                                    

Malam ini tidak seperti malam-malam biasanya, angin malam berhembus dengan sangat kencang, membuat ranting dan dedaunan bergerak ke kanan dan ke kiri mengikuti arah angin menghembuskan keributannya. Membuat Mamat dan Sobri yang mendapatkan giliran ronda, kerap kali menggigil kedinginan.

"Mat, ikut gua yuk," ajak Sobri pada sahabatnya yang memakai kaos berwarna putih dengan garus abu-abu dan memiliki potongan rambut yang pendek, ibarat kata dia seperti artis kenamaan Vino G Bastian yang sedang menggaruk-garuk hidung dengan elegan, Mamat.

"Mau kemana?" jawab Mamat singkat.

"Kita keliling kampunglah, pan kita lagi dapet giliran sekarang!"

"Kita? Lu aja kali, kan gua di mari cuma mau nemenin lu doang, Njul." ledek Mamat pada Sobri yang tampak merengut.

Tidak percaya pada ucapan sahabatnya yang memiliki bulu halus nan lebat dan keriwil di bagian pipi dan kanannya, Sobri mengeluarkan secarik kertas dan memperlihatkan pada Mamat.

"Sekarang jadwal lu juga, kurap. Nih lu pantengin bae-bae kertas!" seru Sobri sambil menyerahkan list jadwal ronda pada Mamat, sengaja di tempelkan tepat di mukanya.

"Mana?" tanya Mamat.

"Jangan pura-pura gak baca, tar kalo dah siwer jangan nyalahin gua yak," sindir Sobri

"Hehehe, oiya ... ini ada nama gue yak, tepat dibawah nama seorang pria yang konon naksir sama Maemunah, tapi ternyata dia malah milih gua cowok dengan masa depan yang cerah," celetuk Mamat.

"Madesu kali maksud lu, hahaha" Sobri kembali meledek sahabatnya itu.

Mereka berdua larut dalam candaan yang tiada akhir, sampai satu ketika ....

"Hiii ... iiii ... hiii ... iii ...."

Sayup terdengar suara seorang perempuan yang sedang menangis sedu sedan. Tersimpan kesedihan yang begitu dalam dan pilu di dalam tangisannya. Membuat siapapun yang mendengar ikut iba, tak jarang turut menitikkan airmata ikut dalam kesedihannya.

"Sob, lu denger gak?" tanya Mamat seketika saat sedang hanyut dalam candaan yang lumayan garing pada Sobri.

"Apaan?" jawab Sobri panik.

"Hiii ... iiii ... hiii ... iii ...."

"Itu!!!" tunjuk Mamat pada Sobri yang tengah menajamkan pendengarannya, takut kalau Mamat akan mengelabuinya lagi seperti waktu lalu saat ronda bersamanya.

Sobri dan Mamat sama-sama memperhatikan suara tangisan perempuan, yang entah dimana perempuan itu berada saat ini. Mereka segera mengambil senter, masing-masing seorang satu buah senter. Mencari-cari darimana arah suara tangisan itu, mengelilingi pos kamling dari arah yang berbeda, dan bertemu tepat di belakang pos kamling yang di belakangnya masih ada banyak pohon-pohon tinggi milik Pak Haji. Mereka saling berpandangan saat itu juga, mencari suara tangisan perempuan yang sangat pilu hingga menyayat kalbu.

"Hiii, Mat. Serem gua, pulang aja yuk," ajak Sobri yang gemetar ketakutan pada Mamat yang masih tetap penasaran dengan perempuan yang menangis di tengah malam dan berangin itu.

"Bentaran, gua masih penasaran. Lagian ama yang kayak ginian aja masa lu takut sih, Bri?" tolak Mamat yang ternyata menahan rasa takut, terlihat jelas bulu-bulu di sekujur tangannya berdiri. Namun tidak di perhatikan oleh Sobri.

"Ya udah ayo, gua udah ngeri nih, malah tuh suara tangisan kagak berenti-berenti lagi," ajak Sobri yang bergetar hebat mengalahkan vibrator getarannya.

Mamat tetap tidak memperdulikan sahabatnya yang sudah gemetar ketakutan memegang pergelangan kanannyabegitu erat seperti orang yang mau menyeberang jalan, ia melanjutkan pencariannya masuk ke dalam kebun. Menyebarkan terang lampu dari senter yang ia pegang, ke kanan, ke kiri, ke atas, dan ke belakang tapi tidak menari maju mundur cantik.

Kurang lebih mereka berjalan lima meter jauhnya dari pos kamling, tiba-tiba pelupuk mata Mamat melihat sosok perempuan yang tengah duduk di atas sebuah batu besar yang terletak tepat di bawah pohon nangka. Mamat memberanikan diri mendekati perempuan berambut panjang dan berpakaian serba putih, jantungnya berdegup sangat kencang, sama kencangnya dengan kekuatan tangan Sobri memeras pergelangan tangannya. Meminta Mamat untuk mengurungkan niatnya mendekati perempuan yang tidak mereka kenal.

Perempuan itu tampak masih tersedu sedan, menutupi mukanya dengan rambutnya yang hitam legam dan panjang.

"Misi, Mpok. Maaf lagi ngapain yak tengah malem gini nangis sesegukan, di bawah pohon pula," tanya Mamat dengan nada yang sedikit bergetar.

Perempuan itu lalu menghentikan tangisannya, perlahan ia menaikkan kepalanya, dan rambut hitam yang menutupi wajahnya pun sudah terbuka walau menyisakan matanya saja.

"Saya tersesat Bang. Saya mau pulang, tapi malah masuk ke dalam kebun, terus muter-muter tanpa arah. Saya ketakutan, makanya nangis, siapa tahu ada yang denger," jelas perempuan itu, kemudian angin kencang berhembus mengibas rambutnya dan menampakkan wajahnya yang ternyata cantik melebihi kecantikan Maemunah.

"Wuah, beruntung banget kalau gitu yak Mpok ketemu sama kita orang berdua," Sobri menyalip Mamat dan berdiri tepat di depannya, padahal tadi dia yang paling ketakutan bahkan hampir pipis di celana. "Emang rumahnya dimana?" selidik Sobri sambil tebar pesona, Mamat hanya bisa diam melihat tingkah Sobri.

Perempuan itu berdiri dari duduknya, dan memberitahu Sobri juga Mamat dimana ia tinggal. Dua orang lelaki itu dengan senang hati mengantarkan perempuan, yang akhirnya mereka ketahui namanya, Shinta. Berjalan di tengahnya malam dan hembusan angin yang semakin kencang, membuat Sobri sigap memberikan kain sarungnya pada Shinta untuk menutupi tubuhnya dari terjangan angin, dan di tanggapi oleh Shinta kain yang di berikan Sobri, segera ia pakai. Mamat tidak banyak berbicara, ia hanya manjadi obat nyamuk di antara dua orang manusia yang sedang pedekate kalau kata orang-orang. Dan tidak lama, akhirnya mereka sampai di depan rumah yang sangat luas, lengkap dengan perkarangannya yang di penuhi lampu hias.

Berdiri tepat di depan gerbang, akhirnya mereka harus terpisah. Tampak kekecewaan pada Sobri, melepas bidadari yang akhirnya bisa ia dekati setelah sekian lama, meski perkenalan mereka baru hitungan menit.

Selepas Mamat dan Sobri mengantarkan Shinta, akhirnya mereka kembali pulang. Ronda mereka akhiri tepat pukul 2 malam. Pulang ke rumah masing-masing, dimana kasur nan empuk sudah menanti untuk mereka singgahi.

Keesokan harinya,

"Innallilahi wa innailaihi rojiun," seru Emak yang anteng memperhatikan berita di televisi, membuat Mamat yang selesai mandi dan masih dengan kepalan handuk di kepalanya, ikutan penasaran.

"Kenapa, Mak? Serius amat romannya," selidik Mamat.

"Entu orang tega bener ngebunuh cewek cantik gitu," jelas Emak.

"Siapa nama korbannya, Mak?"

"Shinta Awaludin,"

"Apa???" Mamat tidak percaya dengan ucapan Emak, ia akhirnya memperhatikan dengan seksama berita yang sedang berlangsung. Tidak disangka, bahwa perempuan yang mereka antar semalam adalah ...

"Mamat ...." suara teriakan Sobri terdengar dari kejauhan,

Mamat menghampiri suara teriakan Sobri, mereka berpandangan seperti dua orang kekasih yang baru bertemu, namu dengan mimik wajah penuh peluh ketakutan.

"Sob, ternyata ..."

"Iyak Mat, namanya Shinta. Cewek yang udah bikin gua kelepek-kelepek, ternyata ..." Sobri menangis tersedu sedan, menerima kenyataan yang begitu pahit, dan sayup terdengar suara Shinta dari arah pohon besar yang berada di depan rumah Mamat, sambil duduk dan tersenyum manis pada Mamat juga Sobri.


#BASAGITACOMMUNITY

#BASAGITAMINICHALLENG1.0

BASAGITA MINI CHALLENGE 1.0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang