Menanti yang tak pasti memang melelahkan.
—————————Jika hari biasa, Abah sholat di mushola dekat rumahnya. Kali ini, ia memilih untuk sholat di rumah dengan Ali sebagai imam. Selepas sholat, mereka makan malam yang sudah disiapkan Ummi sebelumnya. Kehangatan keluarga yang kembali dirasakan Ali dan Reva, setelah bertahun-tahun tidak merasakannya.
"Jadi, apa jawaban kamu, perihal Ali?"
"Jangan terlalu lama menggantungkan jawaban, Bidadari Kecil Abah. Kamu tahu betul, semakin lama kamu menahan Ali. Akan semakin kecewa dan sakit hati saat kamu menolaknya." Maira mengangguk kecil sementara Ali semakin was-was mendengar ucapan Abah Maira.
"Tidak apa, Abah. Ali siap menunggu Maira."
"Tidak boleh begitu nak Ali. Ali juga punya hati dan rasa lelah menunggu."
"Maira akan katakan, besok selepas Shubuh." Maira tak enak hati mendengar nada kecewa dari Ali, tapi ia harus meyakinkan dirinya.
"Baiklah, kalau begitu. Nak Ali dan Bu Reva bisa istirahat, kami juga akan beristirahat." Reva keluar dari ruangan yang dijadikan mushola keluarga Ahmad itu, setelah menangkap kalimat tersirat dari Abah agar meninggalkan keluarga ini. Menyisakan Abah dan Maira serta Ummi yang diselimuti keheningan. Maira tidak berani bersuara sebelum Abahnya membuka pembicaraan. Ia juga tidak akan beranjak pergi sebelum Abah berdiri terlebih dulu.
"Apa kamu bingung memutuskan jawabannya?" Maira mengangguk lemah.
"Abah dan Ummi tidak bisa ikut andil dalam keputusan kamu, karena kamu yang menjalani kehidupan itu."
"Tenanglah, Bidadari. Ummi dan Abah tidak akan memberikan jalan seorang pria untuk mendekati kamu, kalau kami tidak yakin dengan kebaikan pria itu," sahut Ummi langsung mengelus puncak kepala Maira lembut.
"Ini juga cara agar kamu menghapus satu nama di hati kamu." Kalimat Abahnya menohok menusuk jantung Maira. Bulir-bulir air mata meleleh begitu saja membasahi pipi Maira, tanpa isakan.
"Abah," tegur Umminya menginterupsi kalimat Abahnya, karena Ummi tahu jika Maira tengah menangis saat ini dalam rengkuhannya.
"Maaf Bidadari, Abah tidak bermaksud membuat kamu menangis. Kamu harus tahu sesuatu untuk membantumu memilih." Maira mendongakan kepalanya sementara Ummi menggeleng-gelengkan kepala sebagai isyarat agar Abah tidak mengatakan 'sesuatu' yang diketahui keduanya. Abah tidak memedulikan Ummi yang menggelengkan kepala dengan tatapan memohon, Abah melanjutkan kalimatnya lagi.
"Ibrahim telah menikahi Aisyah, akad dilangsungkan kemarin."
Maira tersentak. Karena seseorang yang ada di hatinya begitu lama, telah keluar dengan sendirinya. Menikah dengan perempuan lain, di saat hatinya tertambat begitu lama dalam sebuah penantian. Meskipun hati mereka pernah saling tertaut. Lelaki yang ditunggunya, lelaki yang selalu hadir dalam do'anya, lelaki yang bahkan menjadi cinta pertamanya, dan lelaki yang berkata akan kembali saat dirinya pantas untuk meminangnya.
Ia hanya menunduk menikmati air mata yang setia mengalir di pipinya. Hatinya terluka.
"Abah tidak ingin melihat kamu terluka. Dengan memberitahu ini, Abah harap kamu tidak berpikir bahwa Abah kejam. Tapi, kamu berpikir bahwa Abah ingin melindungi kamu dari luka dan pedih hati. Menanti sesuatu yang belum pasti itu melelahkan, apalagi jika akhirnya kamu terluka. Pikirkan baik-baik, bukan hanya perasaan kamu, tapi perasaan Abah, Ummi, Bu Reva, dan juga Ali."
Abah mengecup singkat kening Maira kemudian berlalu meninggalkan Maira yang direngkuh Ummi, tidak ada perbincangan apapun. Hanya isakan kecil yang semakin lama semakin terdengar jelas. Menunggu itu tidak pasti, ya, aku menunggu kabar darinya bertahun-tahun. Tapi yang kudapatkan adalah luka.
Maira tahu benar, jika Abahnya benar. Bertahun-tahun lalu, kedua orang tuanya mengetahui jika Maira telah jatuh hati dengan Ibrahim. Abah yang tidak ingin Maira jauh dari surga Allah segera memanggil Maira untuk berbicara. Dengan nada tegas, tidak seperti biasanya yang penuh kelembutan.
"Maira, jadi kamu benar menaruh hati pada putra Kiai Umar?" Maira mengangguk kecil karena takut dengan Abahnya yang saat ini.
"Hapus dia dari hatimu Maira. Belum saatnya ia ada di sana, mengerti?"
"Kenapa, Abah?"
"Rasa cintamu itu akan membuatmu selalu terpikir tentangnya. Jika itu terjadi, berzinalah sudah pikiran dan hatimu, setelah tanpa sadar mata kamu yang berzina terlebih dulu." Maira menangis yang kemudian direngkuh Umminya.
"Dengarkan Abah. Rasa cintamu, semakin lama kamu pertahankan akan membuatmu semakin jauh dari surga Allah. Kamu mau itu terjadi?" Maira menggeleng kuat.
"Jadi hapuslah dia, Abah juga tidak ingin kamu terluka karena rasa cinta itu." Maira mendongak bingung dengan kalimat Abahnya.
"Akhi Ibrahim tidak pernah melukai Maira."
"Bukan dia, tentu dia tidak akan secara langsung melukaimu."
"Lalu siapa yang akan melukai?"
"Bukan dia, tapi kenyataan dan rasa cintamu yang akan melukai dirimu. Rasa cinta itu bukan hanya bahagia, tapi juga luka."
"Ingat Maira! Berhentilah mencintainya sebelum kamu terluka."
Maira terisak di pelukan Ummi, mengingat pesan Abah bertahun-tahun lalu yang masih bisa jelas diingatnya. Pesan Abahnya seakan berputar-putar di kepala Maira bersama dengan masalah-masalah yang lain. Ia tahu rasa luka yang dimaksud Abah setelah bertahun-tahun pesan itu disampaikan. Rasa sakit dalam hatinya mengalahkan rasa sakit di sekujur tubuhnya yang terasa nyeri. Maira merengkuh Umminya dengan isakan.
"Ummi."
"Hmm?"
"Rasanya sangat menyakitkan Ummi." Ummi ikut terisak mendengar pengakuan putri tunggalnya, yang bahkan tidak pernah mengeluh. Ia tahu, Maira akan sangat terluka dengan kabar ini. Ummi tidak pernah mendengar keluhan Maira selama ini. Ia tahu, putrinya menunggu khitbah dari ikhwan itu. Ia tahu, jika keduanya pernah saling jatuh hati.
"Tenanglah, Ummi akan mengambil rasa sakitnya. Tenanglah, jangan menangis."
Bibirnya bergetar menahan tangis, ia berpikir jika ia harus menguatkan putrinya. Jika ia ikut lemah, apa yang akan terjadi pada Maira. Ummi memeluk Maira erat menyalurkan kekuatannya untuk Maira. Sampai Maira tertidur dalam rengkuhannya karena lelah menangis. Dibaringkan Maira perlahan, lalu ia keluar memanggil Abah yang sedari tadi bersandar di dinding luar mushola dengan mata berkaca, untuk menggendong Maira ke kamar.
"Dia benar-benar terluka, Bah, Ummi tidak sanggup melihatnya menangis tadi," ucap Ummi yang menangis dalam rengkuhan Abah, setelah membaringkan Maira di kamarnya. Abah memutar bola matanya untuk menahan tangis.
"Abah juga terluka mendengar isakannya yang tidak kunjung berhenti. Sungguh." Abah melepaskan rengkuhan di tubuh istrinya, lalu mendekati Maira yang tertidur dengan mata sembap. Ia memandangi wajah putrinya, lalu mencium keningnya lama.
"Maafkan Abah. Tapi ini adalah jalan berliku terbaik yang disiapkan Allah untukmu, Bidadari Kecilku."
-Fin-
______________Jangan lupa, tetap jadikan Al-Qur'an sebagai bacaan utama.
Jangan lupa votes dan comments, ya.
Eits, jangan lupa mampir ke profil Fin juga untuk cek karya lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku #1 | My Beloved Niqobi [TAMAT]
SpiritualSUDAH TERBIT Cover by Finairakara Buku 1 | Niqobi Series ------------------------ Rank #36 in Spiritual (1/6/2018) Rank #55 in Spiritual (26/4/2018) ------------- Versi re-make telah hadir di https://Cabaca.id dengan judul yang sama. ...