"Rob, tolong angkat jemuran! Langit mulai mendung nak," lirih ibu.
Robi yang masih asyik dengan gadgetnya tidak peduli dengan permintaan ibunya. Gemuruh mulai datang, Robi pun belum beranjak dari sofa yang mulai panas itu. Aku tak bisa diam melihat perilakunya yang begitu menyebalkan.
"Rob, angkatlah. Nanti ibumu bisa marah".
"Bentar ya. 1 ronde lagi selesai nih".
Langit makin gelap, angin bertiup kencang. Daun yang hidup, kini gugur perlahan dan burung-burung yang bertebangan, satu per satu mulai menghampiri ibunya. Aku tak kuasa melihat reaksi Robi yang mengacuhkan perintah ibunya. Aku beranjak dari sofa dan ku angkat semua pakaian yang melambai-lambai. Angin makin kencang dan gemuruh makin menderu deru mengeraskan suaranya. Dinginnya hari mulai dating menyeruak menggantikan hangatnya rumah impian.
"Sa, dicicipi kuenya. Nanti dingin," sambil menyodorkan sepotong kue hangat ke arahku. Matanya yang berkaca-kaca menggambarkan kesedihan yang tertahan. Aku tak kuasa untuk bertanya. Mungkin akan menjadi peluru yang menyakitkan jika ku ungkit kisahnya.
"Rob, kamu setuju dengan jawaban ini? Kira-kira bisa kamu jelaskan besok didepan semua teman-teman?" Tanyaku ragu.
Aku, Robi dan Nana satu tim dalam persentasi di kelas. Nana bertugas membuat poin-poin penting di laptop putih kesayangannya. Aku bertugas mencari referensi materi yang akan disampaikan dan Robi bertugas menyusun strategi menjadi moderator dan menyimpulkan persentasi.
"Nan, sudah sampai dimana pekerjaanmu?" Aku mulai penasaran.
"Santai, bentar lagi selesai,"
"Ah, Nan. Jangan menganggap tugas ini mudah. Susah tau," Robi menceletuk.
"Kamu selesaikan saja tugasmu, Rob. Gadget mulu ditanganmu. Nanti kalau nilai kita kecil gimana?" Nana melirik Robi dengan kesal.
"Bagaimana mau selesai kalo aku saja masih belom dapet ide. Sebagai teman, harusnya kalian bantu aku. Kan beres." Robi nyengir.
"Cukup, Rob. Kamu akan menyesal nanti. Kami tak mau melihat tugas ini berantakan. Jadi, selesaikan tugasmu dan berhenti mengomentari Nana." Aku mulai emosi.
*****
Tak terasa matahari telah bersinar. Burung mulai berkicau, bersahut-sahutan satu dengan yang lain. Butir-butir air nampak terlihat dibunga-bunga yang merekah, Nampak begitu ceria.
Mata mulai menampakkan kelopak yang merekah, dengan berharap kebahagiaan yang akan menanti di depan mata. Tatkala itu, wangi masakan mama mulai semerbak di ruanganku. Ku ambil kaca mata dan beranjak meninggalkan pulau tercinta menghampiri anugerah yang dibuat dengan cinta.
"Mama, wangi banget masakannya. Nasi goreng ya, Ma?" Tanyaku dengan penuh kebahagiaan.
"Iya, nak. Ini mama masak nasi goreng kesukaanmu. Kamu mau?" Mama tersenyum.
"Kalo urusan perutku, nggak usah ditanya deh ma," sambil tersenyum dan langsung menyambar piring dan menyedok nasi yang masih hangat. "Ma, nanti aku pulang agak lama karena ada tugas kelompok. Mungkin sore ma baru selesai." Ujarku dengan mulut yang masih penuh.
"Iya. Hati-hati ya, nak," mama tersenyum.
Aku dan mama memiliki hubungan yang sangat erat, bahkan ia telah ku anggap sebagai sahabat yang tak dapat dibandingkan dengan siapapun. Kuraih tangan mama dengan penuh cinta dan ku cium punggung tangannya dengan lembut.
"Assalamu'alaikum, ma. Aku pergi dulu ya," ku sapa mama dengan senyuman.
"Wa'alaikumsalam."
Langkahku sangat cepat dan penuh semangat diiringi dengan kebahagiaan. Hari ini merupakan pengalaman pertamaku persentasi di depan teman-temanku. Hatiku mulai berdegup kencang walau rumput sekolah belum ku lewati.
Dari kejauhan, Nana dan Robi pun datang. Dengan lambaian tangan mereka, aku mulai berusaha untuk tenang. Nampaknya wajah mereka lebih meyakinkanku untuk tampil terbaik.
"Sa, kita harus kompak. Aku yakin, hasil persentasi kita bagus dan sesuai dengan yang guru inginkan," Nana tersenyum dengan bangganya.
"Udahlah nan. Tanpa diberi semangatpun, aku sudah sangat siap," jawab Robi.
"Eh Rob, jangan belagu ya. Kita belum tau hasil yang didapat nanti," Nana dengan nada suara yang mulai meninggi.
"Sudah. Jangan banyak bicara, bentar lagi telat. Yuk jalannya dipercepat," leraiku.
"Iya deh." Mereka pun mengangguk setuju dan mempercepat langkah agar sampai di sekolah dengan tepat waktu.
*****
Kelompokku mendapat giliran ketiga. Konsentrasiku mulai pecah saat kelompok lain mempersentasikan hasil mereka. Semua orang memperhatikan mereka. Jantungku makin berdegup kencang dan perut terasa sakit. Suasana di kelas mulai kurasa seperti macet di Jalan Sudirman - sumpek, panas, perut terasa sakit seperti ingin muntah. Jemari semakin berlarian membuka lembaran buku yang tergeletak di meja. Aku melambai-lambaikan rambutku untuk memastikan bahwa aku tenang-tenang saja, namun guncangan hati memang tak bisa dibohongi.
Ku lihat semua memasang bola mata kearah layar, kecuali Robi. Dengan mudahnya dia mengelabui guru dan teman-teman dengan gadget kesayangannya. Gamers, gelar yang cocok untuknya. Waktunya banyak terbuang untuk gadget. Semua orang tak dipedulikan. Hanya ia dan dunia gadgetnya.
Nafasku seketika terhenti saat guru memanggil kelompok kami untuk tampil. Semua sudah dilakukan, hanya tawakal yang jadi senjata saat ini.
"Assalamu'alaikum wr. wb. Perkenalkan kami dari kelompok Tiga. Saya Robi Ar Rosyid, di sebelah kiri saya ada Maulidna Indah P dan di sebelah kanan saya Sabrina A." Robi memaparkan dengan detail.
*****
"Alhamdulillah, selesai juga," aku bersyukur.
"Iya Sa, alhamdulillah. Semoga nilai kita memuaskan, ya." Nana berharap.
"Aamiin," jawabku penuh semangat sambil melirik kearah Robi, "tiap jam kamu maiiin terus. Coba lakukan hal lain, misalnya bercengkrama dengan kami atau dengan teman-teman lainnya", Aku geleng kepala.
"Hidup, hidup aku. Terserah aku mau ngapai aja!" Robi balas dengan jutek.
"Kamu ini. Dibilangin malah sewot. Kita itu peduli sama kamu, Rob. Lama-lama kamu bisa menjadi orang asing karena sibuk sendiri dengan gadgetmu," Nana membujuk Robi.
"Sudahlah, urusi saja urusan kalian. Aku mau pulang saja," Robi kesal sambil membereskan barang-barangnya.
"Jangan seenaknya kamu, Rob. Tugas kita numpuk nih," Nana dengan nada keras.
"Bi, jangan pulang dulu. Hari ini kita kan mau ke rumah Nana. Waktu itu kamu sendiri yang minta," Aku membujuk.
"Terserah, aku tidak peduli." Robi dengan nada kesal meninggalkan mereka berdua.
"Robiiii.." Nana berteriak.
"Nan, sudahlah. Malu didengar orang," Aku membujuk Nana untuk tenang.
"Ada apa, Nak? Kenapa berteriak?" Pak Ishak bertanya karena mendengar teriakan Nana.
"Tidak apa-apa, Pak. Tadi Nana cuma kesal dengan temannya. Bapak belum pulang?" Aku mengalihkan pembicaraan.
"Belum, Nak. Mau beres-beres dulu. Kalian belum pulang?" Pak Ishak bertanya.
"Bentar lagi kami pulang, Pak," ujar Nana sambil memasukkan bukunya ke tas.
"Kami pulang dulu, Pak," sapaku.
"Hati-hati, Nak."
Terik matahari menyapa tubuh kami. Angin tak berhembus hari ini. Ku pikir ia marah karena matahari kurang bersahabat terhadap bumi. Tanaman satu per satu terlihat layu berharap angin dan air bisa bersama dengan mereka. Anak-anak tak terlihat dijalanan, hanya kami yang masih berjuang menapakkan kaki untuk pulang ke rumah. Hati ini masih panas. Aku dan Nana benar-benar tak percaya atas apa yang dikatakan Robi tadi.
"Aku tak percaya Robi kasar begitu. Jadi kesel aku dengannya," Nana menggerutu.
"Pikirannya mungkin lagi kacau, Nan. Mudah-mudahan Robi baik-baik saja,"hiburku pada Nana.
"Semoga saja ya, Sa."
*****
"Aku pulang," Robi pulang tergesa-gesa sambil melepaskan sepatunya.
"Hari ini pulang cepet Rob? Kamu tidak jadi belajar kelompoknya?" Ibu bertanya dengan kecurigaan.
"Tidak apa-apa. Aku lagi bete. Aku ke kamar dulu. Dan ayah kapan pulang,Bu?" Robi bertanya dengan kesal.
"Mungkin 1 bulan lagi, Rob. Ibu pergi dulu ya."
"Ibu pergi lagi? Emang mau kemana,Bu?" Robi mengeluh.
"Ibu ada urusan. Di rumah tak ada makanan jadi kamu beli saja. Ibu ditunggu nih. Hati-hati di rumah," Ibu terburu-buru dengan pekerjaannya.
"Tapi, Bu. Aku.." Robi merintih.
"Dadaa, Rob. Jangan nakal ya," Ibu pergi dengan mobilnya dan segera melaju.
Di saat seperti ini, ibu memilih pergi dari pada denganku? Dasar aku tak berguna, gumam Robi dalam hati.
Rumah nampak sunyi dari luar. Hanya dentingan jam yang meramaikan suasana kelam. Hati tambah kelabu tanpa ada yang menyinari hari. Suasana menjadi suram saat Robi melihat gadgetnya dengan pesan, Nak, maaf. Ayah belum bisa pulang bulan ini. Kemungkinan bulan depan ayah akan bersamamu. Kamu mau dibelikan apa? Robi hanya terdiam di dalam kamarnya.
Dia tak menyangka akan hidup seperti ini. Ada orang tua tapi seperti tidak ada. Semua sibuk dengan kesibukan masing-masing. Rumah ini seperti pemakaman, semua mati. Dia ingin seperti anak-anak yang lain, bersenda gurau dengan orang tuanya dan memiliki waktu yang banyak. Suka duka selalu ada dan ada waktu untuk berbagi cerita. Pelampiasannya hanya gadget,yang diberikan Ayah diulang tahunnya yang ke-17. Robi pun menghela nafas dalam-dalam mengikhlaskan semua yang terjadi padanya.
Ting Tong, Assalamu'alaikum..
Bel berbunyi menghilangkan suara senyap dirumahnya. Robi menghampiri sumber suara itu dan membukakan pintu.
"Assalamu'alaikum, Rob," Nana menyapa.
"Wa'alaikumsalam. Kalian kenapa kesini? Ada perlu apa?" tanya Robi.
"Rob, maafkan kami jika kami salah. Aku dan Nana hanya ingin kamu ikut untuk kita bisa bersama-sama menyelesaikan tugas kita. Kamu mau untuk lanjut lagi bareng kita?" Aku membujuk Robi.
"Untuk saat ini, aku ingin sendiri. Mungkin besok aku ikut dengan kalian. Berikan saja tugas yang akan aku kerjakan, hasilnya aku kasih secepatnya," Robi dengan nada santai.
"Kami bermaksud datang kesini sekaligus mau menyelesaikannya di rumahmu. Jadi kalo ada yang sulit bisa kita selesaikan bersama-sama, Rob," Aku membujuk Robi.
"Yakin? Kalo itu ingin kalian, silahkan saja," Robi tersenyum.
"Okee.. kita buat di sini ya," aku tersenyum senang.
"Silahkan masuk, aku kebelakang dulu ya" Robi menyapa ringan dengan nada lembut.
"Terima kasih, Rob," jawab kami kompak.
Robi meninggalkan mereka berdua serta menyiapkan makanan dan minuman ringan untuk mereka. Ditengah-tengah itu, dia teringat bahwa dia masih menyimpan kue di atas meja kamar yang dia tinggalkan. Saat dia melangkah, tiba-tiba dia tersandung dan menoleh ke arah kiri. Dilihatnya ada kotak kecil yang ada di sudut lemari. Kotaknya tidak terlalu besar dan terlihat usang dimakan masa.
Ini apa ya? Sepertinya peninggalan kakek nenek nih. Tapi aku belum pernah lihat sebelumnya, bisik hatinya yang penasaran.
Ahh.. mungkin ini cuma kotak biasa, sanggahnya dalam hati.
"Rob, Robii.." Nana memanggil.
"Iya, tunggu sebentar," Robi menjawab panggilan itu dan pergi meninggalkan kotak yang ia lihat.
"Nih, ada sedikit makanan untuk kalian," Robi menawarkan dengan ramah.
"Wii, tumben, Rob. Kamu lagi kesambet apa nih," Nana penasaran.
"Ibu sedang kerja, jadi aku sendirian di rumah."
"Pantesan. Tapi sering-sering saja ya kamu seperti ini. Bisa jadi latihan untuk ayah rumah tangga di masa mendatang," lawakku dengan penuh tawa.
"Huu, gak lah."
"Yuk dilanjuti, nanti tidak selesai nih," Nana mengingatkan tugas yang akan dikerjakan.
"Iyaa, Nanakuu cayang," Aku merayu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pejuang Malam
Short StoryKisah seorang pelajar yang memiliki kehidupan serba ada. Namun, keadaan menjadi berbalik ketika ibunya mulai "bekerja". Disaat terpuruk, ia ditemani oleh dua sahabat yang menemaninya. Apa yang dilakukan ibunya? Dan apa yang terjadi padanya saat ibun...