"Sa, kamu sudah PR Pak Husni?" Nana bertanya hingga berkeringat.
"Sudah donk. Hayo, kamu belum buat lagi ya?"
"Iya nih. Aku belum sama sekali. Ya ampuun. Aku lupa banget," Nana tambah panik.
"Mending kamu cepat selesaikan sebelum Pak Husni masuk," saranku.
"Iya, Sa," Nana mengangguk.
"Hoy, buat apa ini," Robi mengejutkan kami berdua.
"Hush, Bi. Jadi kaget nih," Aku kesal.
"Duh Robi. Jangan buat aku tambah panik. Ya ampun, bikes bikes bikes" perasaan Nana semakin gelisah dan tidak tenang.
"Bikes? Apaan tuh? Bahasa planet ya Nan," Robi menertawakan Nana.
"Bikin kesel, ih ih ih, dasar Robi," Nana mengetuk penanya ke meja dengan kesal.
"Nana kerjakan saja. Jangan hiraukan Robi."
Robi tertawa terbahak-bahak, "Sorry ya Sorry," Robi tersenyum.
10 menit kemudian, bel tanda masuk berdenting. Pak Husni datang dengan gagahnya. Seluruh siswa masuk kelas dan ketua kelas memimpin siswa lain untuk berdoa.
"Siiaap! Beri salam"
"Assalamu'alaikum warohmatullahi wa barokatuh,"ucap seluruh siswa.
"Wa'alaikumsalam wa rohmatullahi wa barokatuh," jawab Pak Husni.
"Sebelum mulai belajar, mari kita berdoa terlebih dahulu sesuai agama dan kepercayaan masing-masing. Berdoa, mulai." Beberapa menit kemudian, "Selesai."
*****
Tet.. Tet.. Tet.. Bel tanda istirahat berbunyi. Semua siswa menyerbu kantin dengan perut lapar.
"Sa, ke kantin yuk. Aku mau bakso Kang Aseo nih."
"Aku lagi malas kekantin, Na. Kamu pergi sendiri saja ya. Aku mau ke perpus dulu. Mau cari novel terbaru," Aku tersenyum.
"Yah, Sa. Ndak asik tau. Aku maunya dengan kamu. Ya ya ya," Nana membujuk.
"Tidak mau, Sayangku," Aku mencubit pipi Nana. "Aku ke sana dulu,Nan" Aku berdiri dan meninggalkan Nana sendiri dengan penuh semangat.
Setiba di perpustakaan, tanpa basa basi, aku langsung mengincar rak tempat buku baru diletakkan. Dengan cekatan, ku ambil semua. Tak terasa sudah 6 buku yang ku dapatkan hingga tanganku terasa pegal saat membawanya. Karena terlalu sering meminjam, aku diperbolehkan meminjam semua dengan jangka waktu 5 hari. Perasaan bahagia tak dapat tertahan hingga aku tak memperhatikan langkahku lagi dan aku," Aduh. Eh maaf. Aku tak sengaja, maaf" dengan nada lirih. Aku menabrak seorang laki-laki yang sedang berdiri menghadap lapangan.
"Iya, tidak apa-apa," Ia mengambilkan buku-buku yang berserakan.
Aku benar tak tau dia siapa karena baju yang dipakainya benar-benar bukan seragam siswa di sini. Karena merasa bersalah, aku hanya tertunduk dan meninggalkan dia. Sampai di kelas, aku dihadang oleh Ina dan kawan-kawan.
"Woy bocah. Kamu mau cari gara-gara ya dengan kami," Ina meninggikan kepala.
"Maaf, maksud kalian apa ya?" Aku bertanya dengan perasaan takut.
"Tak perlu cari muka di depan Dj ya. Dia itu calon pacar aku, eh salah. Dia itu pacar aku. Kalo kamu melakukan hal yang sama dengannya lagi, ku hajar kamu," Ina mengancam dengan nada tinggi.
"Iya, maaf aku tak sengaja tadi," Aku menunduk.
Mereka pergi tanpa pamit. Aku heran ada apa dengan lelaki itu. Apakah dia artis? Atau dia orang yang memiliki popularitas tinggi? Namun, biarlah. Mungkin karena novel,aku menjadi ceroboh.
"Sa, kamu tidak apa-apa kan?" Nana mencemaskanku.
"Loh, ada apa, Nan? Kenapa kamu khawatir? Aku tak apa-apa," Aku tersenyum.
"Aku dapet gosip kilat yang membicarakan kamu dengan Dj," Nana menjelaskan dengan mata melotot.
"Oh, lelaki yang ku tabrak tadi. Udahlah, tak perlu dibahas, Nan. Lagian itu karena aku yang ceroboh."
"Jadi benar yang dikatakan mereka? Ya ampun, Sa. Beruntung banget sih kamu. Andai saja aku jadi kamu. Tak akan kusia-siakan bisa bertatap langsung dengannya," Nana berharap.
"Hush, kamu apa-apaan sih tembem," aku mencubit pipi Nana.
"Jarang sekali dia ke sekolah kita, Sa. Mungkin aku akan memberikan kue buatanku kalo berkesempatan bertemu dengannya," harapan tinggi Nana.
"Nana, emang siapa sih dia? Alay banget kamu. Makin kamu berharap makin gemes aku lihatnya."
"Kamu tak tau, Sa? Astaga. Cowok seperti dia kamu tak tau. Duh, bener-bener putri cinderella banget kamu ya. Dia itu anak dari pemilik sekolah ini. Termasuk lelaki cool yang pintar. Sering juara pada lomba olimpiade, pemain terbaik futsal putra antar SMA, dan yang lebih waw. Dia itu sudah punya rumah makan sendiri. Laris dan enak banget makanan di sana. Duh, aku jadi lapar, Sa."
"Iih, Nana. Bukannya tadi baru selesai makan. Diet kamu bisa gagal kalo makan terus. Hm, beruntung banget ya jadi dia. Tapi dah, aku tak peduli. Aku mau memulai membaca novel yang ku dapat hari ini. Aku dapet pinjaman 6 buku, Nan. Luar biasa banget."
"Yah, Sa. Novel mulu. Makannya jadi kapan? Kamu belum makan dari tadi. Aku khawatir nih," Nana memelas.
"Kamu khawatirkan aku atau kamu mau makan lagi, Nan?" Aku meledek Nana.
"Dua-duanya, Sa," Nana tertawa.
"Bentar lagi masuk. Nanti pas pulang, kamu makan deh puas-puas. Oke!"
"Yah, Sa. Lama banget itu. Sekarang ya?" Pinta Nana.
"Kamu makan sendiri ya. Aku mau menikmati imajinasiku dengan novel ini," Aku tersenyum sambil membuka lembaran novel.
Tet.. Tet.. Tet.. beberapa menit lagi waktu istirahat telah selesai. Harap siswa/siswi untuk masuk kembali ke kelas masing-masing.
"Yah, Nan. Bel sudah berbunyi," Nana kecewa.
*****
Mendengar Sasa bertemu dengan Dj, Robi merasa kesal. Tapi tak tau karena apa. Dia berusaha menghilangkan pikiran tersebut dengan bermain game. Namun hatinya makin gelisah.
Ya ampun, Sa. Kenapa bisa terjadi seperti ini. Aku tak tau apa yang terjadi denganku sekarang. Kamu terus saja ada di pikiranku, gumamnya dalam hati.
Kriing.. kriing.. handphone Robi berdering.
"Hallo, ayah ada apa?
"Nak, kamu di mana? Ayah sudah di depan rumah. Bukakan pintunya. Ayah capek nih," Ayah mengeluh.
"Bentar, Yah." Robi menutup telpon dan berlari menuju ruang tamu. "Ayah, apa kabar? Aku kangen dengan ayah." Robi memeluk ayah dengan erat.
"Ayah baik. Kamu lihat sendiri ayah sehat-sehat sajakan. Bagaimana kamu sendiri? Dan kemana ibu?" tanya Ayah.
"Ibu kerja, Yah. Kemarin pulang sebentar. Mungkin beberapa hari lagi ibu pulang."
"Belum selesai juga? Duh ibu kamu itu. Nih ayah bawakan oleh-oleh yang ayah janjikan. Ada kue, kripik sama, nih sambelnya. Enak banget. Coba kamu cicip juga. Pasti suka," Ayah tersenyum.
"Nanti Robi cicip, Yah. Ayah bersih-bersih dulu saja, Robi bantu beresin bawaannya. Dan Yah, bisakah kita habiskan waktu bersama besok. Aku ingin memancing bersama ayah," Robi berharap.
"Besok Ayah harus kembali ke proyek. Nanti ayah sesuaikan dengan jadwal ayah ya, Nak."
"Oke, Yah," Robi tersenyum.
Selesai masak, Robi menghidangkannya untuk dimakan bersama Ayah. Dia mencoba masak udang asam manis yang diajarkan oleh Pak Sutan.
"Wah, enak sekali, Rob. Kamu mulai bisa masak karena siapa? Ibu mengajarkanmu ya?" Ayah kagum dengan masakan Robi.
"Robi hanya mencoba, Yah. Melihat resep yang ada di internet. Enak ya, Yah?" Robi bertanya dengan wajah bahagia.
"Iya, Nak. Enak banget. Ayah bisa kangen dengan masakanmu kalo enak seperti ini." Ayah tersenyum.
Kriing.. kriing.. Suara handphone ayah berdering.
"Bentar, ya Nak." Ayah mengangkat telpon. "Hallo, ada apa? Hah? Kamu harus pantau terus. Jangan sampai lolos. Wah, bisa bahaya nih. Tapi saya baru sampai. Hm, nanti pesankan tiket untuk saya."
"Ada apa, Yah? Ada masalah di proyek?" Robi mulai khawatir.
"Iya, Rob. Sepertinya ayah harus berangkat sore ini. Ada yang harus ayah selesaikan."
"Jadi kapan kita bisa bersama, Yah?" Robi melirih.
"Nanti kita jadwalkan bersama ya. Ayah janji," Ayah tersenyum.
Robi membantu Ayah berkemas dengan hati yang pilu. Namun, apa daya, ia hanya berharap ayah akan baik-baik saja dan cepat untuk pulang.
"Hati-hati ya di rumah. Jangan nakal, Nak. Ayah sayang kamu," ayah memeluk Robi dengan erat.
"Ayah cepat pulang ya," Robi berharap.
*****
"Pak, hari ini aku yang coba masak ya," tawar Robi.
"Boleh. Emang kamu sudah bisa, Bi?" Pak Sutan mengejek.
"Bisa donk, Pak. Aku belajarnya dari koki terbaik loh," Robi tersenyum.
"Boleh. Tapi bapak cicip dulu."
Saat Robi memasak, Pak Sutan asyik menonton berita yang ada di tv.
"Hayo pak, asyik menonton saja. Nanti bapak lupa kalo ada pelanggan di depan sana," tegur Robi.
"Bapak tau, Nak. Ini ada kecelakaan pesawat jadi bapak penasaran."
"Terjadi kecelakaan di Gunung Gergaji, Papua. Penerbangan ini menggunakan pesawat Mimika Air Penerbangan 514 dengan jumlah korban tewas sebanyak sepuluh orang. Berikut nama-nama korban tewas,.."
"Rob, coba lihat. Bukannya bapakmu berangkat dengan pesawat ini?"
"Aah, bukan kali, Pak."
Kring.. kriiing.. kriiing.. handphone Robi berbunyi.
"Hallo. Iya, dengan saya sendiri..." Robi berusaha menahan air matanya yang mulai mengucur deras. Kabar duka menimpanya. Dia hanya bisa duduk terdiam dengan duka yang perih. Orang yang ia bahagiakan di detik-detik terakhir pergi meninggalkannya. Air mata tak berhenti mengalir dari kelopak matanya. Hanya penyesalan yang timbul dibenaknya karena tidak bisa memberikan yang terbaik sebelum ayah pergi.
"Sabar ya, Nak. Bapak turut berduka cita," Pak Sutan berusaha menghibur.
"Iya, Pak. Terima kasih," jawabnya dengan tersenyum.
Tubuhnya berubah lemas dan pandangannya menjadi kosong. Remuknya hati karena belum bisa menerima kepergian ayahnya yang begitu cepat.
*****
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Rob, aku turut berduka cita ya. Semoga amal ibadahnya diterima di sisi Allah. Kamu yang tabah ya," Nana menghibur.
"Rob, jangan bersedih terus seperti ini. Nanti kamu sakit. Doakan saja semoga ayahmu bahagia di sana," Aku tersenyum membujuk.
Robi dalam kondisi terpuruk. Semua keluarga mulai berdatangan, namun ibunya masih belum kembali.
"Kamu sudah telpon ibumu, Rob?" Om Rizal bertanya dengan wajah cemas.
"Hmm," Robi menggeleng kepala.
Siang menjelang, rumahnya makin ramai berdatangan. Polisi pun ikut mencari kabar keberadaan jenazah ayah. Suara sirine sirih berganti berdengung di kepala.
"Pak, sepertinya mayat akan sampai sebentar lagi. Mohon untuk menunggu," Pak Polisi memberitahu kabar terbaru pada Om Rizal.
"Iya, Pak. Terima kasih atas infonya," Om Rizal tersenyum.
"Sa, kamu belum mau pulang. Sudah mulai sore nih. Nanti orang tuamu mencari kamu," Robi bertanya dengan nada cuek.
"Aku akan ikut sampai takziah. Tadi sudah ku beritahu Mama," Aku tersenyum.
"Kalo Nana?"
"Nana akan pulang sebentar lagi. Dia akan dijemput."
Matahari melambai-lambai meninggalkan langit cerah. Suara kebisingan, satu per satu mulai hilang. Hanya doa dan suara yasin yang terdengar di telinga. Aku ikut membantu Tante Maya menyiapkan makanan untuk para tamu yang datang.
"Sa, tolong ambilkan bungkusan plastik yang ada di dekat lemari," Tante menunjuk lemari yang dimaksud.
"Iya, Te."
"Kamu teman dekatnya Robi? Pacarnya ya?" Tante tersenyum sambil menyusun kue di piring.
"Bukan, Te. Sasa hanya teman dekat Robi saja. Bukan pacarnya," Aku tersenyum malu sambil membantu Tante.
"Kamu tidak dicari orang tuamu ya sampai malam seperti ini. Kamu itu perempuan, apa lagi ini di rumah laki-laki," Tante mulai khawatir.
"Tidak apa-apa, Te. Sasa sudah beritahu Mama tadi dan Sasa hanya ingin membantu meringankan beban Robi. Sasa belum pernah melihat Robi sesedih ini. Sasa khawatir Te dengan kondisinya, ditakutkan ia akan sakit."
"Iya, Sa. Robi dari kecil paling dekat dengan Ayahnya. Saat ada proyek di luar kota, waktu bersama mulai tidak ada, dan jarang pulang. Hiburlah Robi, mungkin kamu bisa melakukannya," Tante tersenyum.
"Iya, Te. Nanti Sasa lakukan," Aku tersenyum.
"Ini taruh di depan sana. Setelah selesai takziah, kamu oper saja. Nanti Om Rizal yang mengambilnya"
"Iya, Te."
Suara bacaan Yasin berkumandang dengan merdu. Ku lihat Robi masih saja diam dan tak ada semangat. Wajahnya masih murung, terlihat suram di matanya. Aku membujuknya untuk makan namun tidak ada respon.
Jam menunjukkan pukul 20.30 wib. Aku pamit untuk pulang. Tiba-tiba Robi datang menghampiriku.
"Sa, mau diantar pulang? Aku akan mengantarmu," Robi tersenyum kecil.
Aku kaget dan benar-benar senang melihat senyumannya itu. Wajah yang kusam terlihat mulai pudar. Aku hanya bisa mengangguk dengan tawaran kecil Robi yang masih duka.
Saat di motor, tak ada obrolan yang asyik. Dia masih terdiam. Jalan yang biasa dilewati sedang di tutup sehingga kami memutar dengan jarak yang cukup jauh untuk sampai ke rumahku. Langit tiba-tiba mendung dan gemuruh datang. Robi melaju dengan cepat. Di jalan raya, hujan mulai turun dengan angin kencang. Baju kami basah dan kami memutuskan untuk berteduh sejenak menunggu hujan berhenti.
"Sa, terima kasih untuk hari ini karena telah menghiburku," Robi tersenyum.
"Iya, Rob. Aku juga senang melihatmu bisa tersenyum seperti ini. Aku tau memang sulit jika ditinggal orang yang kita sayangi, namun kita harus sadar bahwa semua ini akan musnah. Berusahalah untuk ikhlas agar ayahmu bisa tenang di sana," Aku membujuk Robi dengan tenang.
"Iya, Sa. Akan aku coba. Dan, boleh aku mengatakan sesuatu?"
"Apa Rob?" Aku mulai penasaran.
"Kita telah berteman cukup lama. Ku sadari bahwa aku terlihat egois dari yang lainnya namun kamu masih bisa sabar menghadapiku. Aku sangat bersyukur memiliki teman sepertimu. Aku ucapkan terima kasih ya, Sa."
"Sama-sama, Rob. Sebagai teman harus berbuat baik ke semua orang. Aku berusaha menjadi teman terbaikmu. Namun, kamu sih masih saja menduakanku dengan game. Awas ya sekali lagi seperti itu," aku tertawa kecil.
Udara semakin dingin, aku merasa kedinginan. Robi yang saat itu mengenakan jaket, langsung memberikannya padaku.
"Pakailah. Nanti kamu sakit pula," Robi memberikan jaketnya padaku. Aku mengangguk dan ku pakai.
Hujan mulai berhenti, kami melanjutkan perjalanan hingga sampai di rumah.
"Sa, rumahmu beneran di sini?" Robi bertanya dengan perasaan kaget.
"Iya, Rob. Ini memang rumahku. Ada apa?" Aku penasaran.
"Tidak apa-apa. Maaf sudah buat kamu pulang malam. Aku pamit dulu," Robi tersenyum.
"Iya, Rob. Hati-hati di jalan," Sambil melambaikan tangan.
Ternyata Papa Sasa adalah Pak Sutan. Mereka sudah banyak menolongku. Aku tak tahu harus berbuat baik seperti apa pada keluarga ini, gumamku dalam hati.
*****
"Hy, Sa," Nana menyapa.
"Hy juga cantik. Senang sekali hari ini. Ada apa?" Aku penasaran.
"Coba tebak, hari ini hari apa?"
"Hari kamis. Emang ada apa?"
"Duh, Sa. Kamu juga lupa. Hari ini adalah hari ulang tahunku. Kamu lupa ya?" Nana cemberut.
"Happy birthday cayangku. Duh, ternyata makin tua temanku ini," Aku tertawa.
"Eh, Sa, bagaimana Robi? Hari ini sekolahkan?"
"Iya. Dia akan datang, mungkin sebentar lagi," Aku tersenyum.
Tak lama kemudian, Robi datang dengan membawa wadah bekal yang ia pegang.
"Hay. Apa yang kalian lakukan? Cerah banget mukanya" Robi datang dengan penasaran.
"Nana, Rob. Dia ulang tahun hari ini."
"Ulang tahun? Happy birthday Nana. Btw, kalian sudah sarapan pagi ini?"
"Sama-sama, Rob." Nana tersenyum. "Tadi minum air putih saja. Aku buru-buru, takut telat"
"Aku sudah tadi. Pagi ini Mama masak nasi goreng."
"Aku bawa makanan hasil masakanku sendiri. Tolong dicoba. Aku mau tau komentar kalian."
"Rob, kalo ini tugas perut aku. Akan ku bantu menghabiskannya," Nana tersenyum.
"Yee, Nana. Maunya," Aku tertawa.
"Gimana, Nan? Sa?" Robi penasaran.
"Enak, Rob. Srius, jadi ningkat nih nafsu makanku," Nana bersemangat.
"Enak, Rob. Aku suka," Aku tersenyum.
"Alhamdulillah, terima kasih teman," Robi tersenyum.
Robi mulai bangkit dari kesedihannya. Aku senang melihatnya seperti ini. Semoga saja hatinya tidak terluka lagi dan bisa bahagia kembali seperti dulu lagi, Aku berharap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pejuang Malam
Short StoryKisah seorang pelajar yang memiliki kehidupan serba ada. Namun, keadaan menjadi berbalik ketika ibunya mulai "bekerja". Disaat terpuruk, ia ditemani oleh dua sahabat yang menemaninya. Apa yang dilakukan ibunya? Dan apa yang terjadi padanya saat ibun...