Bagian 4

2 0 0
                                    

Seperti biasa, aku pergi ke sekolah berjalan kaki. Aku tidak mau menuntut banyak dari orang tuaku. Cukup mereka dapat menyekolahkanku saja sudah senang. Saat menyeberang, tiba-tiba ada mobil yang menghampiriku.
"Kamu mau sekolah? Mau aku antar?" Dj datang tanpa diduga-duga dengan menawarkan tumpangan.
"Maaf, kalo tidak salah kamu yang waktu itu aku tabrakkan?" Aku penasaran.
"Belum seminggu kamu sudah lupa. Iya, ini aku. Dj."
Tiba-tiba aku teringat dengan ancaman Ina.
"Sepertinya tidak perlu, Dj. Terima kasih banyak," Aku menghindar dari tawaran Dj.
"Ayolah, sekali ini saja," Dj meyakinkan.
"Iya deh, tapi sampai depan pagar saja. Jangan sampai ke parkiran ya."
"Iya," Dj tersenyum.
Aku masuk ke dalam mobil dengan perasaan yang tidak nyaman.
"Pagi ini cerah ya," Dj memulai basa basi.
"Iya," jawabku singkat.
"Kabarnya, kamu menjadi siswi berprestasi di sekolah. Apakah kabar itu benar?"
"Tidak juga," cetusku.
"Hm, iya deh."
"Kamu turuni aku sampe depan sana saja," aku menunjukkan tiang listrik depan pagar sekolah.
"Oke," Dj tersenyum. "Selamat belajar, Sa."
"Iya."
Aku langsung menuju ke kelas dengan langkah yang cepat.
Kira-kira aku salah gak ya? Duh, bodohnya aku. Cari gara-gara saja bisa bareng dengannya. Ya Allah, semoga tak terjadi apa-apa, harapku dalam hati.
Tiba-tiba Robi sedang berdiri di depan pintu kelas.
"Tumben kamu pergi bareng dengan Dj? Apa kamu mulai dekat dengan dia?" Robi bertanya dengan cetus.
"A a aku hanya bertemu dia di jalan saat aku berangkat ke sini. Emang ada ap?" Aku gugup.
"Tidak apa-apa. Masuklah, nanti ada guru. Nanti dianggap telat pula."
"Iya, Rob."
Ada apa ya dengan Robi? Tumben dia bersikap seperti itu. Apa dia tidak suka aku bareng dengannya? Aah, mungkin perasaanku saja, gumamku saat duduk dimejaku.
*****
Pulang sekolah tiba, Robi menghampiriku dengan tergesa-gesa.
"Sa, kamu mau kemana?" Tanya Robi dengan nada sesak.
"Eh kamu, ada apa? Aku tak apa-apa ko'," jawabku dengan khawatir.
"Katakan saja kamu mau kemana," Robi memaksa.
"Aku cuma mau pergi ke toko buku saja. Ada apa Rob?" Aku bertanya dengan kecurigaan.
"Dengan siapa? Akan aku antar. Kamu mau?" Robi tersenyum.
"Eh, kamu ada apa? Aku bisa sendiri. Duh, aku jadi ngrepotin nih," Aku merasa tidak enak dengan tawaran Robi.
"Gak apa-apa, Sa. Aku ambil motor dulu ya. Kamu tunggu di pos satpam saja. Oke?" Robi tersenyum.
"Iya," Aku tersenyum.
Berangkatlah Robi dengan Sasa ke toko buku. Di sana, Sasa banyak memilih novel-novel yang ada dipajangan. Ia terpikat dengan novel "Koala Kumal" yang ditulis oleh Raditya Dika.
"Bagus juga ni novel. Menurutmu, Rob?"
"Bagus, Sa. Ada komedinya juga. Pasti tidak bosen bacanya."
"Iya sih. Aku juga suka. Aku penasaran dengan isinya. Kita beli yang ini saja ya," Aku tersenyum bahagia.
Sasa pun langsung ke kasir untuk membayar novel yang diinginkan. Robi berjalan-jalan melihat buku-buku yang dipajang. Tak lama menunggu, Sasa sudah dilayani oleh mbak kasir.
"Buku ini saja mbak? Kalo mbak mau, ada pena faber castel mbak yang sedang promo. Mbak mau?" Tawar kasir.
"Tidak, Mbak. Terima kasih," aku tersenyum.
"Ini mbak bukunya. Terima kasih,"
"Ini mbak uangnya," Kuberikan uang kepada kasir.
"Tidak perlu mbak. Pembelian mbak sudah ada yang membayarnya," kasir tersenyum.
"Siapa mbak? Saya tak kenal siapa. Mbak terima saja uang saya," aku sambil menyodorkan uang.
"Tidak perlu mbak. Pembelian mbak sudah lunas. Silahkan kembali lagi nanti," sapa kasir.
"Hm, iya deh mbak. Terima kasih kembali," Aku dengan nada bingung.
Sasa pun menghampiri Robi.
"Sudah belanjanya?" Robi bertanya.
"Iya sudah. Rob, aku mau tanya. Kamu tadi ke kasir tidak?"
"Tidak, Sa. Ada apa?" Robi penasaran.
"Tadi saat aku di kasir, mbaknya tidak mau menerima uang pembayarannya. Katanya sudah ada yang bayar. Aku bener-bener tidak tau Rob siapa dan maksudnya apa. Karena kita berdua saja yang ke sini dan tidak ada orang lain yang tau kalo aku ada di sini. Ku pikir kamu yang membayarnya."
"Bukumu sudah dibeli. Doakan saja yang terbaik untuk orang yang telah membayarimu," Robi menghibur.
"Iya, Rob." Aku mengangguk.
"Yuk pulang. Aku lapar," keluh Robi.
"Karena kamu sudah menemaniku ke sini, yuk kita makan bareng. Nanti aku yang bayar," Aku tersenyum.
"Repot amat cantik. Sudahlah. Aku bisa masak sendiri di rumah. Aku juga bingung mau makan apa kalo harus beli."
"Ayolah. Jarang juga aku bisa traktir kamu, Rob."
"Iya deh. Tapi pesanannya samakan saja denganmu."
"Oke."
Kami mengunjungi rumah makan padang yang ada di pinggir jalan. Letaknya tak jauh dari toko buku. Jadi kami pilih berjalan kaki untuk sampai ke sana. Kami makan bersama dan sempat bercanda gurau hingga kami lupa waktu. Waktu menunjukkan jam 16.30 wib, Robi mengajakku untuk pulang.
"Bu, berapa total bayarannya?" Aku bertanya sambil menyodorkan uang ke kasir.
"Tak perlu, Nak. Yang kalian makan itu gratis. Tadi ada orang yang telah membayar makanan kalian," Bu kasir tersenyum.
"Ada yang bayar? Orang yang bersamaku itu bu?" Aku penasaran.
"Bukan, Nak," Ibu menggelengkan kepalanya.
"Oke. Terima kasih,Bu." Aku tersenyum.
"Sama-sama, Nak."
Aku menghampiri Robi dan menceritakan apa yang aku alami.
Siapa ya, atau jangan-jangan Dj lagi, gumam Robi dalam hati.
"Rob, ada yang kamu pikirkan?" Aku bertanya sambil melambaikan tangan di depan mukanya.
"Oh Sa, tidak ada. Aku heran saja. Yuk pulang. Nanti tambah sore lagi," Robi mengalihkan pembicaraan.
"Iya, Rob," aku mengangguk.
Sesampai di rumah, aku beres-beres dan makan malam bersama dengan mama.
"Sa, tadi ada orang yang mengirimkan paket buatmu. Mama taruh di atas lemari. Coba kamu lihat."
"Paket? Aku tak memesan paket, Ma."
"Coba kamu periksa. Kalo bukan untukmu, nanti kembalikan saja ke alamat yang ada di paketnya," Mama memberi saran.
"Oke,Ma."
Selesai makan, aku langsung meriksa paket yang Mama maksud. Sebuah kotak biasa dan ku lihat tidak ada nama pengirimnya. Hanya namaku yang ada di paket tersebut. Ku buka secara perlahan. Betapa terkejutnya bahwa isi kotak adalah bunga dan surat.
Dear Sasa,
Hi, ingatkah perjumpaan awal kita yang tak ku duga. Seorang wanita cantik telah datang padaku d iwaktu yang tepat. Setelah kamu menabrakku beberapa hari yang lalu, wajahmulah yang selalu ku ingat.
Bagaimana hari ini? Ku lihat kamu terlihat senang sekali. Aku benar-benar tak menyangka pula akan satu mobil denganmu. Aku harap kamu bisa tersenyum seperti ini.
Aku tak dapat menahannya lagi. Perasaanku tumbuh karena kamu, Sa. Aku harap, kamu bisa datang ke cafeku, jam 15.00 wib di lantai atas. Aku tunggu kehadiranmu.
Aku tak menyangka akan mendapat hal seperti ini. Berulang kali ku lihat bunga mawar yang ada di kotak untuk memastikan bahwa ini bukan mimpi. Perasaanku campur aduk, benar-benar tak dapat diungkapkan secara pasti. Hari ini adalah hari yang penuh kebahagiaan yang kurasakan.
*****
Malam pun tiba, Robi bergegas menemui Pak Sutan.
"Assalamu'alaikum, Pak," Robi menyapa.
"Wa'alaikumsalam. Tumben Rob kamu telat datang?"
"Maaf, Pak. Tadi Robi menemani teman ke toko buku dan pulangnya kesorean. Jadi telat gini Pak. Maafkan saya, Pak," Robi menunduk dengan perasaan bersalah.
"Ia, tak apa, Rob. Lain kali jangan diulangi lagi. Bisa-bisa rejekimu bisa diambil orang," Bapak menyindir.
Malam ini sangat melelahkan. Banyak pelanggan yang datang dan jadwal tutup menjadi lebih cepat. Namun Robi masih memikirkan Sasa.
Aku benar-benar penasaran dengan orang yang telah membayar semua keperluan Sasa hari ini. Apakah ini perbuatan Dj atau hanya kebetulan belaka? Semoga Sasa baik-baik saja, gumam Robi dalam hati.
"Rob, ada yang kamu pikirkan? Bapak lihat kamu sedang tidak fokus hari ini," Bapak terheran.
"Aku mencemaskan temanku, Pak. Hari ini hari yang aneh. Semua yang ia beli, ternyata ada orang lain yang telah membayarnya, namun belum diketahui siapa orang itu."
"Coba kamu telpon dia untuk memastikan keadaannya malam ini," Bapak memberi saran.
"Aku tak mampu, Pak. Aku benar-benar malu untuk melakukannya. Dia orang yang sangat baik. Aku tak pantas untuk bersamanya apa lagi sampai menelponnya," Robi menunduk.
"Bapak boleh tanya, kamu suka dengannya?"
"Kalo jujur, aku suka, Pak. Namun sepertinya aku tak pantas karena dia wanita yang baik. Aku belum bisa seperti dia. Mungkin dia akan lebih pantas dengan yang lain," Robi menjawab dengan nada lirih.
"Kamu jangan seperti ini, Nak. Usaha dulu. Bapak lihat kamu orang yang baik. Jangan takut. Kamu itu belum pede."
"Duh, Pak. Apakah mungkin dia menerimaku?"
"Ya bisa saja. Hati bisa menentukan yang terbaik untuk dirinya. Yang penting kamu sudah usaha," Bapak memberikan dorongan.
"Iya, Pak. Akan aku usahakan," Robi tersenyum.
*****
"Tugas kita nanti saja ya dikerjakan. Aku ada acara siang ini."
"Emang acara apa, Sa?" Robi bertanya dengan penuh kecurigaan.
"Iya, Sa. Biasanya kamu sendiri yang niatan banget untuk selesai cepat," Nana menyindir.
"Ada deh. Oke! Besok saja ya kita selesaikan. Aku pergi dulu. Bye," Aku melambaikan tangan dan meninggalkan mereka.
"Sasa aneh ya, Rob."
"Iya," aku mengangguk. Aku harus tau apa yang terjadi pada Sasa, gumam Robi dalam hati.
Aku pun beranjak pulang ke rumah dan bersiap-siap untuk bertemu Dj. Aku sangat penasaran apa yang akan dia lakukan.
"Kamu mau kemana?"
"Aku cuma keluar bentar, Ma. Nanti jam 5 sore, aku pulang."
"Iya. Hati-hati, Sa."
"Iya, Ma," Aku mengangguk.
Saat sampai di cafe,  aku langsung masuk tanpa basa basi. Pada saat naik, ruangan nampak sepi dan gelap. Aku langsung menemui kasir untuk menanyakan keadaan di lantai atas.
"Mbak yang bernama Sasa? Sini mbak. Ku antarkan mbak ke tempat yang telah dipesan untuk mbak."
Aku hanya mengangguk dengan wajah bingung. Ku ikuti kasir tersebut dan aku ditempatkan di suatu ruangan yang cukup hening.
"Mbak duduk di sini saja."
"Iya, terima kasih," aku tersenyum.
Tak ada yang istimewa di tempat ini. Hanya aku dan suara dentingan jam yang menemaniku saat ini. Ku lihat jam berulang kali untuk memastikan bahwa aku tidak salah waktu. Waktu berjalan, aku mulai bosan menunggu. Tiba-tiba, seseorang datang dengan pakaian hitam. Aku tak tau itu siapa. Jantungku tiba-tiba berdetak tanpa henti. Aku takut berada di sini. Aku beranjak pergi dari tempat dudukku. Saat aku ingin pergi, lelaki tersebut menghentikanku.
"Tunggu. Jangan pergi. Aku sengaja mengajakmu untuk kemari. Duduklah dan kita akan mengobrol sebentar," Dj datang dengan lantang.
Aku hanya bisa menganggukkan kepala dan kembali duduk.
"Maaf jika aku terlambat. Aku hanya menunjukkan bahwa aku benar-benar bosan seperti ini. Ya, aku bosan menunggu. Sama sepertimu yang menungguku tadi."
"Maksudnya Dj? Aku benar-benar tak mengerti dengan sikapmu ini."
"Sa, jujur. Aku telah menyukaimu. Benar-benar menyukaimu saat kita pertama kali bertemu. Ku cari info tentangmu dan ku ikuti semua aktivitasmu. Aku hanya berharap kita bisa bersama. Lucu ya kalo aku berkata hal seperti ini padamu. Namun, aku benar-benar ingin bersamamu. Aku bisa terima keadaanmu dan aku harap, kau bisa menjadi pacarku. Maukah kamu untuk itu?" Dj mengungkapkan perasaannya dengan penuh harap.
"Apa? A a aku pasti salah dengarkan," Aku terkejut mendengar penjelasan dari Dj.
"Aku serius, Sa. Aku tak pernah mengatakan hal ini sebelumnya pada wanita lain."
"Bagaimana dengan Ina. Dia sangat mencintaimu. Kenapa kamu tak bersamanya saja."
"Ina? Cabe-cabean itu. Kamu pernah diancamnya? Aku belum pernah ngobrol bareng dengannya seperti ini. Dan aku sangat tidak suka dengan tingkah lakunya. Anak SMA tapi manja. Kamu itu wanita yang sangat spesial. Aku tak mau salah memilih wanita," Dj merayu.
"Dj, maaf. Aku tak bisa jawab sekarang," Aku menunduk.
"Oke. Jangan lama-lama ya. Aku beri waktu 3 hari. Aku akan menunggumu," Dj tersenyum.
"Iya, dan maaf ya. Aku lupa mengajakmu makan. Mari ke meja ini. Kita makan bersama,"
"Iya, Dj," aku mengangguk.
*****
"Kamu habis ditembak oleh Dj, Sa?" Robi bertanya sambil melotot.
"Ke kenapa kalian beranggapan seperti itu? A aku belum ditembak Dj. Dapat Info dapet dari mana, Rob?" Aku sangat kaget mendengar hal itu.
"Sudahlah, Sa. Tak perlu banyak tanya. Info ini sudah tersebar luas. Bahkan kamu dalam bahaya. Banyak orang yang mulai mencari tau tentangmu dan membencimu."
"Apa salah aku? Aku tak bermaksud membuatnya jatuh hati padaku."
"Sasaaa.. kamu beneran dengan Dj?," Nana datang dengan nada sedih.
"Ada apa, Nan? Kenapa sedih?"
"Kamu tega ya. Diam-diam kamu mencintainya. Aku benci kamu, Sa. Ku pikir, kamu akan mengerti aku."
"Yah, nih bocah. Nangisnya tak kunjung habis," Robi meledek.
"Robii.. aku beneran ni. Dan untukmu Sa. Maaf aku tak bisa terima kamu jadi temanku," Nana menggerutuk.
"Nana, dengarkan aku dulu."
"Sudahlah, Sa. Cukup sampai di sini. Aku tak sudi denganmu lagi," Nana meninggalkan mereka berdua.
"Jujur, aku belum beritahu jawaban ke dia. Aku masih meminta waktu untuk menjawab itu. Aku tidak sepenuhnya salahkan, Rob?"
"Kamu pikirkan sendiri. Kamu yang bisa memilih karena ini menyangkut kehidupanmu. Maaf, Sa. Aku tak mau ikut campur." Robi menunduk dan meninggalkan Sasa sendiri di kelas.
*****
"Ada apa, Nak? Mukamu tambah kusut. Ada masalah di keluarga?" Tanya Pak Sutan dengan penasaran.
"Bukan, Pak. Wanita yang Robi suka telah berpacaran dengan orang lain. Aku sangat kecewa. Ku kira dia akan menjomblo sama sepertiku."
"Emang beneran sudah pacaran? Sudah mendengar jawaban langsung darinya?"
"Sudah dan dia cuma bilang kalo hanya ditembak saja. Dianya belum menjawab atas tembakan itu, Pak."
"Berarti masih ada peluang untukmu, Nak. Begini saja, kamu berusaha menjadi yang terbaik saja. Ya kalo dia jodohmu, dengan sendirinya dia akan datang padamu. Namun jika bukan, jangan terlalu banyak berharap. Takutnya kamu akan menyesal sendiri."
"Semoga saja, Pak ada jalan yang terbaik untuknya dan untukku," Robi tersenyum.
"Yuk kita bersihkan mejanya. Nanti tambah malam. Bapak mau tutup cepat hari ini. Karena cuaca buruk."
"Iya, Pak."
*****
Karena pergi cepat, Robi lupa membuat sarapan. Ia putuskan untuk membeli sepiring nasi uduk. Saat makan, Robi melihat Dj dan kawan-kawan sedang asyik ngobrol di sudut kantin. Tak sengaja terdengar obrolan mereka.
"Kamu ini," Dj tertawa.
"Eh Dj, serius nembak Sasa?" Arif bertanya.
"Iya seriuslah. Apa yang tidak bisa aku lakukan. Kalian harus tepati janji kalian kalo aku berhasil," Dj mendongakkan kepala.
"Kami akan menepati janji kami asal kamu menggandeng Sasa di hadapan kami. Dan 1 lagi, kamu benar-benar menunjukkan ekspresi dengan ciuman. Aku akan menambah hadiah taruhannya. Gimana?" Rio menantang.
"Oke. Aku akan melakukannya. Aku tak takut dengan tantangan kalian." Dj mengangguk.
Robi sangat kaget dengan hal tersebut. Dia mengurungkan diri untuk menghabiskan makanan yang ia beli. Dia benar-benar tidak rela jika itu terjadi padaku. Ia buru-buru ke kelas untuk menemuiku dan mengatakan yang sebenarnya.
"Sa, kamu sudah menerima cinta Dj?"
"Belum, ada apa, Rob?"
"Syukur deh kalo belum. Maaf ya, aku tak bermaksud mengusik atau menghasutmu. Namun kalo kamu mau tau, ternyata kamu hanya dimanfaatkan sebagai taruhan teman-temannya Dj."
"Tau dari mana kamu? Jangan ngomong yang bukan-bukan deh."
"Ya ela, emang aku punya wajah pembohong? Aku tadi ke kantin dan melihat dia dengan teman-temannya yang membicarakan tentangmu. Kalo kamu mau tau, dia itu hanya ingin memenangkan taruhan dengan objek taruhannya kamu, Sa. Taruhannya yaitu menjadikanmu menjadi pacar dan dia akan menciummu di depan teman-temannya."
"Ah, tak mungkin, Rob. Pasti kamu salah. Cukup, aku tak mau bahas ini."
"Oke, Sa. Tak apa kalo kamu tak mau mendengarkanku. Aku hanya peduli padamu dan sayang padamu. Maaf membuatmu tidak nyaman," Robi menunduk.
"Iya. Tidak apa-apa."
*****
Keesokan harinya, Aku datang ke acara ulang tahun cafenya. Di sana aku dianggap sebagai putri dengan pelayanan yang spesial. Saat aku duduk, Dj datang dan menatapku dengan tatapan gembira.
"Sa, terima kasih sudah datang. Aku sangat senang sekali kamu bisa menyempatkan waktu untukku."
"Iya, Dj. Sama-sama."
"Yuk, kumpul dengan teman-temanku di sana."
Dari kejauhan, teman-teman Dj memandangi Dj yang membujukku.
"Lihat Dj, benar-benar pintar merayu wanita."
"Kita lihat saja nanti, apakah ia akan menjalankan taruhan itu atau tidak."
Aku dan Dj berkumpul dengan teman-temannya.
"Guys, kenali. Calon pacar baru aku. Aku benar-benar tidak menyangka bisa bertemu kamu, Sa."
"Calon? Belum kamu nyatakan cinta padanya, Dj?"
"Belum secara resmi. Hari ni aku akan menembaknya secara resmi dan disaksikan oleh kalian di sini. Sa, aku tak tau harus berkata apa lagi. Hatiku sudah bulat memilihmu. Tak lagi harapan dengan wanita lain. Kau bagai tulang rusuk yang dapat melengkapi diriku. Maukah kamu menjadi pacarku?" Dj memegang tanganku dengan mesra.
"A aku.. aku.."
"Ayolah, Sa. Terima saja," sorak teman-temannya.
"Aku mau menjadi pacarmu," aku tersenyum malu.
Mata Dj berbinar senang dan aku juga bahagia. Namun, saat aku sedang menatapnya, tiba-tiba dia mendekatku dengan jarak yang dekat dan tangannya merangkul pundakku dengan tatapan mata yang mendekati wajahku.
Tpaak, tamparan keras yang aku lakukan padanya. Seketika suasana menjadi hening. Aku dan Dj menjadi sorotan utama pengunjung yang datang.
"Maaf, Dj. Aku mau kita putus. Aku tak mau dipermainkan seperti ini." Aku pergi meninggalkannya dikeramaian orang.
Mukaku merah karena malu dan sedih. Aku hanya bisa menangis di sepanjang perjalananku. Tiba-tiba di pinggir jalan, aku diklakson sebuah motor.
Tiin.. Tiin... Motor Robi menyelipku.
"Sa, kamu kenapa menangis? Kamu pulang sendiri. Sini aku antar," tawar Robi.
"Iya. Terima kasih," aku menjawab dengan singkat.
Tak ada obrolan panjang yang aku lakukan dengannya. Aku merasa bodoh. Aku lebih percaya pada orang yang baru ku kenal ketimbang orang yang dekat denganku.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam. Sa, kamu baru pulang dan kenapa wajahmu sedih," mama dengan nada cemas melihat kondisiku yang murung.
"Tidak apa-apa, Ma." Aku masuk ke rumah tanpa pamit lagi dan meninggalkan yang lain.
"Robi? Jadi kamu temannya Sasa. Kenapa tidak beritahu bapak selama ini."
"Maaf, Pak. Sengaja aku lakukan biar surprise."
"Rob Rob. Kamu ini."
"Aku pamit pulang dulu, Bu, Pak. Assalamu'alaikum." Robi tersenyum.
"Wa'alaikumsalam," jawab kompak mereka.
"Loh, Pa. Kenal Robi dari mana?"
"Dia itu pegawai papa sekarang. Awalnya ia hanya membantu, karena papa menganggap dia anak yang baik, papa terima saja ia bekerja. Ayahnya meninggal beberapa hari yang lalu, dan ibunya tidak ada kabar."
"Kasian sekali hidupnya. Kita tolong saja, Pa. Mama kasihan dengannya."

Pejuang MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang