Bagian 2

5 0 0
                                    

8 hari sudah, Robi sendirian di rumah. Tak ada kabar yang jelas dari ibu. Ayahnya hanya tau kalo ibu pergi bekerja. Robi sempat menelepon ibu berkali-kali, namun hanya pesan suara yang didapatinya.
Maaf ya. Ibu masih sibuk. Nanti kalo sudah selesai, ibu akan pulang secepatnya. Oh ya, kalo kamu mau dibelikan sesuatu, kabari ibu ya, nanti ibu belikan. Hati-hati ya di rumah.
Pesan singkat yang diterima Robi selama menelpon ibunya. Tak ada kata lain yang ia dapatkan. Kesendiriannya membuat ia kesal atas yang ia rasakan. Hanya game yang ada di gadgetnyalah yang menjadi teman penghibur dikala sendiri.
Karena hidupnya sepi, ia agak terkenal pendiam. Terkadang emosinya tinggi walau tak ada sebab apa pun. Akhir-akhir ini, ia sering bolos sekolah. Tugasnya menumpuk karena tidak dikerjakan. Banyak temannya yang mengkhawatirkannya. Hingga akhirnya Aku dan Nana mencoba mencari tau tentang keadaan Robi saat ini.
Ting tong, Assalamu'alaikum. Bel berbunyi membuat Robi penasaran dengan tamu yang datang kerumahnya.
"Assalamu'alaikum," salamku.
"Robi, Robii..," panggil Nana.
"Assalamu'alaikum. Rob, Roob," panggilku.
"Sepi amat ni rumah. Kalo malam, terlihat serem ni rumah," Nana menggeleng kepala.
"Hush, jangan berkata yang bukan-bukan. Mungkin Robi ada di dalam, kita tunggu saja sampai dia keluar," Aku mencoba berpikir positif.
Tak lama kemudian, Robi pun keluar dari samping rumah sambil bermain game di gadgetnya.
"Wa'alaikumsalam. Ada apa kalian kesini?" Robi bertanya dengan tatapan yang masih asyik dengan gadgetnya.
"Di kelas main game, di kamar main game, belajar main game, guru sedang menjelaskan, kamu main game, dan lagi berjalan pun kamu masih main game," Nana kaget sambil geleng kepala.
"Jangan dibiasakan, Rob. Nanti kesehatanmu bisa terganggu," sergahku.
"Hush.. aku yang main tapi kalian yang ribut. Ayo jawab pertanyaanku tadi. Ada apa? Sampe ke rumahku segala," Robi bertanya sambil asyik dengan gadgetnya.
"Kamu kenapa tidak masuk sekolah? Banyak guru dan teman-teman menanyakan tentangmu," Aku menerangkan pada Robi.
"Ooh.. ada lagi?" Robi kembali bertanya namun matanya masih asyik dengan gadgetnya.
"Hah? Hanya itu jawabmu, Rob? Ada apa sih denganmu?" Nana heran.
"Tidak apa-apa," Robi menjawab dengan santai.
"Hm.. kamu masih sendirian di rumah? Ibumu belum pulang, Rob?"
"Emang kenapa?" Robi menjawab dengan nada tinggi.
"Aku cuman nanya, Rob. Iiih.. sensi banget," aku cemberut.
"Kalo tak ada lagi yang dibahas, aku masuk dulu."
"Loh, ceritanya kami diusir, Rob? Waah.. kelewatan kamu, Rob," Nana agak marah.
"Yaa.. aku cuman kasih tau saja. Bukan marah,"Robi dengan mata yang melirik Nana.
"Aku jadi malas karenamu, Rob," Nana semakin emosi.
"Kita pulang saja, Nan. Maaf Rob kalo kamu merasa terganggu atas kehadiran kami. Maaf. Kami pamit dulu ya. Assalamu'alaikum,"
"Pulang saja sana. Wa'alaikumsalam," Robi membalas dengan nada cuek.
"Robii.. awas kamu ya. Lihat saja di kelas nanti,"Nana geram.
*****
"Bentar ya, saya masuk dalam rumah. Assalamu'alaikum..", Ibu memberi salam sambil telponan dengan seseorang.
Ibu pulang dengan kondisi yang tak rapi. Bajunya kusut dengan rambut yang terikat tak sempurna. Karena banyak kerjaan, semua tak terkendali. Ibu hanya mengejar target pencapaian prestasi yang diselenggarakan oleh atasannya beberapa hari yang lalu. Bergadang menjadi makanan tiap hari sehingga ibu putuskan untuk tidak di rumah agar lebih fokus.
"Oke, Pak. Saya setuju. Untuk konfirmasinya, nanti saya hubungi kembali. Selamat sore," Ibu menutup percakapannya ditelpon.
Tak ada yang menjawab. Keadaan rumah terlihat sepi sayup. Tak ada suara berisik yang terdengar. Makin ke dalam, makin hening. Ibu beranjak menuju kamar Robi untuk melihat kondisinya. Tiba di depan pintu kamar, ibu buka pintu dengan perlahan. Terlihat Robi terbaring dikasur dengan keadaan yang kurang baik.
"Ibu sudah pulang?" Robi melirik Ibu dari jauh.
"Kamu sudah bangun, Rob? Kamu lapar? Ni ada roti. Ibu taruh di meja makan ya," Ibu bergegas meninggalkannya. Tiba-tiba, ibu kembali dan berkata,"o ya, nanti malam, Ibu akan ada pergi makan malam dengan teman ibu. Jadi, kamu makan sendiri dulu malam ini ya."
"Hmm" Robi menghela nafas.
"Ibu beres-beres dulu ya."
Beberapa menit kemudian.
"Roobiiii.. apa yang kamu lakukan di rumah ini!! Semua tak terurus. Piring pecah, karpet bau, tanaman mati, pakaian menumpuk, dan foto ibu, kenapa pecah. Apa kamu mau jadi anak brandalan ya? Robii.. sinii," jeritan Ibu benar-benar meluap ketika melihat keadaan rumah yang begitu berantakan.
"Iya. Ada apa bu?" Robi bertanya dengan lirih.
"Kamu masih sempat-sempatnya bertanya dalam keadaan seperti ini. Sini gadgetmu," Ibu membentak dengan keras.
"Jangan, Bu. Jangaan," lirih Robi dengan lemas.
Ibu mengambil gadget yang ada dikamarnya dan seketika meninggalkan Robi di dapur. Robi hanya merintih kesakitan dan sedih melihat ibunya seperti itu. Beranjaklah Robi untuk menyelesaikan pekerjaan rumah yang telah telantar selama beberapa hari. Langkahnya tertatih-tatih. Pikirannya tak fokus, namun tetap dia selesaikan.
*****
Beberapa hari yang lalu, Robi beraktivitas seperti biasa. Masak, mencuci, menyiram tanaman, hingga berbelanja ia lakukan. Ia tak mau menghabiskan uang di rumah makan. Namun karena kondisi badan yang lemah membuatnya mudah letih. Kondisinya tetap ia simpan dengan kecuekannya. Hari demi hari, kondisi badannya makin melemah. Ia sempat berobat sendiri dengan uang seadanya di puskesmas. Ia hanya didiagnosa demam dan pusing biasa oleh dokter. Tak ada gejala lain yang membuat terjangkit penyakit lain.
"Kamu perlu banyak istirahat. Jangan terlalu banyak pikiran. Ini saya beri resep obat. Nanti diminum 3x sehari ya," Dokter memberi nasihat pada Robi.
Langkah kaki menuju rumah ia lalui dengan duka. Badannya masih lemah hingga terik matahari menjadi saksi perjuangannya menuju gubuk tercinta. Matanya berkunang-kunang, semua terlihat seperti bayangan.  Dari kejauhan ada laki-laki yang berlari dihadapannya. Ia menabrak Robi dan mengambil dompet yang ada di sakunya. Robi terjatuh dan tidak sadarkan diri.
"Rob, Rob.. banguun..," Aku mencoba membangunkan Robi.
"Aku di mana? Sa, ko' kamu ada disini?" Robi terbangun dari pangkuanku.
"Kamu tadi pingsan di jalan. Kamu dari mana? Mukamu pucat sekali," Aku risau melihat Robi.
"Aku tak apa-apa. Tadi hanya berobat saja," Robi tersenyum.
Karena aku khawatir dengan Robi, aku mengantarkannya sampai rumah. Di perjalanan, sesekali Robi melihatku. Namun aku hanya menunduk. Aku tak tau apa yang ada dipikirannya namun aku ingin ia sampai di rumah dengan selamat. Di rumah, ia sempat mengecek barang bawaannya dan tersadar bahwa dompetnya dicopet oleh seseeorang yang menabraknya tadi. Wajah Robi terlihat sedih walau ia telah berusaha menahannya. Di saat itu, betapa terkejutnya aku melihat Robi yang memiliki watak cuek namun kini sedih pilu. Aku tak tau apa yang harus ku lakukan, namun aku berusaha menghiburnya.
"Bagaimana kalo hari ini aku yang masak untukmu. Kamu istirahat saja di sini," aku tersenyum.
"Tapi, kamu capek. Duh, aku jadinya tidak enak nih," Robi merasa malu.
"Biasa saja, Rob. Aku tidak tega melihatmu seperti ini. Aku kebelakang dulu ya," aku meninggalkan Robi di ruang tamu.
Robi terlihat bahagia setelah makan makanan yang aku masak. Wajahnya benar-benar ceria, tidak seperti biasanya.
"Kamu mulai sekolah saja besok. Kalo kelamaan, bisa-bisa kamu dapat surat panggilan lagi," aku membujuk Robi.
"Dapat surat panggilan atau kamu kangen ya dengan aku?" Robi meledek.
"Eits, kamu ini. Aku beneran, Rob," aku meyakinkan.
"Iya, Sa. Nanti aku sekolah besok,"Robi tersenyum.
Aku pun pulang dan meninggalkan Robi sendiri.
"Semoga Robi tidak apa-apa," gumamku.
*****
Selain minum obat, Robi berusaha menghilangkan sakitnya dengan bermain game. Tak ada gambaran muka sakit atau keluhan padanya. Hanya harapan untuk dapat berkumpul dengan orang tua tercinta. Karena kejadian kemarin, dia bingung mau belanja apa. Stok makanan habis. Hanya merenung apa yang harus dilakukan. Status pelajar tidak bisa dibohongi dan mungkin akan sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Karena ia sedang butuh uang, ia mencoba untuk berkeliling di sekitar rumahnya.
Panas terik membuat bajunya basah dan kulit putihnya mulai tampak kusam. Ia duduk terdiam di sebuah bangku halte.
"Ternyata sulit juga mencari pekerjaan," gumamnya. Dari kejauhan, terlihat ada seorang bapak tua yang mendorong gerobak. Gerobak tersebut tidak berjalan karena ada batu yang menghalangi. Robi menghampiri bapak tersebut dan membantunya.
"Terima kasih, Nak," ujar bapak.
"Iya, pak. Sama-sama. Kenapa bapak tidak dibantu oleh anak bapak? Kalo sendirian, bapak bisa kesulitan. Cukup berat gerobak ini untuk didorong, Pak," jawab Robi dengan penasaran.
"Anak bapak perempuan satu orang. Ia masih sekolah. Bapak tidak tega kalo dia ikut membantu bapak. Biar dia fokus dengan sekolahnya dan bapak akan berjuang untuk menyekolahkannya hingga kuliah nanti," bapak tersenyum dengan harapan yang besar.
"Kalo boleh tau, ini gerobak berisi apa? Seperti ada rangkaian tenda, pak," Robi penasaran.
“Gerobak ini berisi perlengkapan untuk berjualan pecel lele, Nak. Bapak mau berjualan di simpang sana," sambil menunjuk pinggir jalan di sudut jalan.
"Saya bantu sampai sana ya pak. Jadi bapak tidak kesusahan," Robi tersenyum.
"Iya, Nak. Terima kasih. O ya, nama kamu siapa? Dan sekarang kamu mau kemana?" Bapak bertanya.
"Saya Robi, Pak, mau mencari pekerjaan. Saya ditinggal ibu saya yang sedang bekerja. Uang yang diberikan habis untuk makan dan sempat kecopetan kemarin pak. Jadi sekarang saya harus mencari uang selagi Ibu tidak ada. Sekaligus mau hidup mandiri, Pak," ujar Robi yang lelah sambil mendorong gerobak. "Kalo Bapak sendiri namanya siapa?" Robi bertanya.
"Panggil saja Pak Sutan. Kalo kamu mau, kamu ikut bapak saja. Lagian bapak sendirian juga jualannya," Bapak menawarkan pada Robi dengan senyuman.
"Yang benar, Pak?" Robi menjawab dengan wajah kaget. "Kapan pak saya mulai kerja?" Robi bertanya dengan nada senang.
"Hari ini pun bisa. Itu pun kalo kamu mau," jawab bapak dengan riang.
"Terima kasih, Pak. Malam ini saja mulainya. Namun, bolehkah saya minta makan dulu,pak? Dari tadi saya belum makan. Tapi kalo bapak tidak mengizinkan juga,tidak apa-apa. Maaf terlalu lancang, Pak," Robi meminta dengan penuh harap.
"Boleh saja. Namun bapak ingin kamu benar-benar melakukan tugasmu," Bapak mengingatkan Robi.
"Oke, Pak," Robi tersenyum.
Dengan semangat, Robi melakukan semua pekerjaan yang bisa ia lakukan. Mulai membantu memasang rangkaian tenda, perlengkapan jualan, hingga membersihkan ikan pun ia lakukan. Setelah membersihkan ikan, Pak Sutan memberikan ia sepiring nasi dan ikan goreng. Saat itu, Robi benar-benar merasakan nikmatnya sepiring makanan hasil perjuangannya sendiri. Dengan lahapnya, ia menghabiskan semua isi piring yang disajikan. Hanya tulang ikan yang menjadi penghias terakhir yang ada dipiring Robi.
"Pak, aku sangat berterima kasih. Sekali lagi terima kasih. Mungkin aku akan kelaparan jika tidak bertemu bapak tadi," Robi tersenyum dengan mata berkaca-kaca.
"Sama-sama, Nak. Yuk kita lanjutkan kerjaannya lagi. Tuh ada pembeli," Bapak tersenyum sambil menghampiri pembeli.
Mereka berjualan hingga tengah malam dan Robi benar-benar melakukan tugasnya sampai akhir. Betapa berat pekerjaan yang ia lakukan hari ini. Namun, kegigihannya tak menjadi surut untuk melangkah terus ke depan. Berharap mendapatkan uang sebanyak-banyaknya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya selama ditinggal orang tuanya.
*****
Sesampai di rumah, Papa mengetuk pintu. "Assalamu'alaikum," ucap Bapak memecah keheningan malam.
Tak lama, seorang gadis membukakan pintu.
"Wa'alaikumsalam, iya Pa." Aku datang menghampiri Papa yang berdiri di depan pintu.
"Kamu belum tidur, Nak?"
"Belum, Pa. Alhamdulillah, jualan hari ini laris ya, Pa," Aku merapikan barang-barang yang ada di gerobak.
"Iya, Nak. Alhamdulillah. Hari ini juga ada anak laki-laki yang mau membantu Papa berjualan. Lumayan bisa bantu dia yang sedang ditinggal orang tuanya kerja," Papa menjelaskan semua apa yang terjadi hari ini.
Robi? Apa yang bapak maksud Robi  sekelasku ya? Aah, aku jadi penasaran, gumamku dalam hati.
"Papa rehat dulu ya, Sa. Tolong kamu selesaikan ini," Papa meminta tolong padaku.
"Iya Pa," Aku mengangguk.

Pejuang MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang