Kesan Pertama

54 2 0
                                    


“Mata kuliah apa sekarang?” cowok super keren itu menghampiri kami yang sedari tadi sibuk mengagumi dirinya dari kejauhan.
Aku tertegun ketika mata kami bertatapan.

“Habislah aku!” batinku. Seketika aku teringat. Kemarin, aku bertemu dengannya. Gazebo Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu Oleo menjadi saksi bisu aksi konyolku terhadapnya. Ingat itu, rasanya malu tingkat dewa.

-------

Akhir-akhir ini, kampus tempat aku menimba ilmu jua pengalaman, mengadakan pertukaran mahasiswa antarnegara.

Mataku berbinar pada orang asing, apalagi yang rada ke-oppa-an. Meski bukan artis, pun orang penting. Maklum, kampungan. Ditambah, tahun ini lagi booming-nya K-Pop di tanah air.

Sekarang, trennya mata sipit dan tubuh proposional. Yang warna kulitnya kuning langsat atau sawo matang harap minggir dulu ---bukanrasis

Minimal pamer foto bareng di sosmed. Yah, hal itulah yang menjadi incaranku.

“Annyeonghaseo!” sapaku tanpa ragu. Pria yang kumaksud, awalnya fokus mengutak-atik iphone miliknya, lantas mengerutkan kening begitu menyadari hawa mencekam dariku.

“Maaf, saya tidak pandai berbahasa Korea.”

Gubrak!!!!!!!!!!!!. Dunia serasa kiamat. Ia tersenyum tipis. Sesaat aku menikmati senyum manisnya itu. Kemudian tanpa ba bi bu, aku langsung pamit. Sebelumnya, aku meminta maaf. Lalu lari sekuat tenaga ke toilet. Mukaku memanas, rasanya ingin kukubur wajahku ini ke tanah yang dalamnya sepuluh meter selama-lamanya. Saking senangnya tadi, pikiranku malah jadi pendek.

“Bagaimana kalau dia ke-pedean? Bagaimana kalau dia cerita ke teman-temannya? Bagaimana kalau aku kenal teman-temannya? Bagaimana kalau aku dipermalukan teman-temannya? Ish, Tiwi! Tiwi! bodoh!!!”

yah, aku terperangkap dalam ingatan kemarin.

-------

“Matematika Kimia, Kak.” Ela mewakili. “Siapa dosennya?” tanyanya sopan.
“Pak Fahyuddin, Kak."
“Beliau pernah masuk?”
“Baru minggu lalu, Kak.” Ela sabar menjawab.

Aku menunduk, semoga dia tidak ingat.

Teman-temanku serius memperhatikan dengan seksama ukiran wajah pria itu. Dia adalah senior Pendidikan Kimia yang hendak konsul proposal ke pak Fahyuddin. sepertinya.

“Boleh masuk sebentar?” pintanya. Kami mengiyakan, lalu segera menarik kursi kembali ke dalam kelas. Ada yang berlarian ke kantin dan ada juga yang sekadar mengirim pesan singkat, menyuruh yang lain agar masuk ke kelas.

Lama kakak itu terdiam di depan meja dosen, menatap mengitari kami.

“Itu’kan...” Bento, si ketua tingkat merasa kenal dengan si kakak yang tinggiku hanya sampai di bahunya. Ceritanya pengamat.

“Tipeku nih,” bisik Gita, memotong ucapan Bento.
“Apanya?” aku merespon.
“Tinggi, cool, rapi. Aku banget!” pipinya seketika merona.
“Kakak ini mungkin asisten dosen.” Aku mengalihkan.
“Wah, kerennya jadi komplit dong!” Gita girang lagi. Aku tersenyum tipis. Entah mengapa jantungku ikut berdetak kencang. Namun, aku berusaha mengabaikan. Tidak boleh terjadi dengan mudahnya.

Lagipula dengan tampang dan pembawaan si kakak, pasti bakal repot menghadapi ‘saingan’ yang jumlahnya tidak sedikit dan berasal dari latar belakang yang WOW semua jika dibandingkan denganku yang asli desa ini. Takut bertepuk sebelah tangan pula.

Terlebih cerita di gazebo kemarin, ukh-nya kebangetan.

kalau sudah lihat cowok cakep mah, bohong kalau gak terpesona. tapi untuk kasus kakak ini, cukup kukagumi diam-diam saja.

“Mulai sekarang, mata kuliah matematika kimia dan kimia dasar II, saya yang bertanggung jawab. Semoga kalian tidak bosan ya!” ujar si kakak yang langsung dibalas dengan sorakan bahagia oleh para mahasiswi, termasuk aku. Refleks. Bosan? girang malahan.

Kakak ini tersenyum, matanya yang sipit semakin menyipit membentuk smile eyes. Membuatnya terlihat semakin manis. Kami sampai ‘meleleh’ karenanya.

“Perkenalkan nama saya Jonathan Andri, akrab disapa Jo. Kalau tidak ada pertanyaan, kita mulai saja pelajarannya!” Kak Jo mulai menulis judul di papan tulis.

Cekatan Gita mencegatnya.

“Kakak angkatan tahun berapa?” tanyanya tanpa malu-malu. Semua tercengang, tapi malah senang.
“Hmm, tidak jauh dari kalian,” pikirnya. “Status, Kak?” teriak Wahyu dari bangku belakang. Pertanyaan yang paling ditunggu-tunggu oleh setiap mahasiswi.
“Belum menikah.” Bunga-bunga di hati mulai mekar.
“Pacar?” tanya Wahyu lagi. Para cewek tahan napas.
“Saya cari istri, bukan cari pacar. Hanya calonnya belum punya.” Perempuan semakin bahagia.
“Kenapa bisa, Kak?” Wahyu terbawa suasana.
“Ehm, kenapa ya?” Kak Jo berpikir sebentar.
“Mungkin belum sempat saja mencari,” jawabnya polos. Jawaban yang terdengar kurang greget tapi imut itu membuat para gadis klepek-klepek.

Tidak seperti biasanya, hari itu kami bersemangat menjalani mata kuliah Matematika Kimia yang (tadinya) selalu menjadi momok menakutkan.

Kesan PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang