Diam-Diam

32 0 0
                                    

"Cinta pada pandangan pertama." Gita terkena virus merah jambu akut.
"Hati-hati loh, Git! sainganmu tidak sedikit," nasihatku.
"Cinta memang begitu, Tiwi. Harus diperjuangkan!" ujarnya lantas tertawa menang.

"Apanya yang harus diperjuangkan?" Bento datang memotong percakapan. Sok asyik.
"Kau mana ngerti tentang cinta," jawab Gita kecut. Curhatannya tidak jadi disambung.

Bento menarik kursi, duduk di antara kami berdua. Dia membuka tema baru. "Lain kali, jaga tata krama di hadapan Pak Jo!"
"Pak?" aku dan Gita kaget mendengar suruhan standar Bento barusan.

"Kalian pikir beliau itu teman sebaya kita apa?" serangnya.
"Aku pikir dia senior kita yang jadi asistennya Pak Fahyuddin," kataku, Gita mengacungkan jempol.
"Asisten? ngaco kalian!" ledeknya. "Makanya, rajin datang ke ruang jurusan. Pandai-pandai bergaul sama senior. Mentang-mentang mahasiswa baru. Semua orang tahu kali kalau Pak Jo itu adalah dosen termuda yang sudah punya gelar doktor di jurusan Pendidikan Kimia!" ceritanya yang ia selip dengan hinaan kepada kami.

"Dosen?" aku menganga. "Doktor?" Gita terbelalak.
"Mulai sekarang, sebaiknya turunkan level lelaki idaman kalian, karena Pak Jo jauh di atas awan!" suruhnya menekan kata 'jauh' lebih lama sambil tertawa mengejek.

Kami berdua mati kutu. Usai puas membantai kami, Bento beranjak seakan tidak terjadi apa-apa.

-------

Satu minggu berlalu. Anak-anak gempar begitu mendengar kabar 'buruk' itu.
"Selamat pagi!" Pak Jo menyapa.
"Pagi, Pak!" semua kompak menyebut kata 'pak'.
"Loh, kok 'Pak' sih?" beliau memprotes.
"Maaf atas kelancangan kami minggu lalu, Pak." Gita mewakili, Pak Jo tersenyum geli. "Tidak apa-apa. Saya lebih nyaman dipanggil 'Kakak' kok. Saya belum menikah dan belum setua itu untuk disapa 'Bapak'. Terlalu angker. Anggap saja saya senior kalian," pesannya. Aku terkesima akan perkataan Kak Jo yang lembut itu.

Mungkin bukan cuma aku. Kami sekelas merasakan hal yang sama. Detak jantungku kembali memompa cepat.
"Jangan hiraukan, Wi. Kau tidak pantas," kataku membisu.

Seketika Gita mencari sosok Bento yang duduk di kursi belakang. Ia menjulurkan lidahnya, membalas perbuatan Bento waktu itu. Seisi kelas tertawa melihat Gita yang keceplosan.

Entah mengapa, saat yang lain sibuk menertawai tingkah kedua teman kami yang o'on ini, aku malah melambungkan perhatianku ke Kak Jo. Kemarin, aku sering menunduk saat dia fokus menerangkan. Dan mulai mencuri-curi pandang ketika Kak Jo sedang menurunkan rumus di papan tulis.

Namun, segera kuurungkan niatku. Kak Jo membuang pandangan sambil memasang senyum tentunya. Aku tidak yakin kepada siapa dia berpaling. Tapi, aku jadi salah tingkah mendapati sikapnya itu. Aku malu.

-------

"Tulis diary lagi?" Gita penasaran menyaksikanku yang diam bagai patung sejak lima belas menit yang lalu.
"Untuk referensi." Aku menerangkan. "Referensi apa? Cerpen? Novel?"
"Dua-duanya," tambahku.
"Oh ya. Cerpen yang kau titip di mading kemarin jadi bahan obrolan mahasiswa gedung A ini. Plotnya sangat kena di hati cewek-cewek. Bahasanya santai, enak dibaca!" lapornya. Aku terkekeh.

"Kenapa tidak pakai nama asli saja sih? Orang-orang jadi salah paham. Mereka pikir, penulis cerpen Hidden Love Story sifatnya centil dan cerewet. Padahal, belum tahu mereka betapa kaku dan pasifnya kau." Entah kali ini Gita memuji atau merendahkanku.

"Aku bisanya cuma lewat tulisan. Takut dikritik habis-habisan pas ceritanya jelek kalau pakai nama asli." Aku meluruskan.

"Begitukah? Oh ya, belum selesai? Kita harus ke lab sekarang!" ajaknya.

"Semoga berakhir bahagia," harapku. "Apanya yang bahagia?" Gita kebingungan melihatku bicara sendiri.
"Kau dapat ilham lagi?" ia menganggapku memperoleh gagasan 'brilian' saat memergokiku bicara tidak jelas seorang diri. Aku mengangguk saja.

Kesan PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang