Cerita Pendek tentang Kesan Pertama

256 0 0
                                    

“Diaryku?!” aku gelagapan menghambur isi tas.
“Hilang?” Gita ikut was-was. Hanya anggukan yang kuberikan. Aku panik.

-------

“Woy, Tiwi! Si Bento lagi pidato catatan harianmu tuh di lab!” Eko, dari daun pintu ruang A4 menjawab pertanyaanku dengan teriakan.
“Matilah aku!!” cepat-cepat aku lari sprint menuju ke sumber antara kemarahan dan kekhawatiranku. Kursi berserakan sana-sini karena kutabrak.
“Semoga tidak ada Kak Jo! semoga tidak ada Kak Jo!” harapku tanpa henti.

“Barangkali, bisikan gaib pun tak kuasa memungkiri. Kau dan aku bagai dua pulau yang dibatasi dinding lautan luas ---seolah tak bertepi. Maka biarkanlah nuansa bening ini membangun jembatan kita berdua sebagai saksi bisu kesan pertama perjumpaan kita yang lucu. Jua mengisi lembar demi lembar sejarah dua insan yang saling melengkapi dalam sudut pandang yang tak satu padu.”

“Untukmu wahai kasih tak sampai.”

Aku tidak jadi marah ketika puisi Bento di ujung kalimat ditutup oleh tepuk tangan riuh para senior dan rekan sebaya yang kebetulan berada di situ. Aku bersyukur doaku terkabul.

Selain itu, sepertinya tiada seorang pun yang menyadari kepada siapa kutujukan penggalan cerpen yang dikira puisi oleh Bento.

Mungkin karena teman-teman tahu bahwa selama ini aku selalu menulis jalan hidup orang lain, sehingga tidak ada yang curiga bahwa kali ini aku bercerita tentang kehidupan pribadi. Untung aku orangnya kaku dan pasif.

-------

“Lumayan.” Kuputuskan mengecek nasib cerbung yang kutempel di mading tiga hari yang lalu. Aku menyesal menolak tawaran pulang bersama Gita.

“Ceritamu bagus!” suara bass seseorang yang kutandai milik siapa hampir membuat jantungku pindah tempat. “Kak!”
“Belum pulang?” tanyanya. Aku kebingungan mau menjawab apa. Padahal tinggal bilang ‘terjebak hujan’ atau semacamnya. Mulutku terasa berat untuk mengungkap. Lama aku berpikir.

“Lupa bawa payung, Kak. Bodohnya aku!”
“Tenang saja. Sekarang orang bodohnya jadi ada dua, karena aku juga lupa bawa!” ujarnya lalu tertawa.

Aku merasa tidak enak karena salah bicara. Kak Jo tidak berhenti tertawa hingga 5 detik ke depan. Kesempatan dalam kesempitan, kugunakan untuk curi-curi pandang.

“Oh ya, Kak. Kakak tahu darimana kalau saya yang menulis ini?” aku teringat sapaannya di awal.
“Lah, itu ada inisial nama lengkapmu. TLP, Tiwi Liliana Prameswari, ” jawabnya lagi-lagi polos.

Ada begitu banyak mahasiswa Pendidikan Kimia, tapi mengapa bisa?. Kak Jo penasaran-kah lalu memutuskan untuk mencari satu per satu?. Akh, mana mungkin dia peduli.

“Aku cek satu per satu di absen,” jujurnya, lebih tepatnya terlalu jujur. Aku tersentak, kemudian menunduk lagi karena malu.

“Aku suka ceritamu. Terutama di bagian kalimat ‘kesan pertama perjumpaan kita yang lucu’. Manis sekali!” pujinya. Jantungku kembali main roller coaster. Takut jika si pemeran utama pria disadari olehnya.

“Lain kali, buatlah cerita tentang ehm ... kisah cinta antara mahasiswa dan dosen. Berani tidak?” mukaku pucat mendengar usulannya.
“Ta ... Tapi, Kak. Saya belum bisa membayangkan tokoh utamanya.” Aku berkilah.
“Kamu boleh menggunakanku sebagai referensi jika perlu. Sisanya buatlah sekreatif dan seromantis mungkin. Yang penting happy ending,” idenya.

“Bagaimana?” Kak Jo sabar menunggu responku. Aku mengangguk, berat. Mencari aman.
“Semangat, Wi!” Kak Jo mengusap kepalaku.

Seandainya Gita bersamaku sekarang, aku pasti bakal digantungnya jika Kak Jo melakukan hal itu di depannya.

Kesan PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang