Teka - Teki

42 14 4
                                    

Aku dan Bang Juna cukup lama di balkon melihat pemandangan pantai.

"Itu Arka." Ucapnya sembari menunjuk Arka yang ternyata sudah berlarian di bibir pantai. Di susul beberapa orang di belakangnya.Terlihat dari balkon tempat kami sekarang.

"Kenapa mereka sudah ada di sana?" Tanyaku.

"Iya, dari tadi mereka sudah mengajakmu tapi kamu gak dengar, makanya aku samperin." Jawabnya.

"Ayo kalau mau ke sana."Terus Bang Juna.

Aku menggeleng, "Bang Juna duluan aja, aku masih mau keluarin barang dari tas, takut bajunya jadi bau apek kalau kelamaan di dalam tas." Ucapku mencari alasan.

Aku tidak tahu dimana Kenji sekarang, kemungkinan dia ada di sekitar villa ini, aku ingin mencarinya.

"Yakin sendirian di sini?" Tanyanya.

Aku mengangguk sembari berjalan masuk." Aku udah sering ke villa ini sejak kecil."

Bang Juna mengiyakan, lalu turun ke lantai bawah. Dan aku dengar lirih suara pintu tertutup.

Aku masuk ke dalam kamar. Tak kutemui tasku di atas kasur, namun barang - barangku sudah tertata rapi di meja rias dan juga pakaianku yang tersusun sejajar dengan pakaian cece di dalam lemari kayu berukuran sedang di pojok kamar.

"Pasti kerjaan cece." Ucapku lirih.

Aku langsung keluar dari kamar dan berkeliling untuk mencari Kenji, namun aku tak menemukannya.

Malah aku bertemu gadis cantik. Gadis dengan gaun berwarna kuning, rambutnya tergerai indah. Mungkin seumuran dengan cece, atau lebih tua sedikit.

Aku pertama kali bertemu dia, saat umurku kira - kira tujuh tahun. Itu juga pertama kalinya aku datang ke villa ini. Namun setelah pulang dari sini dia mengikutiku sampai di rumah.

Aku ketakutan karena aku tahu dia bukanlah manusia, walaupun parasnya cantik.

Tapi aku sudah tidak pernah melihatnya lagi setelah pindah ke Jakarta. Dan kini, aku bertemu lagi dengannya.

Dia berbalik dan menunjuk sebuah kamar di belakang tubuhnya. Orang - orang bilang itu gudang, untuk tempat barang - barang penghuni yang dulunya tinggal di sini.

Apa dia ingin mengurungku di gudang itu, atau lebih parahnya dia mau merenggut nyawaku. Kakiku gemetar. Tapi kan gudang itu terkunci. Pikirku.

Lalu gadis itu menunjuk sebuah laci di depan kamar. Ada apa di laci itu? Apakah pisau, parang, atau golok? Entahlah pikiranku mulai kemana - mana. Tapi minta tolong pun tak bisa karena aku sendiri di rumah ini.

Aku menuruti, berjalan melewati gadis itu menuju laci, kubuka semua laci satu per satu namun tidak ada yang aneh hanya ada kotak p3k, alat jahit, dan satu laci berisi sebuah kain. Aku mengambil kain itu menunjukkan padanya. Dia menggeleng.

Lalu di laci terakhir ada sebuah kunci kecil. Aku menunjukkan lagi padanya. Dia mengangguk. Apa mungkin itu kunci gudang? Pikirku. Kucoba membuka gudang itu dengan kunci yang telah aku pegang.

"Terbuka." Ucapku lirih. Tapi aku tak berani membuka pintunya lebih lebar. Hawa dari dalam pengap sekali, layaknya gudang di rumahku. Aku menoleh ke arah gadis itu.
Dia mengangguk.

"Apa aku harus masuk?" Tanyaku.

Dia mengangguk.

"Apa kau akan mengurungku disini?"

Dia mengangguk.

"Apa aku perlu menulis surat terakhir?"

Dia menggeleng.

Di Balik SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang