Kilau terakhir

39 17 3
                                    

Setelah senja berganti petang, matahari tidaklah menghilang. Hanya berada pada sisi bumi lain yang tak dapat kita pandang.

Begitu juga saat di antara kita pergi meninggalkan dunia ini, dia tidak menghilang. Namun berada pada dunia lain yang tak terjangkau oleh mata.

Duka masih menyelimuti keluarga Rena, sahabatku dari kecil. Sifatnya menjadi berubah 180 derajat sejak kehilangan Kenji, adik bungsunya. Rena dan Kenji memang tak pernah terlihat akur, namun dibalik itu, aku tahu bahwa Rena sangat menyayangi adiknya, bukan hanya Kenji tapi juga Jeno, yang tidak lain adalah saudara kembar Kenji.

Papa Rena dan ayahku adalah teman sekolah saat duduk di bangku SMA, saat aku berumur 5 tahun keluarga Rena mulai tinggal sebagai tetanggaku.

Mendengar berita duka itu, hatiku pun merasa sedih. Sifat Kenji yang ceria selalu membayangiku. Tawanya, tingkahnya, kehangatannya, dia selalu bisa menutupi segala perasaannya dengan sejuta senyuman.

Tak tega rasanya melihat keluarga Rena yang dirundung kesedihan mendalam.

Setidaknya, aku tahu jelas bagaimana rasa sakit itu. Kejadian ini mengingatkanku padanya, Lea Sevia Wijaya. Adik bungsuku, yang telah tiada.

Lembar kenangan pahit beberapa tahun lalu mulai terbuka kembali dalam ingatanku. Orang yang telah merenggut nyawa adik bungsuku kini tertawa lepas tanpa beban di luar sana.

Entah dimana dia sekarang, seseorang yang telah berumur dengan wajah sombongnya. Aku masih mengingat jelas tampang itu.

Amarahku membara, seakan darahku mendidih setiap kali mengingat kejadian itu. Orang itu, aku sungguh membencinya.

Pilihanku kuliah dalam bidang hukum bukanlah tanpa alasan. Aku ingin memasukkan orang itu kembali dalam jeruji besi. Orang yang telah merenggut nyawa adikku tanpa bertanggung jawab.

Cerita itu berawal dari sebuah hari bahagia.

Tepat di hari ulang tahun Keira ke sepuluh, kami sekeluarga pergi ke kebun binatang bersama dengan keluarga Rena. Disana Aku dan Rena bertugas mengasuh para bocah, tak terkecuali Lea yang waktu itu berumur 6 tahun. Sedangkan para orang tua bertugas menyiapkan makanan yang bertempat di taman kebun binatang.

Kami berkeliling melihat banyaknya hewan di dalam kandang mereka masing - masing, dari yang kecil hingga yang besar.

Dari pada Lea, aku lebih khawatir pada Kenji dan Keira yang sejak awal tidak mau diam, mereka berlompatan riang kesana - kemari, menggoda para binatang, menertawakan binatang yang bertingkah lucu, memberi makan binatang. Rasa ingin tahu mereka cukup membuatku lelah untuk mengatur dua bocah itu.

Jeno dan Rena berjalan bersama dengan Lea yang berada di tengah mereka. Kali ini aku sudah seperti tour guide yang merangkap baby sister.

"Cece, lihat! itu ada gajah" Ucap Lea mengarahkan telunjuknya pada sepasang gajah yang sibuk menerima makanan dari penjaga kebun binatang.

"Lea mau naik gajah?" tanyaku padanya.

Dia mengangguk.

Lea termasuk anak yang tidak mengenal takut pada apapun. Bahkan Keira saja sering membangunkannya malam - malam untuk sekedar menemani Keira ke kamar mandi. Keira bilang dia takut karena ada seorang gadis yang sering berkeliaran di rumah kami.

Aku dan Lea berada di satu punggung gajah yang sama, begitu juga dengan Jeno dan Rena. Sayangnya, petugas kebun binatang melarang Keira dan Kenji untuk dapat menaiki gajah karena saat mereka baru saja duduk pada kursi yang ada pada punggung gajah itu bersama satu penjaga, mereka berdua sudah hampir terjatuh karena terlalu banyak bergerak.

Di Balik SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang