IV. Lamaran 2

102K 8.2K 258
                                    

"Kamu daritadi kemana aja sih Na? Bunda panggilin kok gak denger,"

Aku duduk disebelah ayah, sengaja supaya tertutupi sama tubuh ayah yang besar, biar gak keliatan Hanan, deg-deg-an.

"Gini Na, Hanan kesini mau taaruf sama kamu,"

Jantungku mendadak ingin lompat, kok tiba-tiba sih?

"Kamu udah tau Hanan kan?" tanya Ummi Hanan.

Aku menggeleng, yang jelas aku tau hanya namanya saja, identitas lainnya aku tidak tau.

Ummi tampak mengambil nafas sebelum berkata, "Nama anak saya Hanan Fauzi Bakhtiar, dia kini sedang kuliah kedokteran semester 6,"

Aku yakin bang Andi akan menyoraki aku setelah bunda cerita tentang Hanan. Bang Andi kan sangat tau kalau aku pengen banget masuk FK.

Wajahku tersipu malu ketika Hanan menatap wajahku sambil tersenyum ramah. Bisa-bisanya dia membuat aku salting.

Orang yang tadi sedang tersenyum kearahku memperbaiki posisi duduknya, wajahnya berubah menjadi tegang, "Om..." katanya pada ayah.

Ayah menaikkan kedua alisnya sembari berkata, "Iya?"

"Maaf saya lancang." ia menarik napas lalu mengembuskannya, "Saya suka sama Naura,"

Hng.

Aku hanya bisa diam sambil menahan semburat merah di pipi. Badanku sih diam, tapi hatiku sangat bergejolak.

"Kalau Om mengizinkan, saya ingin mengkhitbah Naura."

Sekarang juga, Nan?

Tapi kan aku masih pengen sekolah.

Kalau setelah aku lulus kuliah sih ayo aja.

"Gimana dek?" tanya Ayah.

"Tapi kan, aku pengen sekolah tinggi,"

"Memangnya kalau sudah menikah gak bisa sekolah tinggi?"

Aku diam tidak menjawab pertanyaan bunda.

Aku akhirnya membuka mulutku secara perlahan, "Nanti aku pikirin lagi,"

Hanan mengangguk sambil memasang wajah tersenyum, ia memang selalu begitu, wajahnya tidak pernah redup akan senyum.

"Baiklah," katanya.

"Maaf ya Nan, Nana anaknya emang gini, masih kekanak-kanakan," bunda meminta maaf pada Hanan.

"Gapapa bu, mungkin dia kaget saya datang tiba-tiba," ujar Hanan. "Nanti kalau Nana udah punya jawaban, ibu boleh menelpon saya,"

Bunda kelihatan bingung, "Nomornya?"

Hanan mengeluarkan ponsel kemudian melakukan sebuah panggilan pada bunda.

Ponsel bunda berdering, tanda tanya jelas terlihat di wajah bunda, "Kok kamu punya nomor saya?"

"Saya dapat dari Nana, Bu,"

Aku menggeleng. Kapan coba aku memberi nomor bunda pada dia? Ngobrol aja gak pernah.

"Jangan kaget dulu Na hehe, saya tau nomor bunda lewat guru saya, ustadz Halim," Hanan menjawab sebuah pertanyaan yang ada di otakku. Dia seperti bisa membaca pikiran orang saja, ah~

Oh iya, dia kan minta nomor bunda lewat ustadz Halim. Duh, aku kok bisa lupa gini sih.

Habis itu aku pamit untuk ke kamar, tidak enak rasanya jika harus mengobrol dengan laki-laki yang bukan mahrom-ku, ya walaupun disana ada bunda sama ayah.

Pangeran Surgaku✔ [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang