Kopi hitamku sudah dingin. Sisa hujan dan malam mendinginkan lebih cepat dari seharusnya. Aroma tanah basah bercampur dengan sisa aroma kopi samar-samar yang tercium, menemaniku yang masih betah berlama-lama di sebuah kedai kopi pinggran kota.
Sebuah kedai kopi kecil dengan interior khas rumah jawa, dengan alunan musik akustik yang melantun lirih bersama tawa pengunjung yang bisa dihitung dengan jari tangan saja. Menenangkan sekaligus menyenangkan.
Sebatang rokok masih melekat di permukaan bibir. Asap putih tipisnya menerobos liar mencari ruang yang lebih luas, kemudian bergabung bersama angin malam yang mendadak berhembus kencang menuju arah selatan. Menerobos sisa-sisa hujan yang dulu pernah menjadi simfoni pengiring dongeng cinta yang tak pernah dapat aku wujudkan. Menyesal? Tak perlu menyesal. Sesalku tak mungkin membuat waktu berjalan mundur. Mengembalikan semua seperti sediakala. Seperti bodohku pada cinta yang menenggelamkanku.
Belum genap satu jam aku duduk di kedai kopi ini, mataku sudah beberapa kali melihat ke arah sebuah taman, letaknya berhadapan langsung dengan tempatku menyenderkan tubuh di sebuah bangku kayu lusuh. Siluet manusia dengan perawakan tubuh tegap, masih saja duduk di sebuah ayunan reot tak terawat, dekat pohon cemara kipas. Sudah tiga hari ini, ia selalu duduk di tempat yang sama dan waktu yang sama. Entah apa yang sedang ia lihat. Entah apa yang sedang ia cari. Tampaknya ada banyak pertanyaan yang sedang aku cari tahu tentang siluet manusia yang kini menyita perhatianku bersama tari-tarian bulir air surga yang kembali menghentak, berdenting. Senada namun tak pernah seirama.***
Aroma kopi mocca merambat perlahan menggelitik dinding-dinding indera penciuman. Pria di hadapanku membawanya beberapa detik lalu bersama lirih denting hujan.
"Sampai kapan kau akan terus berteman sepi?" Ucapnya sambil menyandarkan punggungnya pada sebuah sandaran bangku kayu panjang. "Sampai pelangi datang menjemputmu malam ini? Seperti dongeng penghantar tidur yang sering kau ceritakan?" Lanjutnya. Menirukan ucapanku yang biasa aku ucapkan ketika ia bertanya tentang pertanyaan yang sama. Selalu sama. Aku hanya bisa terkagum-kagum dengan manusia dihadapanku. Senyum tipis tersayat di bibir, namun ia hanya membalas dengan membuang muka ke sebuah taman yang sedari tadi aku perhatikan diam-diam. Hilang. Mataku memburu. Bayangan manusia itu hilang. Malam ini ia tak hadir di taman itu.***
Kakiku melangkah ke arah taman. Rasa penasaran semakin membesar, memenuhi rongga otakku seharian tadi. Siapakah manusia itu?
Ada seseorang di sana. Di ayunan reot dekat pohon cemara kipas yang tak begitu jauh dari arahku sekarang. Seorang laki-laki dengan kemeja putih dan celana pendek putih. Wajahnya tertutup bayangan ranting-ranting pohon yang menjadi siluet karena tersorot lampu taman yang lebih rendah.
Badannya tegap. Dadanya bidang. Rambutnya pendek, nyaris plontos. Otot-otot terbentuk jelas dari lengannya yang kencang. Begitu juga dengan rahangnya. Khas lelaki jantan. Bayangan tentang tubuhnya tergambar jelas di otakku yang masih berusaha menerka manusia seperti apa dia; Manusia? Apa benar dia manusia? ...
Kakinya menyentuh tanah. Juga bersepatu.
Adakah hantu yang bersepatu dan kakinya mampu menyentuh tanah? Dari cerita-cerita yang sering aku dengar, tak pernah ada hantu yang dideskripsikan demikian. Apakah ia hantu modern? Ataukah hanya manusia biasa yang sedang menelanjangi malam?
Aku mencoba menepis ragu. Memberanikan diri mendekati sesosok pria yang menyita seluruh perhatianku beberapa hari lalu. Memastikan dengan pasti, kalau apa yang aku pikirkan salah. Bukan hantu, atau makhluk dari dimensi lain seperti yang aku pikirkan selama ini.
"Apa kau berfikir juga kalau aku adalah hantu?"
Sebuah suara mengisi ruang kosong sedang alam ciptakan. Bersaing dengan gesekan ranting-ranting yang tengah melantunkan melodi alam. Desis angin yang saling bertabrakan.
"Apa kau tahu apa yang sedang aku pikirkan saat ini?"
"Sangat mudah membaca pikiran-pikiran manusia seperti kalian. Hampir semuanya sama." Ucapnya berdiri lalu bersiap pergi.
"Hari ini hujan sepertinya tidak turun. Atau mungkin bidadari-bidadari di atas sana sedang plesiran ke sebuah tempat hingga melupakan kota ini. Kota yang sudah hampir beberapa hari ini selalu di guyur hujan."
Aku memandangi pria berwajah teduh yang kembali duduk tenang di bangku taman. Wajahnya tenang. Matanya kilat-kilat bersinar. Tak pernah aku lihat mata indah itu sebelumnya.
Lintang di atas sana masih berpendar riang. Terang. Kerlipnya manja. Bagai sepasang mata yang terus saja mengerlingkan matanya. Menggoda. Meminta di jemput untuk diajak berpesta pora. Begitu juga dengan bulan malam ini. Tak lagi separuh. Sudah tampak mendekati bundar sempurna. Dan awan kelabu? Ada sebagian yang hendak ikut berpesta. Sisanya, awan putih yang berarak bersama kumpulan bintang gemintang.
"Hujan tetap akan datang malam ini. Tapi nanti. Setelah pelangi itu datang. Menjemputku pulang"
Aku nyaris tertawa. Pelangi? Tak ada pelangi malam ini. Dan tak akan pernah ada. Hanya dongeng penghantar tidur yang sering aku dengar dari Bapak ketika aku berumur lima tahun.
"Kamu yakin sekali"
"Karena aku mengetahuinya. Bukan karena aku yakin"
Aku mengangguk mencoba mengerti kata-katanya. Meski sebenarnya tak pernah mengerti dengan apa yang ia ucapkan.
Pelangi? Di malam hari? Oke, anggap saja dia sedang bernostalgia, mengulang dongeng penghantar tidur sepertiku dulu.
Aku menarik nafas panjang. Memandangi sudut-sudut taman remang.
Udara dingin perlahan menyekap. Rasa penasaranku kepada pria yang selama ini manarik perhatianku selama beberapa hari ini, rasanya cukup sampai disini. Obrolan konyolnya membuatku menarik kesimpulan, kalau pria itu termasuk golongan 'orang aneh' .
Baru satu jam tadi, aku membatalkan janjiku bersama pria yang biasa menemaniku di kedai kopi. Berbohong, kalau aku ada urusan mendadak. Ada sedikit penyesalan, kenapa sekarang aku berada disini bersama pria aneh dengan pakaian serba putih dan dongeng pelanginya
"Baiklah, anggap saja aku percaya. Salam saja untuk pelangimu itu."
Aku berdiri meninggalkan pria aneh yang masih saja mendongakan kepalanya ke arah langit, dengan mulut yang terus bergumam. Membacakan ayat-ayat pemanggil hujan. Komat-kamit seperti dukun yang tengah mengobati pasiennya yang terkena teluh dan dikirimkan oleh entah siapa.
Jam sudah hampir menunjukan pukul satu pagi. Sudah terlalu larut untukku. Mataku sedikit berat. Ada beban yang menempel di kelopak mataku. Berat sekali.
"Tunggu" Ucapnya pelan. Samar-samar. "Pelangiku datang"
Aku menghentikan langkahku. Antara yakin atau melangkah pulang. Aku mencoba mendongakan kepalaku ke arah langit malam yang menggelepar hitam. Mengikuti caranya.
Ada segurat warna tipis di antara hitam. Samar-samar. Warna-warna yang aku kenal. Tujuh macam warna yang pernah Bapak ceritakan.
Me-ji-ku-hi-bi-ni-u. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Pelangi.
Mulutku tak berhenti berdecak. Kagum. Pelangi itu ada. Pelangi ini nyata. Malam ini.
"Kau benar, pe-la-ngi itu —" kalimatku terputus. Cahaya terang mendadak menyilaukan mataku. Putih neon. Tubuh pria di hadapanku bercahaya. Menyala.
Sepasang sayap dengan bulu-bulu putih mengepak-ngepak perlahan. Menyapu lantai tanah kering. Membuat sebagian debu berterbangan. Pekat. Untuk kedua kalinya aku berdecak kagum. Untuk kedua kalinya aku menelan ludah.
Wajah teduh di hadapanku perlahan mulai tampak. Terlihat jelas, meski sekilas. Senyumnya menenangkan. Wajahnya bersinar. Matanya menyala. Bajunya masih sama. Kemeja putih dengan lengan yang di gulung hingga siku. Celana pendek putih dengan sepatu kets putih yang senada. Ada aroma mawar segar di antara cahaya yang terus menyembul keluar.
Ada banyak arti di balik senyum itu.
Tubuhnya terangkat perlahan. Semakin meninggi bersama kepakan sayapnya. Kakinya sudah berada jauh dari tanah. Tubuhnya seolah ringan melayang dan menghilang bersama pelangi di malam ini.
Untuk ketiga kalinya aku berdecak. Kagum. Hingga jarum-jarum cair yang tumpah perlahan dari langit, jatuh menemaniku sendiri. Di taman ini.
Hujan. Ia menepati janjinya, hujan datang setelah dia dan pelangi di malam ini pergi.
YOU ARE READING
Pelangi Di Malam Hari
Short Storysekali lagi, hujan menyeretku kedalam ruangan penuh kata-kata