2*

98 6 1
                                    

"Oh, Guanlin. Sudah sarapan?"

Guanlin mengangkat kepala dan mendapati Nicholas Azilan, ayah (Namakamu), sedang menuruni tangga. Pria berusia pertengahan empat puluh itu tampak gagah seperti biasanya walaupun uban sudah bermunculan dari rambutnya yang setengah rontok. Kepandaian dan keuletan membuatnya tampak sepuluh tahun lebih tua, tetapi Guanlin sangat mengidolakannya. Hanya beliau yang bisa memanggil nama lengkapnya tanpa terdengar canggung.

"Belum, Om." Guanlin menyunggingkan senyum malu-malu. Kedua orangtuanya sedang melakukan perjalanan bisnis ke Madagaskar, dan ia tak suka sarapan sendirian di meja yang lebih panjang dari meja pingpong.

Nicholas balas tersenyum, kerutan dalam menghiasi pinggir bibirnya. "Ayo, sarapan sama-sama."

Guanlin mengangguk, lalu mengambil tempat duduk di samping Nicholas. Guanlin selalu suka sarapan bersama keluarga Azilan karena keluarganya sendiri jarang berkumpul. Sedari kecil, Guanlin memang biasa dititipkan di sini. Nicholas sudah seperti ayahnya sendiri.

"Bagaimana tahun ajaran baru?" Nicholas memulai pembicaraan sementara para pelayan menyiapkan sandwich. "Nggak terjadi apa-apa sama (Namakamu) di kelas baru?"

"Nggak ada apa-apa kok, Om. Semua aman terkendali." Guanlin menggeser gelas dan pelayan dengan tangkas mengisi gelas itu dengan susu murni. Guanlin teringat sesuatu. "Tapi...,"

Nicholas urung menggigit sandwich-nya. "Tapi?"

"Ah, enggak kok, Om. Di kelas kami ada satu anak namanya Jinyoung. Dia... dari keluarga yang kurang mampu."

Nicholas mengangguk-angguk mendengar laporan Guanlin. Guanlin sudah sangat terbiasa melaporkan segala sesuatu yang berkaitan dengan (Namakamu). Bahkan, hal itu seperti sudah menjadi kewajiban bagi Guanlin selama tujuh belas tahun hidupnya.

"Oh ya? Kalian sekelas?" Nicholas tampak berpikir, sandwich-nya dikembalikan ke atas piring. Ia ingat sekolah itu memang memiliki beberapa anak kurang mampu. "Rose tidak bilang apa-apa."

Rose adalah kepala sekolah SMA Pelita Kita sekaligus teman baik Nicholas. Saat (Namakamu) merengek ingin masuk sekolah formal, Nicholas setengah mati menolak, tetapi akhirnya ia menyanggupi dengan syarat mereka harus masuk sekolah Pelita Kita. Selain ia bisa menitipkan (Namakamu), sekolah itu pun dekat dari rumah.

"Pagi."

Suara (Namakamu) menyadarkan Nicholas dan Guanlin. Anak perempuan itu menghampiri mereka dengan wajah cerah, tasnya dipegang oleh salah satu pelayan.

(Namakamu) mencium pipi kanan Nicholas, lalu segera duduk di depan Guanlin. "Pagi,lin."

"Pagi," balas Guanlin, senang melihat (Namakamu) memulai hari dengan ceria. Hannah Montana yang mereka tonton semalam ternyata berpengaruh baik baginya.

"Lagi ngobrol apa?" tanya (Namakamu). Seorang pelayan menyendok bubur bayi rasa kacang hijau—sarapan favorit (Namakamu)—ke mangkuknya. Karena tak langsung menjawab, (Namakamu) memicing ayahnya dan Guanlin. "Ngomongin aku, ya?"

Nicholas tersenyum. "Jelas, dong. Perempuan cantik begini, sayang kalo nggak diomongin."

Bibir (Namakamu) mengerucut sementara Guanlin hanya terkekeh mendengar gurauan Nicholas. (Namakamu) menyendok buburnya dengan semangat.

"Lin, hari ini ada olahraga, ya?" tanya (Namakamu), membuat Guanlin mengangguk. "Hm... berarti harus bawa iPad ke kelas. Udah nggak ada senior ini, jadi nggak ada yang bisa nyita."

Sudut bibir (Namakamu) terangkat, teringat kejadian beberapa bulan lalu saat seniornya menyita iPad yang ia mainkan di jam olahraga. Sekarang, setelah para seniornya lulus, (Namakamu) tak perlu khawatir lagi.

 untukmu || Bae jinyoung × YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang