3*

53 3 3
                                    

"Datang, datang."

Di kelas sepuluh atau sebelas, kata-kata itu biasanya disebut saat ada guru yang datang. Namun, di kelas dua belas ini, jinyoung cukup yakin kata-kata itu ditujukan kepada pasangan (Namakamu) dan guanlin. Jinyoung menggeleng pelan, tak habis pikir dengan kelakuan anak-anak kaya ini.

Dari sudut mata, jinyoung bisa melihat guanlin menahan pintu untuk (Namakamu) yang melenggang masuk. Jinyoung berusaha untuk kembali berkonsentrasi pada buku Biologi saat harum lembut sampo (Namakamu) memenuhi udara di sekitar hidungnya.

(Namakamu) sendiri tidak langsung duduk dan menyempatkan diri untuk memperhatikan jinyoung penuh minat. "Murid genius memang beda, ya."

Walaupun tak ingin, jinyoung mendongak juga, menatap sepasang mata hazel yang tampak berbinar itu. Mungkin kata-kata Guanlin kemarin ada benarnya. Mungkin (Namakamu) hanya seorang anak perempuan kaya yang berkata apa adanya tanpa memikirkan perasaan lawan bicaranya, tetapi tidak bermaksud buruk.

"Gue bukan genius," tandas jinyoung. Ia tidak pernah merasa genius. Ia mendapatkan semua prestasi ini dengan kerja keras.

(Namakamu) mengerjap. "Lalu, kenapa kamu belajar sebelum kelas mulai? Apa supaya terlihat genius?"

Dalam hati, jinyoung merancang umpatan paling sopan yang bisa ia lontarkan pada anak perempuan sok bangsawan itu. Mungkin guanlin salah. Mungkin anak perempuan ini benar-benar ingin menghinanya dengan cara paling polos yang ia bisa.

"Lo—"

"Pagi anak-anak!" Suara jimin memotong kata-kata jinyoung. Tampak tidak ambil pusing, (Namakamu) duduk tenang di bangkunya. Setelah meletakkan buku-buku ke atas meja, jimin menepuk tangan. "OK! Sekarang, tutup buku kalian!"

Semua anak mengernyit heran. (Namakamu) malah belum membuka tas sama sekali, mejanya masih bersih.

"Kita adakan pop quiz!" seru jimin lagi, membuat sebagian anak menjerit kaget dan sisanya pasrah menerima nasib. "Tenaaaang... Kuis ini sudah pernah kalian pelajari di kelas sebelas, Bapak hanya mau mereview!"

"Nggak usah aja, Paaak..." erang woojin seorang murid yang duduk di belakang Guanlin.

"Bapak cuma ingin tahu, sejauh mana kalian mengingat pelajaran kelas sebelas." Jimin berusaha menenangkan anak muridnya. "Pertanyaannya gampang-gampang, kok!"

Riuh penuh kecemasan terus menggema, rupanya anak-anak sama sekali tidak merasa perkataan jimin menenangkan. Jimin sampai harus mengetukkan spidol pada papan tulis untuk kembali mendapat perhatian mereka. Sekarang, kelas sudah cukup tenang, tetapi semua menghindari pandangannya. Semua, kecuali (Namakamu) yang menatapnya lurus dan jinyoung yang menatapnya menantang. Jimin mengenal mereka dari kelas sepuluh. Satu adalah anak orang kaya yang terlalu naif hingga kadang tak tahu sopan santun, satunya lagi adalah anak kurang mampu yang penuh ambisi hingga bersedia melakukan yang ia bisa untuk mencapai sesuatu.

"Baiklah, jinyoung." Jimin memutuskan. Setidaknya anak-anak bisa mencontoh sesuatu dari anak laki-laki ini. "Apakah kamu masih ingat, ada berapa jaringan pada tumbuhan?"

Semua anak segera berkasak-kusuk hebat, mencocokkan jawaban satu sama lain atau sekadar mengeluh tidak tahu. Namun, jimin bisa melihat jinyoung tetap tenang di bangkunya, sudut bibirnya sedikit terangkat ke atas seolah meremehkan. Jimin sudah terlalu terbiasa dengan ekspresi itu hingga tak pernah mengambil hati.

"Dua. Jaringan meristem dan jaringan dewasa," jawab jinyoung setenang permukaan danau. Semua anak memandangnya kagum, lalu menyadari kalau mereka punya dewa Biologi—dan mungkin beberapa mata pelajaran lainnya juga.

"Benar sekali. Bagus!" Jimin bertepuk tangan sendirian. "Nah, sekarang... siapa ya?"

Seperti yang sudah ia tebak, semua anak sekarang kembali pura-pura sibuk dan menghindari tatapannya. Semua, kecuali... dua orang tadi.

 untukmu || Bae jinyoung × YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang