"Kamu dipasangin sama (Namakamu)?"
Yena berlari ke ruang tamu untuk menatap Jinyoung tak percaya, meninggalkan tempe yang tengah digorengnya. Mulutnya separuh terbuka. Informasi yang barusan kakak kembarnya sampaikan begitu mengejutkan hingga hampir tak bisa dipercaya oleh akalnya.
"Awas gosong." Jinyoung menggumam, matanya tetap tertantap pada buku sejarah.
Yena tampak tak peduli. "Kamu beneran sekelompok sama (Namakamu)? (Namakamu) yang ITU?"
Tak lagi bisa fokus, Jinyoung mendongak dan menatap Sinb dengan mata menyipit. "Memang ada (Namakamu) yang lain? Udah, sana lanjutin gorengnya. Ntar telat, lagi."
Masih belum percaya, yena kembali ke dapur sambil menggeleng-geleng. "Nggak bisa dipercaya, dan dia mau, gitu?"
"Hei," tegur Jinyoung, tidak terima. Bahkan, saudara kembarnya berkata seperti itu?
"Maksudku, bukannya (Namakamu) itu selalu sama Guanlin? Kenapa kali ini mereka mau dipisahin?" yena bertanya-tanya sambil meniriskan tempe yang sudah berwarna kecoklatan.
"Nggak usah dipikirin." Jinyoung memasukkan bukuya ke ransel, lalu melirik keranjang di depannya yang penuh oleh roti. "Ini kenapa jadi banyak?"
"Oh, stok yang kemarin habis dan masih banyak yang tanya, jadi Bu Kelly pesan seratus." yena muncul sambil membawa sepiring tempe dan tahu, lalu duduk di samping Jinyoung.
Jinyoung mengangguk-angguk, lalu memperhatikan yena yang sekarang sedang menyendok nasi ke piringnya. Sudah setahun ini, yena menyetok roti buatan Pak Ale, tetangga mereka, ke kantin sekolah. Memang hasilnya tidak seberapa, tetapi bisa untuk membantu membayar kontrakan dan yena bisa sedikit menabung keperluan-keperluan mendadak. Jinyoung tidak pernah bertanya, tetapi ia yakin jumlahnya sudah lebih dari cukup untuk membeli sebuah ponsel canggih, yang omong-omong, tidak dianggap penting oleh saudara kembarnya yang lahir sepuluh menit setelahnya itu.
Jinyoung menerima piring dari yena, mengambil dua potong tempe dan tahu, lalu mulai menyuapkannya ke mulut. Dulu, ia pernah melarang yena berjualan roti. Status mereka sebagai anak-anak penerima beasiswa sudah cukup untuk menjadi bahan ejekan, ditambah lagi titel penjual roti. Namun, yena tidak ambil pusing. Dia melakukannya dengan senang hati, demi menghemat uang peninggalan orangtuanya yang sudah berkurang.
Untuk anak perempuan seusianya, yena benar-benar dewasa. Ia sama sekali tidak menangis saat kedua orangtua mereka tewas dalam sebuah kecelakaan lalu lintas tiga tahun lalu. Tidak pula marah saat si penabrak dengan angkuhnya menganggap bisa membayar lunas semuanya dengan menanggung hidup mereka hingga SMA.
Tiga tahun lalu, orang yang menabrak orantua mereka mendaftarkan mereka ke sekolah Pelita Kita. Jinyoung dan yena pun menerima beasiswa silang, biaya sekolah mereka disubsidi oleh siswa-siswa yang mampu. Walaupun demikian, mereka menolak sejumlah uang tanggungan yang diberikan si penabrak.
Selama hampir dua tahun setelah tragedi itu, yena dan Jinyoung tinggal di rumah paman dan bibinya-satu-satunya keluarga yang mau merawat mereka. Meskipun tak pernah mengatakannya secara langsung, Jinyoung dan yena tahu paman dan bibinya merasa kesulitan merasa kesulitan membesarkan lima anaknya sendiri. Tidak mau menyusahkan lebih lama, Jinyoung dan yena pun memutuskan untuk mengontrak rumah mungil dan tinggal berdua saja. Kalau saja orangtua mereka tahu pentingnya asuransi, mungkin mereka bisa hidup dengan lebih baik.
Mendadak, Jinyoung merasa susah menelan. Nasinya seperti tersangkut di tenggorokan. Mengapa ia harus mengingat semua ini?
"Kenapa, young?" tanya yena, menyadarkan Jinyoung.
"Ah, nggak." Jinyoung meraih gelas, lalu meneguk isinya untuk membantu mendorong makanan ke lambungnya. "Pulang sekolah, kamu latihan?"
"Nggak." yena menggeleng. "Aku udah bilang sama pelatih untuk latihan sebelum masuk sama pas istirahat aja."
![](https://img.wattpad.com/cover/136978606-288-k272370.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
untukmu || Bae jinyoung × You
Fanficngapain si lu ngikutin gue mulu -Bae jinyoung si kaku mau ya jadi pacar gue??? -(namakamu) si manja