Mentari memeluk senja di antara gerimis dalam lipatan hujan. Sejuk angin bersenandung dengan alunan merdu dari balik lembah. Walau hanya menyentuh sebatang ilalang dengan gemericik air di celah bebatuan. Namun, jejak-jejak senja tetap menapak dan membias jingga tiada lara.
Selintas bayang awan melukis pelangi yang hadir menjemput kelam. Hanya sepintas dan berlalu meninggalkan ujung hari di langit barat. Itulah, jejak senjaku di ujung hari.
Gugusan mega mengarak senja yang terus bertanya-tanya, tentang jalan yang kau bentang sebagai sajadah untuk sujud di tepi-tepi waktu, digigir-gigir beku yang menggigilkan kedirianku yang melayah rendah mendekati sarang-MU.
Matahari yang tunduk, setinggi ujung kaki yang menekuk, menekuri gerbang petang-MU. Sayapku terus saja memukuli udara, mencari pijakan kata untuk menambatkan luka yang menganga di dada. Dan itulah, elegy senjaku kali ini.
Aku tersesat, langkahku seakan rapuh tiada daya. Keinginan dibenak seakan tiada mampu menopang. Berlalu hingga lenyap dalam pandangan buramku. Sesak raga ini dihimpit perih kehilanganmu. Melahap sisa-sisa asa terpatri dihati. Engkau berlari begitu cepat sampai semangatku memudar disinggasananya.
Bak lilin kecil diterpa badai, perlahan namun pasti. Redup sampai cahayanya hilang dalam terkaman, lalu meninggalkan puing-puing sepi di ujung senja. Lukisan senyum itupun terpaku di atas angan.
Setiap saat kau raba dengan matamu, hati yang senang jadilah tenang. Kau titipkan asamu pada jemari Tuhan tanpa wujud. Dilantunan doa penyubur harap di dalam hati, bersama sujud ikhlas di ujung derita.
Aku disini, dalam riak ramai di ufuk senja ku bertengger. Dalam lantunan dzikir dan doaku pada-Nya, untuk bertemu dirimu di akhir senja. Berharap Malam menentukan takdir kita, dan bersama hari esok di singgasana cinta. Di sini, di ufuk senja, aku berteman doa dan harap hadirmu, Sang Pemilik Jingga Senjaku.
Lihatla senja di ufuk sana, begitu indah dihiasi suasana alam henbuskan angin. Membuat daun nyiur melambai kegirangan dan bersorak gembira dengan gesekan daunnya. Mentari pun enggan untuk melewatinya, sebab terkesima dengan jingganya senja. Namun ia tak kuasa melawan kehendak kuasa dalam malanggar garis yang ada. Dan keinginan hati pun kian sirna dibuatnya.
Seiring angin berhembus dengan sayunya, burung-burung pun berbondong untuk pulang, meninggalkan bayangan tak berjejak. Dan suasana pun menjadi sunyi sembunyi di balik sepi. Menata satu cerita menjadi kenangan dalam jiwa. Mempersatukan suka dalam duka, suram dan keindahan menjadi coretan lama di dalam kehidupan.
Bintang pun mulai beranjak dari peristirahatannya dan bertebaran menghiasi malam dalam kekelaman. Mengantar sebuah kenaangan yang dititipkan senja ketempat yang hakiki dalam keabadian.
Jika senja tiba, yang kulakukan adalah mengenangmu, yang dulu menggantung harap tentang makna cinta untukku. Sebab, kaulah senja itu, yang hadir kala penghujung hari menghampiriku. Kau cerah dalam kemilau menakjubkan dan aku renta dalam penantian menunggumu.
Kaulah senja itu, yang begitu hangat memeluk jiwa sepiku. Tapi kau begitu angkuh meninggalkan bayangmu. Kau bercinta dengan rembulan yang begitu mempesonamu. Dan kau tergelincir dalam rengkuhan bidadari cantik yang memperdayamu. Kini, engkau hanya meninggalkan bayangmu yang telah tertanam dalam benakku. Dan engkau telah menghapus aku, kala senja berganti menjadi makna cinta.
Kala senja berkilau cahaya emas menyapa dan mendekapmu hangat selaksa ibu memeluk anaknya. Adakah engkau menyadari kebesaran Tuhan dan bersyukur atas karunia-Nya. Ketika hembusan angin menyisir kulit di sekujur tubuhmu dan menawarkan kesejukan pada gersangnya pori-porimu, adakah kau sadar hidup ini hanyalah persinggahan dan bberusaha meraih kebahagiaan sejati.