Dua Nyawa, Satu Semangat

271 11 1
                                    

Dia, dengan puluhan kerut tergurat di parasnya, enggan bergaul dekat gerombolan pengamen muda yang selalu membicarakan hal-hal aneh nan sulit dimengerti. Baginya, mereka agak menakutkan, impulsif, dan kadang meledak-ledak.

Dia yang satunya, memakai topi kain dan membawa gitar. Kulitnya coklat terbakar mentari setiap hari, celananya mengatung, dihiasi banyak rantai di pinggangnya. Untuknya, pria tua penyendiri itu ketinggalan zaman dan tampak selalu muram. Ia tak berminat mendekatinya, bahkan meskipun kadang hatinya jatuh kasihan.

Mereka beroperasi di tepi jalan yang sama. Persimpangan antara Jalan Dr. Djundjunan dan Pasirkaliki. Si kakek mengesot dan menadahkan tangannya meminta sedekah kepada para pelintas. Sang kawula muda menggenjreng gitarnya, kadang ditemani jimbe atau biola, berharap ada orang mau menyumbangkan recehnya.

Pria tua suka duduk bersandar pada pagar factory outlet milik masyarakat punya, sedangkan si pengamen berkumpul dengan kawanannya dan merokok bersama.

Ketika mereka sedang asyik di dunia masing-masing karena belum lampu merah, mereka saling mencuri pandang.

Kakek pengemis berpikir, mungkin kalau ia punya anak, usianya sudah sebesar sang pengamen.

Pengamen terkenang akan kakeknya sendiri yang wajahnya sudah ia lupakan.

Tapi mereka tidak pernah berinteraksi. Terlalu takut. Gengsi. Malu.

Dan itulah, lampu merah! Kakek tua beringsut mendekati mobil paling bagus dan memasang wajah memelasnya. Syukurlah, seulur tangan menjatuhkan koin lima ratusan ke telapak tangan keriputnya. Kakek mengucapkan terima kasih dalam Bahasa Sunda sekaligus mengucapkan doa supaya sang pengisi mobil diberkahi dalam perjalanannya, selamat, berbahagia, dan selalu sejahtera.

Sementara itu gerombolan pengamen juga menyerbu angkutan kota. Si pengamen muda yang memainkan gitar ditemani jimbe memandangi wajah-wajah penumpang angkot. Mereka banyak mengalihkan tatapan, pura-pura tidak tahu, bersikap sok tuli, tak tersenyum atau menikmati lagu hits yang ia bawakan. Padahal ia yakin suaranya bagus. Tetapi karena seorang ibu-ibu memberinya seratus perak, ia pun bersyukur saja, mengucapkan terima kasih, dan kembali ke tempatnya. Teman-temannya masih sibuk, tetapi ia sudah agak lelah, maka ia duduk berjongkok dan membuka topinya.

Dan detik itu, kedua insan yang sama-sama berjuang mencari keping-keping harapan rupanya sedang bersebalahan.

Sang kakek menatap pria belia di sampingnya. Oh, astaga, ia memakai anting-anting di telinganya! Tidakkah itu terasa sakit?

Pengamen trenyuh melihat senyum si kakek. Tenang, bijak, tetapi tak pernah istirahat atau merasakan masa tua sesungguhnya. Ia jadi memikirkan masa depannya. Apa katanya kalau sampai setua itu ia akan tetap menjadi pengamen dan main di jalan?

Mereka tiba-tiba saling tersenyum untuk menutupi salah tingkahnya.

Pengamen menggenjreng gitarnya sembari mengalihkan pandangan. Rupanya sang kakek mendekatinya dan duduk di depannya. Berjongkok dan membungkus diri dengan sarung belelnya.

"Ayo main sesuatu, Dik."

Yang muda mengingat-ingat lagu yang dulu rasanya pernah ia dengar waktu kecil di sekolah dasar. Tapi ia lupa kata-katanya. Walaupun begitu, ia tetap memainkan musik sederhana dengan gitarnya khusus bagi si kakek. Berirama mars, kuncinya diulang-ulang.

Dan rupanya si pria tua melafalkan lirik yang sesuai. Suaranya sudah bergetar dan sayup. Namun mereka berkolaborasi dalam alunan indah musik ala jalanan, melupakan ketimpangan generasi di antara mereka, serta keterbatasan keahlian yang mungkin kalah dari orang-orang terkenal atau warga berpunya yang memberi mereka koin.

Demikian lagu mereka:

Halo, halo Bandung

Ibu Kota Priangan

Halo, halo Bandung

Kota kenang-kenangan

Sudah lama beta tidak berjumpa dengannya

Sekarang telah menjadi lautan api

Mari bung, rebut kembali!

Mungkin mereka bukan siapa-siapa, tetapi merekalah salah satu partikel mikro yang membangun Kota Bandung. Merekalah yang menyemarakkan Paris van Java. Dan mereka tetap berjuang menghidupi diri di tempat yang penuh kenangan dan rasa, di depan factory outlet khas Bandung dan ditemani riuh rendah lalu lintas yang ramai menggila. Merekalah saksi perubahan-perubahan Kota Bandung dari masa ke masa, tahun demi tahun, bulan menuju bulan.

Kakek tersenyum senang, dan si muda merasa puas karena telah menghibur seorang pria tua sebatang kara.

Mulai hari itu, mereka bersahabat. Di tepi jalan yang sama, mereka menyanyikan Halo-Halo Bandung. Kota ramai yang menghidupi mereka.

Bandung, 16 Oktober 2011

Bandungku, Bandung KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang