Pada Suatu Senja yang Biasa

903 28 3
                                    

Langit telah menjadi gelap. Jalanan kian sepi. Aku duduk sendirian di dalam angkutan kota jurusan Gunung Batu. Sopir angkot yang menyetir pun tampaknya sudah nyaris tertidur. Lalu masuklah pula seorang wanita mengandung berdaster kuning menyala dan sepatu seadanya.
Leherku lemas menahan rasa ingin terlelap yang menyerang. Mataku memandangi sepatu keds belelku dan sejurai dua jurai rambut berminyakku. Aku mendesah. Mengambil oksigen sebanyak-banyaknya. Siapa tahu kantukku hilang.

Penumpang yang hamil tadi kini menerawangi kaca jendela. Ditatapnya satu persatu kendaraan melintas—sejumlah jarang-jarang. Lampu-lampu kecil menyilaukan matanya.

Sejenak situasi dalam angkutan kota ini sungguh tentram. Aku bahkan mulai bersenandung supaya tidak sepi. Aku memerhatikan wanita di seberangku. Wajahnya cantik juga. Dan, bicara tentang kehamilannya, sudah berapa bulan ya? Kapan anaknya akan lahir? Seperti apa suaminya?

Kadang aku gemas melihat orang hamil. Kesannya berat sekali membawa bundelan pada perut berbobot lima kilogram! Ha. Aku tidak berani membayangkan kalau aku sendiri mengandung.

Sang ibu hamil mengelus-elus perut kembungnya. Kukirimkan ia seulas senyum tipis. Ia membalasnya. Senyum bahagia calon ibu.

Saat kami berbalas senyum dalam keheningan, pengemudi angkot ini pun menengok ke belakang sembari melambatkan mobilnya. "Novotel, Neng?"

"Nggak, Pak," jawabku. Kendaraan melaju kembali.

Berhubung aku menoleh pada sang sopir, aku lupa terhadap penumpang yang menemaniku ini, dan terkejut luar biasa karena ekspresi senyumnya lenyap—digantikan dengan mimik kesakitan. Perutnya dibelai buru-buru. Sedikit-sedikit ia mengerang.

"Mbak, kenapa?" tanyaku, berusaha tenang.

Rupanya sang ibu hamil tidak berhasil mengeluarkan suara. Tapi dalam sekejap aku paham apa yang terjadi. Dia mau melahirkan!

Nafasnya memburu.

"Teteh baik-baik saja?"

Ibu hamil menggeleng. Ia memegangi perutnya dengan tampak nggak keruan dan keringat yang menitik kecil-kecil di pelipisnya. Daster kuningnya jadi kucel karena tangan kirinya meremas-remas ujungnya. Tubuhku kaku. Mestinya aku melakukan sesuatu. Tapi apa juga yang dapat dikerjakan dalam angkot melaju?

"PAK!" mendadak si ibu hamil teriak keras sekali. Supir angkot nyaris sewot karena dia pikir si ibu hamil mau protes. Begitu menoleh ke belakang dan melihat penumpangnya sedang dalam keadaan darurat ditemani seorang penumpang muda yang nggak bisa ngapa-ngapain, kumisnya seakan meliuk. "Bu, nanti kita lewat rumah sakit bersalin, da. Bisa ditahan nggak, Bu?" tanyanya. "Saya kebut sedikit, deh."

"Iya, Pak...mak...mak...aww...makasih," rintih sang calon ibu.

Sopir angkot mengemudikan mobilnya secepat kilat. Sampai-sampai aku malah takut nih kendaraan loncat saking kencangnya. Di daerah Otten, sepertinya jalan ke depan tampak lancar. Tahu-tahu pemandangan yang tidak kami inginkan tampak. Macet besar! Di hadapan tepi jalan layang Pasupati terjadi kemacetan. Maklum, jam pulang kerja. Bah, gimana mau memaklumi hal seperti ini? Wanita di hadapanku sudah kesakitan luar biasa!

Aku terus mengamati jalan, seakan aku punya kekuatan supernatural untuk menghilangkan kepadatan itu, tetapi tak ada perubahan apa pun. Kuputuskan untuk pindah ke sebelah sang ibu hamil supaya seenggaknya membuatnya nggak kesepian.

"Dik," ujarnya saat rasa sakit mereda. "Turun di mana?"

"Di Gunung Batu," kataku. "Teteh gimana? Nanti turun ya di rumah sakit?"

"Iya," cicitnya. "Mudah-mudahan keburu. Aduh."

Sopir angkot, kesal dengan macet, menepuk-nepuk setirnya. "Bu, kuat?"

Bandungku, Bandung KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang