The Iron Cross (1)

10 1 2
                                    

'Bersatu di bawah naungan sang Phoenix'

'Di balut ketenaran dan kebanggaan,'

'Pegang simbol Iron Cross di dadamu,'

'Ambil pedangmu untuk melindungi Kerajaan,'

'Teman sebangsaku, mari bersorak,'

'Kita adalah kebanggaan Bergenia!'*









Diucapkan perpisahan dengan lagu doa, para anak pemberani dari negara putih pun pergi ke medan perang.

***

Tahun 875 Vars, 17 November.

Musim dingin masih berlangsung. Salju lebat pertama di musim ini akhirnya muncul kemarin malam. Lampu-lampu jalanan hampir membeku karena dinginnya cuaca malam itu.

Namun pagi ini, Cahaya matahari dengan malu-malu menyembul diantara awan berwarna abu-abu. Rumah-rumah dan jalanan tertutup salju setinggi mata kaki. Suara kicauan burung seperti nyanyian bagi siapapun yang mendengarkan.

"Tuan Pruisen, ada tamu untuk Anda."

Pembantunya. Seperti biasa, ia mengetuk pintu ruang keluarga atau sering digunakan tuannya untuk bersantai. Menunggu jawaban sebelum mempersilahkan masuk tamu-tamunya.

Pagi itu, tepatnya di Bergenia. Di salah satu mansion paling megah di kerajaan itu. Duduk di depan perapian dengan kursi santainya. Pemuda bermata garnet lengkap dengan kacamata ber-frame tipis di wajahnya itu sedang menyesap teh earl-grey favoritnya.

"Siapa?" Sang Tuan bertanya singkat.

"Pangeran Frederick II dan Bangsawan Castillo, Tuan."

Pruisen mengangguk. Si pembantu yang sudah bekerja di mansion itu selama sepuluh tahun, hafal dengan kebiasaan Tuannya. Ia menuntun Pruisen menuju ruang tunggu tempat dimana tamu-tamu pentingnya itu menunggu.

Setibanya di ruang tunggu, Pruisen menggerakkan tangannya tanpa bersuara. Menyuruh pembantunya untuk meninggalkan mereka. Pemuda berambut platinum blond itu berjalan tegak ke arah dua tamunya yang duduk membelakanginya.

"Sebuah kehormatan bagiku untuk dikunjungi orang-orang penting seperti kalian," ucapnya memecah keheningan. Ada sedikit nada bergurau di dalamnya. "Ada perlu apa Tuan dan Nyonya datang ke rumah kumuh milikku?"

Perlahan-lahan tamunya yang bergender laki-laki menolehkan kepalanya. Ia mendapati seorang Sang Tuan rumah yang berjalan ke arah mereka dari ambang pintu.

"Ha, lucu sekali, bruder*," pria itu mencoba bersikap setenang mungkin. Namun, apa yang diucapkan Pruisen membuatnya gatal untuk mencakar wajah tampannya. "Padahal dia sendiri pangeran kerajaan ini."

"Geez! Apa kalian berdua tidak bisa akur sehari saja?" celetuk gadis di sampingnya. Memutar bola matanya bosan setiap kali dua saudara itu bertengkar. "Dan omong-omong jangan panggil aku nyonya, Pruisen! Aku ini masih muda dan single!"

Seperti yang dikatakan Pruisen sebelumnya, kedua tamunya ini adalah orang penting di kerajaan mereka. Laki-laki yang memanggilnya 'bruder' tadi adalah adiknya dan pangeran kedua kerajaan Bergenia, Heitz von Frederick II. Hubungannya dengan adiknya ini tidak terlalu erat mengingat Pruisen memilih tinggal di mansion peninggalan ibunya sementara Heitz tetap tinggal di istana.

Lalu gadis yang datang bersama Heitz adalah anak perempuan dari keluarga Castillo, Rain Castillo. Sebenarnya, dua tahun yang lalu keluarganya diberi gelar keluarga bangsawan (secara paksa oleh Pruisen) karena banyak petinggi kerajaan yang tidak setuju jika para pangeran itu bergaul dengan seseorang yang berasal dari kasta rendah alias keluarga biasa tanpa pangkat atau gelar apapun.

Arte Stella: The Beauty of WarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang