5

154K 13.5K 378
                                    

Arkan itu terkadang posesif, terkadang juga tidak. Posesif kalau soal pakaian yang dikenakan istrinya. Arkan lebih suka Khanza berpakaian seperti saat dia kuliah, casual dan tidak seksi. Daripada harus memakai dress atau rok mini yang panjangnya bisa di atas lutut.

Seperti sekarang, hari pertama Khanza mulai bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang properti milik ayah mertuanya, Khanza harus direcoki dan direpotkan oleh suaminya yang rewel soal pakaian yang harus dia pakai untuk kerja.

Kurang bahanlah, terlalu ketatlah, kurang panjanglah, terlalu hebohlah. Selalu ada saja alasannya. Khanza jadi pusing. Dia sampai ngos-ngosan bolak-balik ke kamar hanya untuk ganti pakaian sesuai perintah Arkan.

"Kalau yang ini, cocok?"

Arkan menilai sejenak lalu menggeleng kuat. "Ketat banget, Sayang. Ganti!" cetusnya enteng seolah ganti baju itu segampang ngambil upil. Sementara dia enak-enakan ongkang-angking di sofa ruang keluarga lantai atas bak seorang juri yang sedang menilai kontestannya.

"Ampun deh, Mas!" kesalnya. "Harus gitu pake jubah wisuda biar tubuhnya ketutup?" sungutnya, lama-lama dia capek sama tingkah posesif suaminya itu. "Khanza capek tahu, Mas. Tiga kali bolak-balik ganti baju gak pernah di acc. Masih aja dikomentarin kayak lagi bimbingan skripsi. Ya udah pake daster aja."

"Mas tuh gak mau tubuh kamu jadi fantasi liar karyawan laki-laki Ayah," balas Arkan.

"Kan emang begini setelan kerjanya," geram Khanza sambil mencak-mencak. "Ya udah batalin aja kerjanya. Ribet amat gak boleh ini, gak boleh itu. Khanza senang Mas perhatian, tapi gak gini juga kali. Khanza juga sadar kalau sudah bersuami. Gak bakal lirik kanan-kiri kayak Mas Arkan."

Khanza mendumel sepanjang jalan menuju kamar mereka berdua di rumah baru di Jakarta. Rumah yang Arkan membeli setahun yang lalu sebelum menikahi Khanza. Minimalis dan berlantai dua. Memang tidak semegah rumah orang tuanya ataupun rumah Arsen karena gaji dosen itu tidak sebesar gaji CEO perusahaan. Yang penting rumah ini nyaman untuk tempat tinggal istri dan anak-anaknya kelak.

"Khanza," Arkan mengejar Khanza yang sedang merajuk. "Sayang, tunggu dong."

Khanza duduk di tepi ranjang membelakang Arkan, saat Arkan mencoba berpindah duduk ke depan Khanza, Khanza kembali berbalik badan hingga tetap dalam posisi duduk membelakangi Arkan.

"Khanza, Mas--"

"Mas tuh bikin badmood. Udah semangat mau kerja malah dibikin bete gini," potong Khanza.

Arkan menarik napasnya, mencoba menyentuh lengan Khanza tapi istrinya itu malah menolak. "Gak usah pegang-pegang!" serunya judes.

"Dengerin dulu, Sayang. Balik sini, gak sopan lho duduk membelakangi suami."

"Gak mau!"

Arkan bangkit dan memilih berlutut di depan Khanza. Karena istrinya akan sulit dibujuk kalau sudah badmood seperti ini. Khanza melirik sekilas apa yang dilakukan Arkan sebelum memalingkan wajah.

"Sayang--"

"Gak usah manggil-manggil sayang!" potong Khanza.

"Istriku," kata Arkan mengoreksi.

Kali ini Khanza diam. Darahnya berdesir hangat dipanggil seperti itu.

"Kamu boleh kok pergi ke kantor, cuma besok jangan pakai rok mini. Kita belanja celana bahan sebanyak-banyaknya. Oke?" Arkan berbicara lembut, biar dia yang tetap dingin di saat istrinya menampilkan raut seperti orang yang mengajak perang.

"Benar?" Khanza merasa lampu hijau diberikan kepadanya. Kini dia tidak lagi memalingkan wajah.

Arkan mengangguk. "Asal kamu jangan manyun sama suami kayak gini."

Semestaku Bersamamu (Sedang PO 1-10 September)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang