Seorang perempuan pasti pernah berkeinginan untuk memiliki hubungan lebih dari sekadar berteman.
Hal itu terjadi padaku.
Orang itu adalah temanku.
Aku menyukai senyum manisnya yang jarang ia perlihatkan.
Dia pintar. Dia tampan. Lucunya, ia tidak begitu populer.
Dia pendiam dan aku tidak.
Kami berbeda dan aku menyukainya.
Dan aku.. tidak akan bisa memilikinya.
Salahkan aku yang sering berharap.
Ini adalah kisahku.
Kisahku dengan si dia.
Orang yang paling kusayangi.
● ● ●
Aku bisa melihat diriku dua tahun yang lalu dibalik jendela diatas tangga ini. Tangga yang membawaku ke masa lalu.
Masa lalu yang sedikit lebih cerah dibanding sekarang.
Diriku yang berumur 15 tahun terlihat sedang mengantri untuk mengambil foto ID card Ujian Nasional nanti. Diriku beberapa kali mengumpat melihat rambutku yang berantakan.
Karena penasaran, kutarik tirai untuk melihat siapa yang sedang difoto.
Mataku membulat ketika melihat seorang laki-laki yang ia kenal. Ia terlihat berbeda dari biasanya.
Oh.. ia tidak memakai kacamatanya.
Senyuman manis yang jarang kulihat. Sungguh sisi lain yang tidak pernah diperlihatkan oleh laki-laki itu.
Namanya? Panggil saja Dean.
Tidak. Dia tidak populer.
Tidak. Dia tidak memiliki banyak teman.
Tetapi aku tahu, sejak saat itu.. aku memiliki keinginan untuk mendekatinya.
Dean merupakan teman dekat dari Timo. Teman baikku.
Kupikir, apa salahnya jika aku mendekat?
Tidak. Aku tidak langsung berbicara kepadanya.
Aku bisa melihat wajahku yang masih terkagum-kagum dengan hasil foto nya yang terpajang diatas meja ujiannya saat itu.
Aku menyukai foto itu.
Aku sangat menyukainya.
Toh, bukan hanya aku yang bilang ia terlihat tampan. Temanku juga sempat terkagum-kagum dengan paras tampannya.
Yah.. setidaknya saat itu kami berteriak bersamaan.
Entah sejak kapan kami menjadi dekat. Aku yakin aku mulai berbicara dengannya saat kelas 10.
Awal kelas 10, aku memutuskan untuk berbagi meja yang sama di kantin. Bersamaan dengan Timo, Eva dan yang lainnya. Salah satunya adalah Dean.
Pertamanya, aku tidak banyak bicara dengannya.
Kalau aku tidak memulai pembicaraan, kalau saja aku tidak mulai mengejeknya, aku rasa tidak mungkin aku bisa menjadi teman dekatnya kini.
Dalam kurun waktu yang sangat pendek, kami menjadi sangat dekat. Dimulai dari aku yang mulai mengejek sifatnya yang terlihat jutek, kemudian sifat cueknya.
Tak jarang ku puji juga. Kalau yang tidak kusampaikan secara langsung dihitung, mungkin 'sering'.
Kelas 10, semester 1. Masa-masa dimana aku menjadi sangat dekat dengan orang yang awalnya aku kagumi karena parasnya yang cukup tampan.
Lucu memang. Tampan sekali juga tidak.
Tapi ada sesuatu yang menarik dari wajahnya itu.
Yang masih susah untuk dijelaskan hingga detik ini.
Kami mulai dekat sejak ia mulai berani untuk mengejekku. Saat itu aku sadar, dia bukan lagi Dean yang kukenal.
Maksudku, dia menjadi Dean yang jauh lebih menyenangkan.
Dibalik wajahnya yang terlihat cuek terdapat sifat lemah lembut. Dia peduli. Dia jujur dan selalu membantuku.
Dari semua itu, aku paling suka suaranya yang cenderung keibuan. Suara yang membuatku nyaman setiap kali mendengarkan nya.
Aku suka mendengar setiap kata yang ia lontarkan.
Mungkin aku terdengar seperti aku menyukainya. Sayangnya, aku selalu menepis pikiran tersebut.
Kenapa?
Entahlah..
Sudah berkali-kali aku memakan hati. Menyakiti diriku sendiri dengan mencoba untuk menyatakan perasaanku kepada orang yang kusukai.
Disaat perasaan itu terbalaskan, aku tidak memiliki hak untuk menerimanya. Perkataan orangtua ku terngiang-ngiang setiap kali aku memikirkan kata 'pacaran'.
Aku lelah untuk menyukai orang lain.
Aku tidak kuat untuk melihat ia menyukai orang lain. Disaat aku masih menyukainya.
Aku trauma.
Berkali-kali aku bertanya pada adik kelas yang sangat dekat denganku.
Dia bilang aku memiliki perasaan untuknya. Begitu juga dengan prediksinya mengenai Dean yang menyukaiku.
Tetapi takdir berkata lain, selama ini ia menyukai gadis lain. Temanku sendiri.
Eva.
Yang jauh lebih diatasku dalam hal akademik maupun non akademik.
Laki-laki yang pintar dan perempuan yang pintar. Bukankah itu sempurna?
Sejak saat itu, aku merasa bahwa duniaku ini tidak pernah adil.
Tuhan tidak pernah berpihak denganku.
Dan aku disini, setahun kemudian.
Kembali..
Terjerat dalam pesonanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TANGGA
Teen FictionDibalik senyum manis, terdapat jiwa yang tersakiti. Dia memberiku harapan. Setinggi-tingginya harapan tersebut, dia selalu menjadi tanggaku. Tangga yang paling bermakna dalam hidupku.