Bagian Satu

17 2 0
                                    

 ⧟  

31 Januari 2038.

Siang itu pamanku memintaku untuk menjemputnya di bandara. Ia baru saja tiba setelah berlibur dari negeri gingseng. Ia bilang, ia takut lupa jalan menuju rumahku karena terlalu lama liburan di luar. Ah, alasan saja. Padahal ia hanya berlibur selama tiga bulan.

Pukul 15:30 WIB aku tiba di bandara. Rupanya aku tiba terlalu awal. Paman bilang pesawatnya akan tiba pukul 16:15 WIB. Aku tidak mau duduk dan menunggu cukup lama di dalam bandara. Maka, aku memutuskan untuk membeli minuman di sebuah kafe di depan bandara.

Kafe tersebut cukup besar dan tergolong salah satu kafe elit di ibu kota. Saat aku masuk, di dalam kafe cukup ramai. Sepertinya akan ada perayaan ulang tahun. Apa aku tidak seharusnya masuk?

Aku bisa saja langsung keluar dan tidak jadi membeli di sana. Hanya saja aku masih bisa melihat beberapa pembeli di kasir. Mungkin acara ulang tahunnya belum dimulai. Akhirnya aku berjalan mendekat ke meja kasir untuk membeli sebuah minuman. Aku hampir berada di baris antrean pembeli hingga tiba-tiba sesuatu melintas di hadapanku.

Sesuatu, tepatnya seseorang, terjatuh. Anehnya, ia terjatuh tanpa membuat sebuah suara sehingga orang-orang di sekelilingnya tidak menyadari hal tersebut, kecuali aku tentunya. Aku merasa tidak enak jika tidak menolongnya. Maka dari itu aku berjongkok dan mencoba menanyakan keadaannya.

"Kau tidak apa-apa?" ia menoleh. Menampilkan paras cantik yang bersih dengan pipi kemerah-merahan. Dalam hati aku memuji. Ia sangat cantik, make upnya terlihat sangat natural. Pasti dia mengikuti trend make up ala negeri gingseng.

"Bulan, apa yang kau lakukan? Ayo kemari. Kau harus segera didandani." Seseorang datang dan membangunkan gadis tersebut. Seketika semuanya terdengar ramai sekali, berbeda ketika aku menatap manik coklat tadi. Gadis kecil bernama Bulan tadi pergi bersama seorang wanita setelah sebelumnya mengucapkan 'aku baik-baik saja' dan tersenyum padaku. Yah, aku hanya mengira-ngira saja, kok.

Setelah peristiwa tersebut aku kembali meneruskan niatku untuk membeli minuman dan setelahnya segera menyeberang ke bandara untuk menjemput pamanku.

Aku tiba di rumah pukul 18:30 WIB. Setelah mandi dan melaksanakan kewajibanku, aku tertidur di atas kasurku saat sedang mendengarkan lagu dari grup band favoritku. Tiba-tiba aku terbangun karena mimpi buruk yang datang menghampiriku. Sungguh, aku benar-benar mimpi buruk. Saat kau bermimpi jika dosenmu membakar semua hasil karyamu, saat itulah kau harus segera bangun.

Rupanya aku tertidur selama empat jam. Setelah termenung sebentar, aku memutuskan untuk bangkit dan berdoa kepada Tuhan.

"Tuhan, besok adalah ulang tahunku yang kedua puluh. Bolehkah aku meminta sesuatu yang selalu aku pinta? Aku ingin bulan, Tuhan. Aku ingin bulan merah yang dulu tidak sempat aku lihat."

Iya, itu doaku di setiap menjelang ulang tahunku. Aku selalu meminta hal yang sama. Aku ingin melihat bulan merah yang kakakku bilang, saat itu usianya tujuh tahun, sangat luar biasa. Sangat langka dan hanya terlihat 150 tahun sekali di negeriku. Lagi-lagi aku kesal, mengapa aku tidak lahir sedikit lebih cepat?

Ah, sudahlah. Aku baru saja berdoa pada Tuhan. Mungkin sebaiknya aku pergi keluar, siapa tahu alam semesta berbuat baik padaku dan memperlihatkan bulan merah impianku. Untung saja aku sudah bukan seorang siswa. Jadi, aku tidak perlu lagi takut dengan kata 'besok senin'.

Aku berjalan di sepanjang trotoar seraya meminum sekaleng soda. Ibu kota terlihat indah saat ini. Kata ibuku, keadaannya jauh lebih baik dibandingkan saat aku pertama kali lahir ke muka bumi ini. Omong-omong, beberapa menit lagi aku akan genap berusia dua puluh tahun. Ya walaupun seharusnya aku sudah berusia dua puluh tahun saat ini.

Mengenai ulang tahun, kira-kira apakah gadis tadi adalah seseorang yang tengah merayakan ulang tahunnya? Jika iya, maka pasti ia sangat senang. Bagimana tidak? Ia merayakannya di sebuah kafe besar yang memiliki cake apple terbaik, makanan kesukaanku.

"Tuhan, aku ingin apel." Aku berujar tidak jelas. Hening beberapa detik hingga aku memutuskan untuk terus berjalan setelah sebelumnya menghembuskan nafasku lelah.

Tiba-tiba, sesuatu menggelinding mengenai kakiku. Apel? Apa Tuhan mengabulkan doaku secepat itu? Aku tersenyum dan segera menengadahkan kepalaku.

"Tuhan, apa ini apel yang aku minta?" untung saja aku berada di depan sebuah rumah besar yang tengah sepi sehingga aku tidak malu dikatai gila oleh orang-orang.

"Itu apelku yang terjatuh." Seseorang berujar di hadapanku membuat aku sedikit putus asa. Kukira itu malaikat yang tidak sengaja menjatuhkan buahnya dari surga. Tapi, gadis di hadapanku ini juga seperti sosok malaikat.

"Ah, maaf. Ini kuambilkan." Aku menunduk dan mengambilkan apel yang ada di depan sepatuku pada gadis tersebut. Gadis itu mengucapkan terima kasih. Ia bilang, ia merasa tidak enak jadi ia mengajakku untuk memberiku apel yang bersih. Wah, Tuhan memang benar mengabulkan doaku.

Aku duduk di sebuah kursi di depan rumah besar milik gadis tadi untuk menunggu sang gadis mengambilkan apel untukku. Dia baik sekali, bukan?

"Ini apel untukmu. Terima kasih karena sudah menolongku untuk kedua kalinya." Gadis tersebut berdiri di hadapanku dan memberiku sekantung apel merah.

"Banyak sekali. Terima kasih–" tunggu, apa tadi ia bilang dua kali? Aku segera mengangkat kepalaku dan melihat wajah gadis yang ada di hadapanku. Rupanya dia adalah si gadis yang telah merayakan ulang tahunnya di sebuah kafe elit yang memiliki cake apple terbaik.

"Kau gadis yang terjatuh tadi sore?" gadis tersebut menganggukkan kepalanya dan duduk di sebelahku. Aku menoleh dan memandang wajah sang gadis. Dia memang benar cantik. Pipinya pun masih berwarna kemerahan. Apa ia lupa membersihkan make up?

"Apa kau juga yang merayakan ulang tahunmu di kafe itu?" gadis tersebut meganggukkan kepalanya membuat poninya ikut bergoyang.

"Kamu pasti sangat bahagia di hari ulang tahunmu yang ketujuh belas." Gadis tersebut menoleh dan menautkan alisnya. Aku bingung, apa aku mengucapkan sesuatu yang salah?

"Itu adalah ulang tahunku yang kedua puluh." Aku terkejut, tentu saja. Wajahnya terlihat sangat muda dibandingkan para gadis seusianya. Sayang sekali, padahal aku sedikit mulai membiasakan diri padanya.

"Ah, maaf. Aku tidak tahu." Gadis tersebut tersenyum kecil dan mengucapkan 'tidak apa-apa'. Aku jadi sedikit canggung padanya. Lama aku terdiam memikirkan apa yang akan aku katakan.

"Omong-omong, kita belum berkenalan. Kenalkan, nama aku Febri." Aku mengulurkan tanganku padanya. Ia tersenyum, membalas uluran tanganku dan berkata-

"Namaku Bulan. Bulan Celosia." Aku benar-benar terkejut saat itu. Tuhan, kau sedang tidak bercanda 'kan? Bulan? Apa dia jawaban atas bulan yang selama ini aku minta. Tuhan, jawab aku. Apa ini artinya aku berhasil menemukan bulan merah yang telah lama kucari? Apakah dia bulanku? Bulan Celosia-ku?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 02, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Finding Blood MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang