[2]

6.2K 538 15
                                    

Pukul sepuluh pagi, Rensha baru datang ke kantor. Dia lalu berjalan lesu ke kubikelnya. Rensha meletakkan tas pink berisi Macbook ke atas meja. Dia duduk lantas dan menelungkupkan kepala di atas meja.

Semalam dia tidak bisa tidur. Bagaimana mau tidur, ada hal yang mengganggu pikirannya sejak pertemuannya dengan Tirta. Semalam, setelah melihat Verza berciuman dengan Tirta, Rensha langsung pulang ke rumah, bukan ke apartemennya.

Wanita itu sengaja menghindar. Dia tahu kalau Verza pasti mencarinya ke apartemen dan pasti menanyakan kenapa pulang dulu. Oke ini mungkin besar kepala, tapi Rensha sudah hafal sifat sahabatnya itu.

"Ugh!!" Rensha melenguh. Dia menangkat wajah dan tersentak melihat Ika—editor di tempatnya berkerja tengah menatapnya.

"Kenapa?" tanya Ika to the point khas wanita itu.

Rensha menggeleng lalu mulai mengeluarkan Macbook-nya. Satu tangannya meletakkan tas pink favoritnya di bawah meja. "Cover-nya udah kelar, Mbak," ucapnya ingat dengan proyek yang dia kerjakan.

Varensha Adimanda adalah desainer grafis di sebuah penerbitan terkenal. Dia bekerja sejak lulus SMA, lalu dia sambi dengan kuliah. Atas kerja kerasnya, dia menjadi desainer grafis terbaik di penerbitan tempat dia bekerja.

"Kirim ke aku ya," kata Ika sambil menatap Rensha yang mulai sibuk menatap laptop itu.

"Kirim ke Mora juga nggak?"

"Biar aku saja."

Rensha mengangguk, terkadang dirinya yang membantu Ika mengirim desain cover ke salah satu penulis. Saat ini dia sedang menggarap tulisan Mora, gadis periang yang beberapa kali dia temui.

"Kurang tidur, Ren?" tanya Ika menatap mata memerah Rensha itu.

Diberi pertanyaan seperti itu, Rensha menghela napas. Mau tidak mau dia ingat apa yang membuatnya tidak bisa tidur. "Ya gitulah, Mbak."

"Soal Verza?"

Rensha tersenyum kecut. Sudah bukan rahasia lagi kalau orang di kantor tahu kedekatannya dengan pria itu. Itu semua disebabkan karena Verza sering ke tempat Rensha bekerja.

"Mau sampai kapan kalian kayak gini terus? Teman seusia kalian udah pada nikah. Bahkan udah pada punya anak," ingat Ika akan usia Rensha yang sudah menginjak 27 tahun, dan Verza yang sudah menginjak 28 tahun.

"Kalau belum ketemu jodoh kan juga bisa apa, Mbak," ucap Rensha pasrah.

Ika mengangguk menyetujui. Dia mendekat dan mengusap pundak Rensha. "Semangat, ya."

Rensha hanya diam menatap fotonya dan Verza saat tahun baru kemarin. Dia menumpuk kedua tangan yang terkepal, lalu menumpukan dagunya. Mata cokelat pekatmya mengamati wajah Verza yang minim penerangan, tapi tetap terlihat tampan itu.

Drt!!

Getar ponsel yang mengenai kayu terdengar cukup nyaring. Rensha menunduk, ingat dengan ponselnya yang masih di dalam tas. Dia mengangkat tas, mengambil ponsel dan melihat panggilan yang sejak semalam berkunjung ke ponselnya itu.

Rensha meletakkan Iphone X-nya ke atas meja. Dia hanya menatap benda persegi panjang itu tanpa berniat menjawab. Selang beberapa detik, benda itu berhenti bergetar. Namun, getaran singkat itu membuatnya kembali terganggu.

1 messages.

Ibu jari Rensha menggeser layar seketika bola matanya membulat. Dia beranjak dari kursi dan buru-buru ke lobi. Bibir Rensha bergerak memaki sebisanya atas tingkah Verza yang selalu datang ke kantornya tanpa memberi tahu dulu.

Little Story in MidnightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang