[4]

5.1K 523 12
                                    

"Stt!! Ren!"

Panggilan dengan desisan pelan itu membuat Rensha menegakkan tubuh. Dia menoleh ke pintu lalu mengernyit bingung saat seseorang itu memintanya keluar. Bukannya masuk dan menjenguk sang papa yang berbaring di ranjang rumah sakit.

Mau tidak mau Rensha menurut. Dia berdiri dan mendekati kakaknya. Renga sontak menutup pintu dan menarik adiknya itu menjauh.

"Ada apa, sih, Kak?" tanya Rensha saat ditarik oleh sang kakak.

Renga menoleh, memastikan suasana rumah sakit telah sepi. Pria itu mengeluarkan sesuatu dari tas hitamnya lalu menyerahkan amplop cokelat ke Rensha. "Lo simpen. Gue dapet pinjeman dari anak-anak."

Rensha menerima amplop itu lalu menatap kakaknya. "Lo simpen aja, Kak. Buat bayar hutang."

"Lo aja. Lo paling pinter kalau nyimpen uang."

"Ya udah," jawab Rensha pasrah.

Wanita itu lalu menyandarkan tubuh. Selama seminggu papanya dirawat di rumah sakit, semakin hari kondisi papanya semakin menurun. Rensha tidak pernah menyangka hidupnya bisa berubah sedrastis ini. "Gue udah mikir semuanya."

Kalimat Rensha membuat Renga yang sebelumnya terbengong, jadi tersentak. Pria berambut merah di bagian jambul itu menatap adiknya. "Mikirin apa?"

Rensha memejamkan mata. Selama seminggu dia sudah memikirkan semuanya. Dia tidak bisa melihat papanya tergolek lemah. Dia tidak bisa melihat kakaknya pontang-panting mencari uang. Dia tidak bisa melihat rumah megahnya disegel karena tidak bisa melunasi hutang.

Perlahan Rensha menegakkan tubuh lalu memutar hingga sepenuhnya menatap sang kakak. "Gue mau nikah sama anaknya Om Wino."

Ucapan Rensha membuat bibir Renga terbuka. Dia lalu menyentuh pundak adiknya dan mengguncangnya pelan. "Lo serius? Anaknya Om Wino mantan pecandu obat terlarang, Ren!"

Rensha mengangguk tahu dari cerita kakaknya beberapa hari yang lalu. Namun, dia seolah tidak peduli dengan itu. Sekarang yang terpenting bagaimana cara membayar hutang sebelum jatuh tempo. "Gue serius."

Dengan cepat Renga menarik adiknya ke dalam pelukan. Dia merasa kakak yang gagal karena mengumpankan adiknya ke masalah baru. Dia merasa tidak bisa menjaga amanat terakhir mamanya untuk menjaga dan melindungi Rensha. "Gue bakal usaha cari duit lain, Ren. Lo cuma perlu jagain papa."

Air mata Rensha menetes. Dia menggeleng tegas tidak bisa hanya menunggu sang papa tanpa usaha lain. Rensha melepas pelukan kakaknya lalu memaksakan sebuah senyuman. Seolah dia sudah ikhlas dengan pilihannya.
"Gue nggak bisa ngeliat saudara gue susah sedangkan gue cuma nunggu papa doang," jawabnya.

Renga mengangguk pelan, paham apa yang adiknya itu rasakan. "Gue bakal selalu ada buat lo, Ren. Kita hadepin ini bareng-bareng."

"Ya!" jawab Rensha sambil mengepalkan tangan seolah siap menghadapi semuanya.

Drtt!!

Ponsel di saku Rensha tiba-tiba bergetar. Dia mengambil ponsel melihat sebuah pesan masuk yang membuat bibirnya tertarik ke atas. Tindakan itu tidak luput dari pandangan Renga, apalagi ponsel Rensha yang berubah drastis.

"Ponsel lo mana?" tanya Renga.

Rensha tersenyum kecut, melihat ponsel tanpa kamera dan fitur lainnya itu. "Gue jual."

Renga mengusap wajah. "Gue bingung harus gimana lagi, Ren."

Kedua tangan Rensha menepuk pundak kakaknya itu. "Tenang aja. Gue nanti sore dapet tambahan uang."

"Maksud lo?"

"Gue jual apartemen."

Rensha mengalihkan pandang ke arah lain. Sebenarnya dia sangat berat menjual sebuah bangunan yang menjadi saksi saat dia berkenalan dengan tetangga barunya, Verza. Hingga mereka menjalin persahabatan, dan Rensha yang mulai jatuh cinta.

Little Story in MidnightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang