Leo

2 0 0
                                    

Kami baru buka lima belas menit yang lalu. Jam masih menunjukkan pukul sembilan, tetapi dering nyaring telefon di meja kasir telah menggema ke seantero restoran. Diam-diam aku mendengus pasca mencuri dengar. Banyak sekali makanan yang dipesan dan semuanya harus diantar. Sebagai pegawai paruh waktu yang hanya bisa bersih-bersih dan mengendarai sepeda motor matic, tugasku adalah menyajikan pesakan di meja, membersihkan meja, mencuci peralatan makan, menyapu, mengepel, mengupas bawang, dan―yang paling menyebalkan sekaligus menyenangkan―mengantarkan pesanan.

Demi bocah SMA aneh yang kutemui tempo hari, jika pagi-pagi begini aku harus mengantarkan pesanan menuju alamat yang tidak jelas, aku akan menikmati secangkir latte terlebih dahulu.

"Caitlin," panggil salah satu juru masak. Huh! Inilah saatnya. "Tinggalkan dulu bawang-bawangmu dan segera antar semua pesanan ini sebelum mendingin."

"Siap. Aku datang."

Ada tiga boks yang harus aku bawa menggunakan motor matic berstiker logo restoran ini. Dua di antaranya berukuran kecil, jadi dapat aku taruh di keranjang belakang. Semantara sebuah kotak alumunium besar aku letakkan di depan, diampit oleh kedua kakiku sehingga menyusahkanku dalam berpijak.

Saat kulihat alamatnya, aku mendesah lega karena itu tidak begitu jauh, Cukup masuk ke area perumahan yang berjarak satu kilo meter dari sini, kemudian menuju jantung perumahan yang merupakan sebuah taman nan asri.

Sekelompok ibu-ibu telah menunggu di sebuah bangku berukuran besar. Beruntung, salah satu dari mereka langsung berlari tergopoh-gopoh untuk membantuku yang tengah kesusahan membawa pesanan. Aku memberikan nota berisi rincian harga, setelahnya menerima uang pas untuk pesanan tadi.

Aku pun berpamitan, hendak segera melangkah menuju motor yang kubawa, namun terhenti akibat pemandangan aneh di depanku.

"Jackson?" aku menepuk pundaknya. "Apa yang kau lakukan di sini? Kau tidak sekolah?"

Lelaki yang tadinya sibuk dengan kanvas dan sepalet cat air di tangannya mengalihkan atensi padaku. "Oh, hai! Kau mengenaliku, Nona?"

"Apa?" sontak aku mengernyit penuh tanda tanya.

"Oh, tidak. Tentu tidak." Dia menyangkal sambil tertawa kecil. "Kau bertemu dengan Jackson. Benar?" tanyanya, yang diikuti oleh gumaman panjang dalam sekali tarikan naapas. "Ah, dia memang terlalu sering muncul. Jeremy harus segera mendapatka pekerjaan yang layak."

"Jangan membuatku takut. Kau bertanya seolah kau orang lain," tuduhku yanghanya dibalas gelak tawa oleh lelaki di depanku ini. Dia benar-benar bocah SMA super aneh.

"Sudahlah." Dia menukas. "Kembalilah sebelum kau dicari oleh atasanmu. Bisa-bisa kau dipecat secara tidak terhormat."

Kemudian, dia kembali tergelak seolah perkataannya mengandung lelucon. Apakah orang ini sering membuat dirinya sendiri menjadi bahan candaan?

"Baiklah kalau begitu. Selamat tinggal."

"Hm," sahutnya. "Sampai jumpa lagi!"

Biayai aku untuk masuk sekolah kedokteran jika tebakanku tentang ada yang salah pada kepala Jackson benar adanya. Sehingga suatu saat aku dapat memperbaiki kekonsletan itu sebab tinggahnya benar-benar mengundang kecurigaan. Dia berharap tidak berjumpa denganku lagi tempo hari, tetapi berucap sampai jumpa lagi barusan. Apakah ini termasuk efek pubertas yang dapat menjadikan seorang remaja labil?

Who is He?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang