Justin

2 0 0
                                    

"Ayah, seseorang terus menakut-nakutiku sejak tadi," seorang gadis berkuncir dua merengek pada seorang pria di hadapanku.

Sejenak dia menanggalkan ketelitiannya dalam mengecek nota. Dahinya yang tadi mengerut penuh konsentrasi lenyap bagai angin lalu sewaktu berhadapan dengan putrinya. Dia bertanya secara lemat lembut tentang siapa yang berani menganggu malaikat kecilnya itu. Sedikit membuat hatiku tercubit sebab kenangan akan ayah yang telah beristirahat dengan tenang mengguyurku tanpa ampun. Kemudian si gadis menunjuk laki-laki yang tengah menjilat es krim sambil mengikuti pergerakan orang yang lewat di hadapannya seolah sedang mencari mangsa.

Sontak wajah pelangganku ini merah padam. Pelan dia mengumpat sebelum menyuruhku menunggu sebentar sementara dia mengurus pengganggu putrinya. Jujur saja, aku ingin menolak. Pria itu hanya perlu membayar tagihannya dan aku akan pergi dari alun-alun yang memiliki banyak lampu ini. Mataku benar-benar pedih karena lampu-lapu di sini terlalu terang. Tetapi melihat tampang garangnya membuatku mengurungkan niat secepat niatan itu hinggap dibenakku.

Aku mengucek sepasang mata yang mulai mengantuk ini sambil sesekali menguap. Percekcokan di depan sana benar-benar sengit. Pria tadi bahkan tidak peduli dengan tatapan yang diberikan oleh orang-orang di sekitarnya dan terus memaki sang lelaki pengganggu. Entah apa yang mereka omongkan, tiba-tiba saja pelangganku menonjok muka lelaki di hadapnnya.

Aku tersentak; merasa kaget bukan main kala mengetahui bahwa lelaki penggangu yang dimaksud gadis berkuncir dua tadi ialah Jackson. Sosok dingin yang aku temui beberapa jam lalu di antara remangnya malam enyah entah ke mana, tergantikan oleh laki-laki dengan mata berkaca-kaca yang siap meledakkan tangisnya kapan saja.

Rasa heran merengkuhku, meski aku tahu bahwa sekarang bukanlah saat yang tepat. Susah payah aku mengekang pertanyaan-pertanyaan yang berterbangan di benakku sebelum berlari ke arah pria yang memukul Jackson.

"Maaf, pak," kataku sambil terengah-engah. "Tolong segera bayar―"

"Persetan!" potongnya tegas. "Itu urusan nanti―"

Selagi pria di hadapanku menyerocos, aku menyenggol-nyenggol tubuh tak berdaya di dekat kakiku, mengisyaratkan agar dia segera pergi. Tak ayal, pria itu marah besar kepadaku karena Jackson berhasil lolos begitu saja. Aku hanya bisa menulikan telinga sebelum berpamitan, lalu mencari jejak bocah SMA tadi.

ooo

"Bibirmu berdarah," ujarku sembari mendekati Jackson yang tengah terisak di depan teras sebuah toko yang telah tutup.

Dia merintih, "Sakit." Kemudian, membenamkan wajahnya pada kedua kaki yang ditekuk.

Niat awalku yang ingin memberondongnya dengan pertanyaan pupus begitu mendapati sisi lembut dari Jackson. Alih-alih, aku ikut duduk di sebelahnya dan memeluk tubuh ringkih itu erat-erat. Pelan aku mengelus punggungnya, berharap semoga ada rasa nyaman yang tersalurkan.

Tetapi, aku rasa lelaki ini butuh lebih dari sekedar pelukan dan elusan. Karena semakin aku memberinya rasa nyaman, semakin menjadi pula rintihannya. Tanpa kusadari tangannya telah beralih ke sisi kepalanya. Dia mengerang penuh kesakitan sambil menyengkram rambutnya, sampai-sampai aku takut akan ada banyak helai yang tercabut akibat dia menyengkram terlalu kencang.

Aku tidak tahu harus apa dan merasa benar-benar bingung. Lebih-lebih sewaktu Jackson tiba-tiba diam tak sadarkan diri. Apakah dia mati?

"Hei, Jackson! Bangun!" perintahku di sela-sela tepukan di pipi.

"Kenapa aku ada di sini?" dia langsung bertanya tatkala membuka mata. "Dan, siapa kau?"

Sungguh? Hal ini terjadi lagi?

Who is He?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang