Seusai mendapat kartu nama tersebut, aku tidak langsung mengunjungi PAPK yang dimaksud. Bukan karena apa, hanya saja tanpa bisa kukendalikan, hari-hariku bergulir dengan ramai karena ribuan abjad (baca: tumpukan literatur) di meja belajarku berteriak-teriak minta dibaca dan dijejalkan ke dalam bab skripsiku segera.
Hal buruknya, hingga detik ini, aku bahkan masih belum menemukan titik terang untuk variabel judul skripsi yang akan ku gunakan.
Selepas menemui Yamada-sensei di ruang departemen Sasjep untuk sekadar sharing dan konsultasi, Hana mengajakku untuk mengisi lambungnya yang sedari tadi sudah berjoget ala Pia Pellen, katanya.
Aku melihat jam tangan. Ah, sudah lewat lima belas menit waktu dhuhur. "Shalat dulu ya?"
"Nggak abis makan aja?" tawarnya.
"Suka ngulur-ngulur shalat itu dosa, Bestieque, apalagi pas udah tau telat. Ntar jodohku ikut diulur-ulur sama Allah gimana? Bisa berabe kan akunya," jelasku memberi pengertian.
Hana mencebikkan bibir, dia lalu melenggang pergi setelah berpamitan untuk mengambil mobil di parkiran.
Anyway, Hana sahabatku memang yang terbaik. Tidak sia-sia dulu waktu masih berstatus Maba, aku mengajaknya berkenalan. I know she is not muslimah, but who cares? I just do what I think it good to do.
***
Terik matahari menyilaukan pandanganku dari dalam mobil. Meski tidak terlalu panas, tapi hawa kali ini cukup membuatku gerah. Hingga setelah sepuluh menit berada di jalanan, tiba lah kami di balkon kafe D'Sain dengan pesanan yang belum diantarkan.
"Btw, lusa kamu berangkat sendirian atau bawa gandengan?" Hana memulai percakapan.
"Lusa?"
"Yee, gimana sih. Kita tuh diundang ke resepsinya Rainy-Joan. Aku masih bingung nih harus pakai gaun apa, mana tema yang diangkat itu victoria lagi. Kan harus terlihat glamour gitu."
"Yang nikah siapa, yang ribet siapa." sindirku.
Hana berdecak, "Aisyah Febiola yang manis semanis strawberry, nih dengerin sabda Ogawa, ya. Jadi, sebagai jomblo dengan predikat platinum, kita itu wajib untuk tampil memukau. Gunanya apa? Ya biar kalau dipandang orang, nggak malu-maluin meski nggak punya gandengan. Begitu."
"Daripada urusin presepsi orang yang bikin kamu jadi tertekan, mending urusin aja deh gimana caranya supaya rasa bahagia itu datang menghampiri tanpa memberati diri sendiri!"
"Hadeuh, kalau udah adu sabda gini, aku yang mundur deh."
Tiba-tiba, ponselku yang berada di kursi sebelah, berdering. Segera saja kuangkat, "Halo, Assalamu'alaikum?" setelah mendengar saluran dari seberang, aku yang semula duduk, berdiri spontan, "Ini.. Wah, Alhamdulillah. Terima kasih, Bu. Oke, baik, siap. Insyaa Allah bisa. Wa'alaikumsalam warahmatullah.."
"Siapa?" Hana penasaran.
"Editor Majalah True Story. Mereka kontrak aku dua bulan jadi penulis honorer. Maklum, belum bawa pulang gelar, sih."
"Ciye, pasti bentar lagi ada badai makanan, nih," kode Hana.
"Badai liur dosen pembimbing kita kali."
Sontak, kami tertawa. Wajar, apalagi Yamada-sensei-yang kebetulan menjadi dosen pembimbingku dan Hana, memang memiliki hobi mengomel tak kenal pegal. Yang ini, yang itu. Hampir semua yang dilakukan mahasiswanya dianggap tidak sesuai aturan mainnya.
"Bikin target, yuk-" usul Hana terpotong oleh seorang waiter yang mengantarkan pesanan kami di meja nomor 32. Lalu pergi setelah kami berterima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHAR(DIKA)
SpiritualDia adalah Mahardikaku, dan selamanya akan menjadi seperti itu. Mahardikaku, terima kasih telah hadir dalam kehidupan singkatku. Karenamu, ketakutan yang selama ini menghantuiku, berubah menjadi kekuatan besar yang mendorongku untuk selalu bertahan...