Pindah ke Desa

122 1 0
                                    


Pindah ke desa?

Dede hanya bisa memandangi ayah dan ibunya lalu memandangi sekelilingnya. Rumah yang selama ini ditempati dan memandangi ke luar halaman dimana dia dan teman-temannya biasa bermain di bawah pohon belimbing yang berdaun lebat, bermain mobil-mobilan, bermain sekolah-sekolahan dan kadang mengerjakan tugas dari sekolah bersama-sama.

"Meski di desa kamu tidak usah takut tidak ada teman, di sekitar sekolah tempat ayah mengajar ada banyak anak-anak seusia kamu. Di belakang perumahan guru juga ada kebun karet, kamu bisa sesekali menjelahi kebun karet itu dan menemukan banyak tumbuh-tumbuhan yang disini sudah tidak ada. Lalu di depan rumah ada sungai kecil, jadi bisa mancing disana cari ikan," kata ayah ceria.

Dede masih memandangi halaman, sepertinya menarik tapi Dede tidak bisa membayangkan jika harus terpisah dengan teman-temannya disini; Dion yang suka makan, Ardi yang suka menangis, Lana yang tomboy dan Cika yang takut dengan banyak hal.

Pasti nanti kangen sekali dengan mereka.

Ibu tersenyum dan membelai rambut lurus tebal hitam Dede yang mirip dengan rambut Ayah.

"Nanti kalau liburan kita masih bisa ke sini kok, jadi bisa bermain dengan Dion, Ardi, Lana dan Cika lagi."

Dede menghambur ke Ibu dan memeluk erat-erat. Sepertinya memang harus pindah ke desa. Menurut surat pengangkatan pegawai negri sipil yang diterima Ayah, Ayah mendapatkan tugas untuk mengajar di desa bernama Anglo yang letaknya sekitar 80 km dari tempat ini. Sudah lama Ayah memimpikan hal tersebut. Menjadi guru tetap dan bukan lagi menjadi guru honorer yang mencari kerja sampingan dengan menjadi guru private.

Awalnya Dede kira Ayah akan pulang-pergi setiap hari, ternyata Ayah dan Ibu memutuskan untuk pindah ke desa Anglo dan membawa Dede.

"Oke, jagoan bagaimana. Kita pindah ke desa!" kata Ayah mengajak toss.

Dede tersenyum dan mengangkat tangannya, melakukan toss dengan ayah. Meski rasanya masih terlalu berat untuk meninggalkan rumah ini dan teman-teman.

***

Maka beberapa hari kemudian Dede pun sibuk membantu Ayah dan Ibu mengemas barang-barang ke dalam kardus. Kardus-kardus berukuran besar. Dede memandangi lagi tiap-tiap ruangan rumahnya itu, seperti mengucapkan perpisahan. Lalu kembali lagi ke ruang tamu di mana Ibu sedang mengecek barang-barang, memastikan tidak ada yang tertinggal. Di luar Ayah sedang mengobrol dengan sopir yang disewa ayah untuk membawa barang-barang menggunakan mobil truk.

"Dede!" teriak Dion di luar dibawah pohon belimbing dengan sorot mata sedih. Selain Dion ada juga Ardi, Lana dan Cika. Mereka seperti membawa sesuatu yang entah apa. Dibungkus rapih pada kotak yang berpita merah jambu.

"Itu teman-temanmu datang, sana ayo temui," kata Ibu tersenyum.

Dede pun berlari ke luar dengan ceria, tidak ingin terlihat sedih di depan teman-temannya.

"Hai, teman-teman!" sapa Dede ramah.

"Hai, Dede," Lana terlihat lesu, padahal biasanya dia yang paling bersemangat.

"Kalian kenapa, lemas sekali? Belum makan siang ya?" tanya Dede.

Dion langsung memeluk Dede erat-erat tanpa berkata apapun, lalu disusul Ardi, Lana dan Cika. Mereka berlima pun berpelukan.

"Jangan lupakan kita ya Dede," kata Cika akhirnya menangis sedih.

"Pasti teman-teman, aku janji liburan semester nanti akan ke sini sehingga kita bisa bermain bersama-sama lagi," kata Dede.

"Ini dari kita, buat kenang-kenangan," Ardi menyerahkan bungkusan berpita merah jambu itu ke Dede.

"Apa ini? Boleh dibuka tidak?" tanya Dede menerima bungkusan itu.

KERETA LANGITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang