Bonus Chapter

34 4 2
                                    

"Thank God you're alive"

Suara itu yang pertama kudengar ketika aku membuka mata. Aku melihat Gwen di hadapanku dengan tatapan khawatirnya. Pandanganku yang buram perlahan mulai jelas, aku memindai apa yang bisa aku lihat.

Kamar rumah sakit.

Ternyata aku masih disini, aku belum mati.

Clek.

Suara pintu terbuka membuatku menoleh, melihat Luke di ambang pintu yang seketika berbalik dan keluar, entah apa yang dilakukannya.

Keheningan mengisi ruangan yang hanya ada aku dan Gwen di dalamnya. Kami tidak saling bicara, namun Gwen masih memandangiku. Aku membuang wajahku, berusaha keras untuk tak menatapnya. Namun ia tidak berhenti memandangku dengan tatapan sedih di matanya.
Mengapa ia begitu sedih seolah-olah aku benar-benar mati. Aku tidak mengerti.

Beberapa saat kemudian Luke datang lagi bersama seseorang dengan jas putih di belakangnya. Dokter itu memeriksa monitor di samping tempat tidurku, mengecek bola mataku dan meraba nadiku.

"Jadi, Ashton. Aku senang kau akhirnya bangun." Ucap dokter itu sambil tersenyum. Aku hanya menatapnya bingung.
"Kondisi Ashton belum benar-benar stabil, mungkin lebih baik ia berada disini beberapa hari dan ditemani keluarganya. Khususnya kau, Luke. Kau pasti tahu maksudku." Ucapnya pada Luke.
Aku menatap mereka berdua dengan bingung.

Aku merasa aku baik-baik saja. Lelah, namun aku masih baik-baik saja. Satu-satunya hal yang membuatku tidak merasa baik adalah adanya Gwen di ruangan ini dan Luke yang bertanggungjawab atas diriku. Mengapa ini terus terjadi?

"Ash, how are you, man?" Luke akhirnya bicara denganku.

Aku diam, berpikir apakah aku harus berpura-pura sungguh baik-baik saja atau kukatakan yang memang kurasakan; lelah. Sejujurnya aku tidak begitu ingin bicara. Aku seharusnya mati dan tak melihat Luke dengan Gwen lagi. Aku seharusnya tidak disini dan terbaring seperti ini. Aku seharusnya sudah pergi.
Luke dengan tenang menatapku penuh kekhawatiran dan juga perhatian. Membuatku akhirnya angkat bicara.

"Gwen, bisakah kau keluar dulu dari sini?" Apa yang benar-benar kuinginkan keluar dari mulutku. Ia hanya tersenyum, Luke mengangguk padanya hingga akhirnya ia meninggalkanku berdua dengan Luke.

"I should've been dead" tukasku pelan ketika aku memastikan aku benar-benar tinggal berdua dengan Luke.

"But you didn't" balas Luke sambil tersenyum. Aku bisa melihat ketulusan dan manisnya Luke sebagai saudaraku, tapi Luke tidak bisa membohongi dirinya sendiri dan bersikap seolah-olah ia baik-baik saja di hadapanku. Wajahnya yang pucat dan kantung matanya yang tebal serta matanya yang bengkak memberitahuku bahwa jauh di dalam hatinya ia bersedih. Mungkinkah ia bersedih karena diriku? Karena aku yang ingin bunuh diri di depannya? Aku mengerti ia menganggapku sebagai kakak kandungnya, tapi aku tidak mengerti mengapa ia sesedih ini sekarang.

"Kau terlihat buruk," ucapku mengomentari penampilannya.
"Yeah, aku hampir kehilangan kau." Ia terkekeh sedikit.
"Memangnya sudah berapa lama aku tertidur?" Tanyaku penasaran.
Luke beralih dari pegangan ranjangku, berdiri di depan jendela dan menatap keluar. "Sekitar lima hari." Jawabnya.

Lima hari. Waktu yang cukup lama untuk hanya sekadar berbaring tidak jelas seperti ini. Aku bisa bersenang-senang di surga selama itu jika aku sudah mati. Tapi aku malah berakhir disini dengan kesedihan dan masalah yang sama.

"Kau tahu, aku ingin membawa kau ke suatu tempat ketika kau sehat nanti." Luke masih memandangi ke luar jendela.
Aku terkekeh, "Luke, aku bahkan tidak sakit." Balasku.
Luke tertawa sarkas, "Kau sakit Ash, kau benar-benar sakit." Jawabnya.
Aku mengernyitkan dahiku, "Satu-satunya yang sakit dalam diriku adalah hatiku. Kau tahu itu." Ucapku. Mengingat aku memang sudah mengatakan semua tekanan yang kurasakan pada Luke saat itu.
Luke tertawa lagi, "Kau benar-benar harus ikut aku, Ash. Kau tak tahu apa-apa." Ia beranjak duduk di sofa samping ranjangku, bersandar dan menghela nafas panjangnya.

DistressWhere stories live. Discover now